Belajar dari Nafisah, Sang Zuhud Perempuan

Nafisah menggali kuburan di rumah agar mengingat kematian.

SWARNANEWS.CO.ID,  JAKARTA |Kisah berikut ini menggambarkan tentang salah satu keteladanan tokoh perempuan kita dalam sejarah peradaban Islam. Nafisah binti al-Hasan.  Cucu Rasulullah SAW kelahiran Makkah, 145 H, itu terkenal dengan kezuhudannya. Banyak riwayat yang mengisahkan bagaimana Nafisah benar-benar menghabiskan masa hidupnya untuk menempa diri dan berbakti kepada Sang Khalik.

Nafisah sadar dan meyakini dunia fana. Ia pun berpaling darinya. Ia membaktikan diri sepenuhnya untuk Allah SWT. Ia menempuh jalan zuhud. Mengisi hari-harinya dengan beribadah. Shalat malam dan berpuasa pada siang hari.

Di sudut rumahnya, ia menggali tanah hingga menyerupai liang lahat. Di lubang itulah, ia shalat dan banyak menelaah Alquran. Seperti dikisahkan, ia membaca Alquran sebanyak 190 kali di lokasi itu.

Ketekunannya itu tak luput dari perhatian sang suami, Ishaq al-Mu’tamin bin Imam Ja’far as-Shadiq. Ia meminta agar Nafisah memerhatikan pula kondisi fisiknya. Ia tetap konsisten di jalannya. “Barang siapa yang beristiqamah bersama-Nya, alam semesta ada di genggaman dan akan menaatinya,” katanya.

Nafisah adalah sosok yang berhati-hati (wara’). Tak terkecuali soal makanan. Ia tidak pernah memakan apa pun kecuali dari harta suaminya. Ini berdampak pada kekuatan doa yang ia panjatkan. Doa nafisah terkenal mujarab.

Konon, Imam Ahmad bin Hanbal pernah sengaja meminta doanya. Satu per satu warga Mesir mulai menyadari kedudukan Nafisah. Tiap hari mereka memadati rumah Nafisah. Ada yang ingin belajar, sebagiannya ingin mengharapkan doa.

Kondisi ini membuatnya resah. Ia semakin sulit beribadah. Waktunya tersita. Ia memutuskan meninggalkan Mesir dan kembali ke Madinah. Tak lama kabar itu terdengar oleh otoritas Mesir, Sirr al-Hakim, turun tangan.

Sang penguasa mencegah rencana tersebut. Sebagai solusi, tempat tinggal Nafisah dipindahkan di kawasan Darb as-Siba’. Jadwal kunjungan dibatasi hanya dua hari, yaitu Sabtu dan Rabu.

Tak antisosial

Kezuhudan tokoh yang telah berhaji sebanyak 30 kali ini tak lantas membuatnya antisosial. Ia adalah sosok yang peduli sesama, suka memberi, dan menolong mereka yang membutuhkan atau teraniaya. Ia pernah menolong seorang hartawan yang terampas haknya oleh pemerintah.

Ia menentang keras kezaliman tersebut dan berjuang agar hak tersebut dikembalikan. Perjuangannya terkabul. Hartawan itu akhirnya memberikan hadiah 100 ribu dirham. Ini sebagai ucapan terima kasih. Ia terima hadiah itu dan membagikannya untuk fakir miskin kendati ia sendiri hidup serbakekurangan.

Konsistensi terhadap jalan zuhud itu bertahan hingga ajalnya menjemput pada Ramadhan 208 H. Ia meninggal dalam kondisi berpuasa. Permintaan untuk membatalkan puasanya tak ia gubris. Ia wafat dengan kemuliaan.

Ia membaca, ”Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.” (QS al-An’aam [6]: 127). Dengan untaian kalimat syahadat, ia menghadap Tuhan-Nya. Meninggalkan kisah keteladanan yang kekal dan mewangi.

Editor: Sarono PS

Sumber: Republika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *