Urat takut Muhammad Amien Rais sudah putus dan tak tersambung lagi.
SWARNANEWS.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Namanya sangat menjulang pada masa-masa seputar reformasi 1998. Nyalinya begitu besar dan seolah tak memikirkan risiko berat yang bisa menimpanya setiap saat dari pilihan tindakan-tindakannya. Banyak yang berpendapat, urat takut Muhammad Amien Rais sudah putus dan tak tersambung lagi.
Pria kelahiran Solo 26 April 1944 ini memang besar di dunia pergerakan. Sempat aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), selepas menyelesaikan kuliah hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada pada 1968, Amien melanjutkan S2 di Universitas Notre Dame, Indiana serta S3 di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia sempat meraih gelar sarjana muda dari jurusan tarbiyah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Setelah melanglangbuana di luar negeri hingga 1984, pikiran kritis Amien kian terasah tatkala dia menggawangi sebagai direktur di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PKSK) di Yogyakarta. Amien mulai membetot perhatian banyak kalangan saat memberikan analisisnya di media dalam perang Irak-Kuwait pada 1990-1991.
Pandangan Amien yang tidak pro-AS –namun tidak serta-merta mendukung Irak– banyak memantik simpati publik. Sementara di seberang sana, umumnya para pakar setuju dan mendukung langkah AS untuk ikut terlibat langsung membela Kuwait yang sejak lama menjadi kroninya.
Mantan ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) ini memang tak pernah berhenti berpikir kritis. Di tengah dominasi yang begitu kokoh dari Orde Baru, pada sekitar 1995, Amien bersuara lantang tentang perlunya regenerasi kepemimpinan nasional. Bagi orang lain, ini merupakan hal tabu dan mengerikan karena berarti berhadapan langsung dengan Presiden Soeharto.
Bagi dia, pembaharuan tidak akan ada artinya bila tidak diikuti pergantian kepemimpinan. Apalagi, saat itu Presiden Soeharto sudah menginjak usia 74 tahun dan telah mendekati 30 di singgasana kuasa. Usia seperti itu memang saatnya untuk lengser keprabon madek pandhita (turun tahta dan menjadi resi/negarawan).
Dalam bahasa era sekarang, usia tak bisa dibohongi. Menjalankan tugas dan kebijakan kenegaraan, dalam usia seperti itu, tentu akan sulit untuk bisa optimal.
Bahkan, Amien menggambarkan hal itu dengan membuat tulisan di media tentang pertarungan tinju dunia antara juara bertahan serta tak terkalahkan di kelas welter ringan, Julio Cesar Chaves (Meksiko) yang berusia 34 tahun, dengan Oscar de la Hoya (AS) yang baru berumur 23 tahun. Chavez tersungkur di ronde ke-4. Lagi-lagi Amien mengungkapkan, sekuat apa pun manusia, faktor usia tak bisa dihindari dan seseorang harus menyadari hal ini.
Dengan jelas dia menyindir agar kepemimpinan Orde Baru segera berganti wajah. Tentu sindiran ini membuat geram pemerintah, di tengah hiruk-pikuk Menpen Harmoko saat itu yang blusukan untuk minta rakyat agar kembali mendukung Soeharto sebagai presiden dalam Pemilu 1997.
Dewan Penasehat Persaudaraan Alumni 212 Amien Rais
Keberanian Amien terus berlanjut. Pada Januari 1997, melalui kolom di Republika, ia mengritik dengan keras pengelolaan Freeport di Tembagapura, Papua. Berdasarkan data yang dimiliki dan dari pengalamannya ke lokasi tambang Freeport, Amien mendapat angka dan fakta bahwa dari puncak Pegunungan Grasberg yang kini menjadi danau karena adanya penambangan itu, hingga tahun 1997, sebanyak 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162 juta ton tembaga telah diambil perusahaan milik Amerika Serikat itu.
Dari puncak Garsberg itu, Amien melihat adanya pipa besar ke bawah hingga sepanjang 100 km menuju tepi Laut Arafura. Dalam pipa itu mengalir konsentrat yang berisi ketiga bahan tambang tersebut. Saat itu, nilai emas yang telah diambil diperkirakan mencapai Rp 400 triliun. Ini belum nilai perak dan tembaga yang totalnya tentu lebih besar lagi.
Ia juga keras mengritik rencana penambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Saat itu pemerintah menyerahkan perusahaan Kanada (Bre-X) untuk mengambil 90 persen saham di Busang dan segera menjalankan aktivitasnya. Kebijakan ini dikecam keras Amien melalui sebuah tulisannya. Ternyata Busang, yang semula dianggap memiliki deposit emas melebihi Tembagapura, hanyalah pepesan kosong. Akibat tulisan itu, Amien lalu ditendang dari ICMI.
Menjelang kejatuhan Orde Baru, Amien yang dianggap sebagai lokomotif reformasi menyerukan agar rakyat membanjiri Monas untuk berdemo meminta Soeharto turun. Meski tentara akan mengerahkan 80 persen personelnya dan dikabarkan hendak menangkapnya, Amien tak juga surut.
Lalu saat melihat ada pagar kawat berduri mengelilingi Monas dan informasi bahwa tentara tak akan berkompromi jika demonstran mendekati istana, barulah Amien menyadari, ribuan rakyatlah yang nanti akan menjadi korban. Pada dini hari menjelang demo itu, dia lalu berkeliling Jakarta dan juga mengumumkan lewat radio-radio tentang batalnya demontrasi besar-besaran di Monas.
Ancaman terhadap Amien juga datang dari Pasuruan, Jawa Timur. Menjelang reformasi, Amien hendak bersafari ke Jatim, antara lain diundang sebuah pondok pesantren di Pasuruan. Sekelompok anak muda anggota Banser menolak dan minta agar Amien tidak ke Pasuruan. Tentu saja mantan ketua MPR dan ketua PP Muhammadiyah tersebut tak menghiraukan hal ini.
Amien percaya aparat keamanan akan menjalankan tugas dengan baik. Namun apa boleh buat, niat ke Pasuruan itu terpaksa dibatalkan. Gara-garanya, Kodam Brawijaya (saat itu dimpimpin Mayjen Djadja Suparman) tak bertanggung jawab bila terjadi apa-apa terhadap Amien Rais. Amien akhirnya bersilaturahim ke Ponpes Lirboyo Kediri. Kebetulan saya ikut dalam iring-iringan rombongan tersebut.
Sumber: Republika
Editor: Sarono PS