Prosentase Sengketa Konstruksi Makin Meningkat, BANI Palembang Gelar Sosialisasi Kepada Para Kepala Dinas PU Kabupaten Kota

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG |Pesatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa ekses makin banyaknya sengketa berkaitan dengan konstruksi. Bahkan angkanya mencapai 26,9 persen secara nasional yang masuk ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) jauh lebih tinggi dibandingkan bidang-bidang lain.

Para pembicara dari BANI Dr.Ir. Suntana S Djatnika, SE, MM, MBA, MH, FCBArb, Prof. Dr. H Joni Emirzon, SH, MHum, FCBArb dan Ir. H Ahmad Rizal, SH, MH, FCBArb sedang paparan

Pernyataan tersebut dikemukakan Ketua BANI Palembang Prof. Dr. H Joni Emirzon SH, MHum, FCBarb pada Sosialisasi  Arbitrase  di kalangan  pelaku konstruksi di Hotel Swarna Dwipa Palembang, Sabtu (24/3/2018).

Hadir pada kesempatan itu Hakim Arbitrase Dr. Ir. Suntana S Djatnika, SE, MM, MBA, MH, FCBArb dan Ir. H. Ahmad Rizal, SH, MH., FCBArb serta para Kepala Dinas Pekerjaan Umum kabupaten kota se-Sumatera Selatan.

“Maraknya sengketa bidang konstruksi  menjadikan kami menyelenggarakan sosialisasi keberadaan BANI kepala kalangan jasa konstruksi,” ujar Joni Emirzon.

Menurut Joni diskusi dengan tema “Penyelesaian Sengketa Konstruksi melalui Arbitrase setelah berlakunya UU Nomor 2 tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi” tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada para Kepala Dinas Pekerjaan Umum kabupaten kota se-Sumsel tentang keunggulan arbitrase dalam penyelesaian sengketa konstruksi. Sebab Arbitrase yang merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan makin diminati  di kalangan pebisnis.

Joni pada kesempatan itu memaparkan pengaturan arbitrase menurut Hukum di Indonesia diatur dalam UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa (APS).

Para peserta diskusi sengketa konstruksi yang terdiri atas para kepala dinas PU dan biro hukum menyimak paparan pembicara

Obyek pengaturannya sesuai dengan pasal 2 Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui APS.

Sedangkan data secara nasional menurut Joni lebih dari 1.000 kasus sengketa yang masuk ke BANI. Hal itulah yang menjadi BANI dilirik oleh berbagai Negara. Sedangkan perwakilan BANI telah ada di Palembang, Medan, Jambi, Surabaya, Denpasar dan lainnya. Melalui keberadaan BANI Palembang Joni mengajak pelaku jasa konstruksi menjadikan arbitrase sebagai solusi untuk penyelesaian sengketa.

Suntana pada kesempatan itu memaparkan makalah berjudul Perjanjian dan Klausula Arbitrase UU Nomor 002 tahun 2017 Tentang Jasa konstruksi.

Hakim arbitrase yang memiliki disiplin ilmu beragam,  mulai dari arsitektur, teknik sipil, ekonomi dan hukum ini menguraikan segala hal ihwal berkaitan dengan apa itu jasa konstruksi, fakta sengketa yang sering terjadi, dasar hukum perjanjian konstruksi,  hingga hal-hal berkaitan dengan penyebab sengketa kontruksi yang meliputi faktor internal dan eksternal.

Menurut Suntana penyebab sengketa internal meliputi lingkup kerja, hak dan kewajiban serta cara penyelesaian sengketa. Sedangkan faktor eksternal meliputi  ekonomi, geografi, social budaya, legal/politik dan lain-lain. Semua itu berpengaruh terhadap jasa konstruksi.

Menambahkan uraian Suntana dan Joni Emirzon, Ahmad Rizal mengemukakan, Arbitrase adalah badan penyelesaian sengketa bisnis yang sudah lama dibentuk yakni sejak tahun 2007.

Berkaitan dengan konstruksi di Indonesia saat ini menduduki peringkat nomor 4 di dunia dalam tiga tahun terakhir ini. Ke depan konstruksi makin berkembang pesat lagi. Oleh karena itu sangat relevan kalau kemudian terjadi sengketa berkaitan dengan jasa konstruksi maka pilihan penyelesaiannya lewat arbitrase.

“Bahkan kini posisi Arbitrase makin dibutuhkan karena  sengketa konstruksi saat ini makin banyak,” ujar pria yang juga hakim arbitrase ini.

Selama ini, tambah Rizal  pelaku bisnis lebih enggan mengajukan penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan karena penyelesian sengketa di pengadilan memakan waktu lama bisa sampai lima tahunan. Kemudian  sifatnya terbuka sehingga diketahui  banyak pihak dan bukan tidak mungkin menimbulkan  konflik baru, tidak memiliki kepastian hukum,  dan biayanyapun  tidak terukur.

“Itulah kelemahan di pengadilan yang menjadikan para pelaku bisnis enggan menempuh jalur hukum di pengadilan,” ujarnya.

Sementara itu jika penyelesaian sengketa di Arbitrase biaya lebih terukur, kepastian hukum lebih cepat karena kasus sudah harus selesai dalam waktu kurang dari 180 hari atau minimal enam bulan.

Sifat penyelesaian sengketa juga tertutup sehingga rahasia perusahaan terjamin karena tidak boleh dipublikasikan, tambah pria yang juga anggota BPH Migas ini.

Hal lainnya Arbitrase sifatnya mutlak, final dan mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Tidak bisa dilakukan banding atau peninjauan ulang.

Bahkan pengadilan pun tidak bisa memutuskan ulang perkara dan kalaupun diajukan kembali perkaranya di pengadilan maka pengadilan harus menolak pengajuan sengketa tersebut.

“Kami ingin mengajak pelaku jasa konstruksi jika ada sengketa tidak perlu khawatir karena ada solusi penyelesaiannya di arbitrase,” jelas Rizal lagi.

Sedangkan berkaitan dengan sengketa di bidang konstruksi menurutnya dapat terjadi saat pra kontrak, saat pengerjaan hingga bangunan selesai.Pada ketiga momen itu memungkinkan terjadinya sengketa.

Untuk itu ke depan pihaknya  mengharapkan pelaku jasa kontruksi baik berkaitan bangunan, jalan, jembatan dan lainnya di kabupaten kota se Sumsel agar dapat memahami fungsi dan peran arbitrase dan menjadikan pilihan ketika terjadi sengketa.

“Hal ini harus kita cermati sehingga sengketa konstruksi yang terjadi agar dapat ditangani oleh Badan Arbitrase,” tegasnya.

Fotografer: Hendri Widianto

Teks/Editor: Sarono PS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *