Eksistensi Minoritas, Cara Pandang Islam

SWARNANEWS.CO.ID, Palembang Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang berasaskan ideologi Pancasila, paham yang mengakui eksistensi kebhinekaan identitas di dalamnya. Islam adalah agama mayoritas secara demografis, sebagai sebuah realitas. Masih segar dalam ingatan bagaimana beberapa waktu kemarin istilah “Kafir” terus dijadikan polemik.

Padahal, istilah ‘Kafir’ itu di dalam aspek skriptural Islam merupakan identifikasi bagi mereka yang tidak mempercayai ortodoksi Islam sebagai ajaran yang mereka peluk, sebagaimana tergambar dari QS.Al-Kafiruun 109 : 1-5, dimana Surah ini justru menyeru kepada mereka yang disebut ‘Kafir’ (Orang yang Tidak Percaya) untuk menegaskan bahwa mereka tidak menyembah apa yang disembah oleh kaum Muslimin dan begitupun sebaliknya, dengan kata lain Islam mengakui realitas adanya individu, kelompok, maupun beragam kelompok yang tidak beragama Islam.

Surah Al-Kafiruun ditutup oleh ayat (6) yang berbunyi, Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku, intinya ialah ajakan bertoleransi dan kebebasan dalam memiliki, mempelajari, dan menegaskan kepercayaan masing-masing. Penyebab dari buruknya asumsi sekian banyak orang pada istilah ‘Kafir’ lebih disebabkan oleh dua hal.

Pertama, ialah mereka yang berada di luar Islam yang tidak menyenangi agama ini, sehingga istilah ‘Kafir’ diselewengkan menjadi kesan-kesan bahwa Islam adalah agama yang “membeda-bedakan”, “tidak universal”, dan “diskriminatif”. Pendapat sedemikian tentu saja lemah karena jika Islam “serba menyamakan” identitas keagamaan lainnya, seumpama ada seorang yang beragama lain sebut saja agama A, namun Islam menganggap bahwa agama A ialah sama dengan Islam, maka justru yang demikian itu berarti Islam tidak mengakui eksistensi identitas agama A beserta ortodoksinya.

Kedua, istilah ‘Kafir’ menjadi buruk predikatnya ialah akibat ulah mereka yang mengaku Muslim tapi menyeleweng dari ajaran Islam yang lurus, biasanya mereka melontarkan kebencian sembari mencatut ayat Al-Quran yang berisi hukuman Allah kepada orang ‘Kafir’, padahal perkara itu ialah hak prerogatif Allah di Hari Akhir, bukan sebagai hak manusia meskipun mereka Muslim. Golongan kedua ini bahkan ada yang melakukan kekerasan kepada pemeluk agama selain Islam, orang-orang seperti ini tak ubahnya merasa diri sebagai “tuhan”, padahal dalam konteks kehidupan sehari-hari (sosial) seorang Muslim, masalah perbedaan agama haruslah memedomani QS. Al-Kafiruun itu.

Indonesia pernah mengalami serentetan gangguan keamanan yang bernuansa masalah perbedaan agama. Hampir dua dekade berlalu, masyarakat tentu ingat tragedi Bom Natal pada tahun 2000 yang meledakkan beberapa gereja serta menewaskan belasan orang. Sedangkan hari ini (11/2/2018) kembali terjadi penyerangan pada sebuah gereja di Sleman, bedanya pelaku tidak meledakkan bom tapi menyerang dengan sebilah pedang dan melukai beberapa orang.

Motif penyerangan memang masih didalami. Namun jika alasan ‘Jihad’ kembali disalahgunakan pada penyerangan ini, tak pelak hal itu semakin menguatkan bahwa mungkin masih banyak kaum Muslimin yang belum sadar sejarah dan mudah terprovokasi oleh propaganda kaum ekstrimis yang jauh dari nilai keislaman.

Jangan sampai terjadi sebuah ironi seperti yang diungkapkan oleh pemikir Kiri Muslim kenamaan asal India, Asghar Ali Engineer, beliau dikenal karena mengusung pemikiran yang disebut “Teologi Pembebasan.” Bagi Asghar, masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian lainnya yang lemah tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam, meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam.[1] Tindakan teror sesungguhnya adalah eksploitasi dalam artian penindasan atas rasa aman.

Sungguh Islam sebagai agama samawi telah menempatkan masalah hubungan antar-agama sebagai sesuatu yang vital dan tidak boleh dilalaikan. Bukan hanya tergambar dalam pengakuan kitab sucinya atas masalah pluralitas masyarakat, namun Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah Islam telah dengan jelas memberikan teladan semasa hidupnya. Saat Nabi Muhammad memimpin komunitas masyarakat di Yatsrib (Madinah), beliau memformulasikan Mitsaq (perjanjian) yang dikenal sebagai “Piagam / Konstitusi Madinah”, isinya mengatur tata hubungan sesama Muslim maupun hubungan antar komunitas agama serta suku.

Sayyid Husain Muhammad Jafri menuliskan kembali bagian pembukaan piagam tersebut, antara lain pada poin (1)  ditegaskan bahwa Muslim dan Yahudi harus hidup sebagai satu masyarakat (Ummatan Wahida) dan dalam poin (3) telah dijamin bahwa setiap kelompok diperkenankan menjaga keyakinannya sendiri, dan demikian juga tidak seharusnya mencampuri keyakinan orang lain.[2] Jika masih ada yang mempermasalahkan bahwa “Indonesia Bukan Negara Islam”, lihatlah bahwa sedikit banyak – namun tidak mutlak sama – ada kesamaan antara komunitas masyarakat Madinah yang dipimpin Rasulullah dengan bentuk negara modern yang mengakui pluralitas masyarakat seperti Indonesia ini.

Rasulullah sendiri yang menempatkan kalangan-kalangan Non-Muslim dalam posisi khusus selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin. Mereka ituyang disebut Dzimmi yakni kaum Non-Muslim yang dijamin keselamatan dan keamanannya. Jelas sebuah kesalahan besar  sebagai contoh di Indonesia yang mayoritas Islam, ada seorang Muslim malah menyerang golongan minoritas agama lain.

Apabila Muslimin adalah mayoritas di suatu wilayah, justru mereka wajib melindungi minoritas agama lain. Ulama dan pemikir Islam Indonesia seperti Buya HAMKA ikut mengutipkan sabda Rasulullah yang berbunyi, “Barangsiapa yang menyakiti orang Dzimmi, sesungguhnya dia telah menyakiti diriku sendiri ”, HAMKA melanjutkan tulisannya dengan ucapan Rasul, “Barangsiapa yang menyakiti Dzimmi, lepaslah ia dari golonganku.” [3] Jika masih ada seorang atau sekelompok orang yang mengklaim “Membela Islam” dengan cara menyerang pemeluk agama lain, bisa dipastikan bahwa mereka telah melukai baginda Rasulullah Saw sendiri.

Generasi awal Islam sepeninggal Rasulullah juga menjalankan ajaran beliau dalam melindungi setiap golongan. Begitupun sepupu, menantu, serta sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib ketika menjadi Khalifah dalam suratnya kepada gubernur Mesir Malik bin Harits Al-Asytar yang menjadi bawahannya agar melindungi hak semua golongan, “…ada hak setiap golongan tersebut terhadap pemerintah, dan pemerintah harus memenuhi hak mereka dengan memilih segala yang terbaik bagi kemaslahatan banyak orang…” [4] Kewajiban menjaga keselamatan minoritas agama lain telah dicontohkan oleh Rasulullah, sahabat Rasul, dan itu sejalan dengan yang telah digariskan dalam Al-Quran.

 

teks : Arafah

editor : Sarono ps