SWARNANEWS.CO.ID, Musirawas | Sekitar 33.800 hektar kawasan hutan yang ada di wilayah Kabupaten Musirawas terindikasi merupakan pemukiman, fasilitas umum (fasum), fasilitas sosial (fasos) dan lahan garapan.
Ini tersebar di sembilan kecamatan, 61 desa yang ada diwilayah ini. Demikian diungkapkan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang, Manifas Zubayr, saat kegiatan sosialisasi peraturan presiden nomor 88 tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan pendataan awal Tora di Kabupaten Musirawas, yang digelar di opp-room Pemkab Musirawas, Rabu (7/3/2018).
“Di Sumsel indikasi sekitar 75 000 hektar lebih, untuk di Musirawas indikasi sekitar 33.800 hektar yang terdapat di sembilan kecamatan, 61 desa. Itu kombinasi, ada pemukiman ada fasos, ada juga mungkin sebagian lahan garapannya itu baru indikasi nanti kita cek lapangan,,” ujarnya.
“Kita hanya bisa mengindikasikan 33.800, hektar itu, nanti dalam realisasinya seperti apa ya kita sambil jalan. Bisa saja berkurang atau mungkin bisa lebih, desa yang belum tercover dalam peta bisa saja diusulkan,” katanya.
Dikatakan, berdasarkan aturan yang ada saat ini, areal pemukiman, fasum maupun fasos serta lahan garapan tersebut dapat dilepaskan dari kawasan hutan. Dengan terbitnya peraturan presiden nomor 88 tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, membuka peluang bagi masyarakat yang rumahnya ada dalam kawasan untuk membuat permohonan agar areal dilepaskan dari dalam kawasan.
“Sebenarnya ini diseluruh Indonesia, hanya untuk tahun ini di Sumsel ada tujuh kabupaten, yaitu Musirawas, Muratara, OKUT, OKUS, OKI, Muba dan Muaraenim,” ujarnya.
Dijelaskan, sarana fasum, fasos, semuanya bisa dikeluarkan dari kawasan hutan. Kecuali kawasan konservasi dan hutan lindung yang arealnya masuk dalam skor atau ketegori lindung. Maka jika ada sarana fasilitas umum dan sosial yang ada dalam kawasan tersebut harus direlokasi atau dipindahkan.
“Tapi kalau hutan produksi insyaallah nanti bisa dilepas. Hutan lindung yang skormya tidak masuk kawasan lindung itu juga bisa dikeluarkan dari kawasan hutan. Tapi itu untuk pemukiman, fasum dan fasos, kalau lahan garapan beda lagi,” katanya.
Terkait dengan proses pelepasan kawasan yang ditempati pemukiman, fasum dan fasos ini, menurutnya masyarakat tidak dikenai biaya apapun dalam pengurusan permohonannya.
Teknisnya, masyarakat mengajukan permohonan secara individual dan nanti akan dicolecting oleh kepala desa. Kemudian berjenjang ke camat dan bupati. Setelah itu, bupati akan memyampaikan kepada ketua tim inventarisasi dan verifikasi.
“Masyarakat tidak dibebani apapun kecuali permohonan itu saja, masyarakat idak mengeluarkan uang sepeser pun dalam hal ini untuk keperluan permohonan pelepasan dari kawasan hutan ini. Mudah-mudahan dalam waktu dekat masyarakat paham dan segera ajukan permohonan,” ujarnya.
editor : Sarono ps
sumber : sripoku.com