Pembangunan yang paling substansial adalah pembangunan akhlak, karakter, dan moral
SWARNANEWS.CO.ID, Oleh: Agung Sasongko
Mengenalkan ajaran Islam sejak dini tak hanya menjadi tugas keluarga. Tetapi peran sekolah cukup signifikan, dan juga masyarakat. Gunjang-ganjing kurikulum berbasis karakter menggema lantaran mencari pola yang tepat untuk generasi penerus. Tantangan yang tak mudah ke depan, menjadi persoalan yang jangan dipandang enteng. Menjamurnya media sosial, mudahnya akses internet, belum lagi asupan-asupan lainnya. Waspadalah.
Terlalu miris mendengar anak didik memukuli gurunya. Belum lagi cerita kejahatan begal. Naudzubillah. Inilah kiranya, jangan anggap remeh fakta di lapangan. Para pemangku kepentingnya jangan terlalu lama berpolemik seperti apa kurikulum yang tepat.
Potensi bonus demografi Indonesia jangan hanya numpang lewat apalagi nantinya sebatas meramaikan pasar. Tetapi harus menjadi pelaku dan pemain utama di negerinya sendiri.
Laman BKKBN menyebut, bonus demografi merupakan kondisi di mana populasi usia produktif lebih banyak dari usia nonproduktif. Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi pada 2030 mendatang. Artinya masih ada waktu puluhan tahun lagi untuk bagaimana menjaga bonus demografi ini. Bonus ini adalah anugerah. Tapi salah urus bisa jadi bencana.
Cendikiawan Muslim Prof KH Didin Hafidhuddin MSc berpandangan, pembangunan yang paling substansial adalah pembangunan akhlak, karakter, dan moral. Sebab, tanpa akhlak dan moral maka kemajuan sains serta teknologi tidak akan ada manfaatnya.
Sudah banyak contoh, betapa pentingnya akhlak, karakter, dan moral. Dari kisah yang tercantum dalam Alquran menjelaskan pentingnya hal tersebut. Kaum Ad misalnya, kaum ini diberikan kelebihan dari umat-umat sebelumnya. Dalam Alquran, umat Nabi Hud ini dikenal sebagai umat yang sombong. Mereka juga tidak percaya dengan kenabian Hud. Mereka menyombongkan diri sebagai kaum yang kuat, tinggi besar perawakan tubuhnya (QS 41: 15), mendiami bangunan tinggi, istana-istana dan benteng yang dibangun di atas perbukitan (QS 26: 128-129), suka menyiksa dengan kejam (QS 26: 130), mempunyai banyak keturunan, hewan ternak, kebun, dan mata air (QS 26: 133-134).
Dari kisah ini, urgensi memperkuat Pendidikan dengan sentuhan agama sudah sangat mendesak. Sentuhan yang bukan mengacu kuantitas tetapi kualitasnya. Menanamkan agama bukanlah urusan sejam atau dua jam dalam sepekan. Tetapi merupakan kebutuhan yang bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk.
Seperti yang diterapkan SDT Bina Ilmu, Parung Bogor, di sekolah ini, sejak dini, anak-anak diperkenalkan nafas Islam dalam kegiatan belajar dan mengajar. Pagi-pagi sekali, setibanya di sekolah anak-anak dibiiasakan shalat Dhuha. Lalu ada satu sesi pelajaran di mana anak-anak mempertajam baca dan hafalan Alquran. Di sana, masjid menjadi sentra atau pusat kegiatan belajar mengajar.
Contoh tersebut tentunya sangat relevan dengan kebutuhan umat Islam. Saat ini, pendidikan begitu jauh dari masjid. Pemahaman yang ada, masjid hanyalah tempat shalat wajib dan Shalat Jumat. Masjid tak lagi memupuk kader untuk generasi terbaik.
Banyak sekali konsep untuk mencetak generasi terbaik gagal pada pelaksanaannya. Gagal dalam pengertian manisnya buah hanya dirasakan di awal selebihnya tidak terasa manfaatnya ke masyarakaat. Inilah yang perlu diperhatikan. Apapun konsepnya tanpa ada perbaikan pelaksanaan tentunya percuma.
Pendidikan adalah pengamalan. Bukan sekadar mencari sertifikat untuk mencari kerja. Bukan pula untuk balik modal pengeluaran orangtua. Ketua Yayasan Dinamika Umat, Ustaz Hasan Basri Tanjung, mengatakan sejatinya, pribadi Mukmin itu seperti pohon. Ibnu Jarir ath- Thabari dalam Tafsir Jaamiul Bayan menyebutnya pohon yang baik (syajaratun thayyibah), yakni akarnya menghujam ke bumi, batang dahannya menjulang ke langit dan berbuah di sepanjang musim (QS [14]:24-25).
Ustaz Tanjung menyebut akhlak karimah adalah buah dari pendidikan Islami sesuai misi profetik Nabi Muhammad SAW (HR Ahmad). Orang tua mesti sadar bahwa anak belajar di banyak sekolah. Sekolah pertama adalah keluarga. Sekolah kedua di lembaga pendidikan formal. Sekolah ketiga lingkungan sosial keagamaan, dan sekolah keempat media dengan segala jenisnya. Keempat sekolah ini saling memengaruhi dalam membentuk kepribadian anak.
Sumber: Republika
Editor: Sarono PS