Membabi Buta

Hingga 2017, sudah tercatat 26 negara yang melegalkan perkawinan sesama jenis.

SWARNANEWS..CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung

Sejak lama kita dengar istilah “membabi buta”. Namun, belum tentu tahu dari mana asal mulanya. Teringat, semasa kecil dulu sering menderes ke hutan dan tidur di ladang menjaga tanaman. Selain binatang buas, yang paling ditakuti adalah babi. Bukan karena ia memangsa orang. Namun, jika jumpa berhadapan, babi akan menubruk apa saja.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada kata membabi dan membabi buta. Kata pertama artinya bertingkah seperti babi dan yang kedua melakukan sesuatu secara nekat, tidak peduli apa-apa lagi. Keduanya memiliki kedekatan makna, yakni perilaku menyamai babi, yakni jorok dan tak peduli risiko yang dihadapinya. Sejujurnya, rihlah ilmiah ke Malaysia akhir Januari lalu menyibak tabir ketidaktahuan itu. Bermula dari pakar Mikro Biologi Universitas Malang, Prof Muhammad Amin yang mengupas gerakan LBGT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Hal ini berkaitan dengan gempuran konspirasi global yang sistematis dan masif untuk merusak adab anak-anak kita.

Berdasarkan kajian ilmiahnya, ada tiga poin yang wajib dipahami orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yakni; Pertama, perilaku LGBT bukan naluriah dan fitrah. Manusia dilahirkan berpasangan dan secara naluri hanya senang kepada pasangannya (QS 3:14, 36:36).

Alquran menyebut homoseks sebagai faahisyah, yakni perbuatan keji yang wajib dijauhi (QS 16:90). Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menegaskan bahwa binatang saja yang tidak berakal tak mau kawin sejenis. Justru manusia yang berakal melakukan dengan bangga, sebagaimana kaum Nabi Luth. Dunia memang sudah terbalik (QS 7:80- 81).

Kedua, perilaku LGBT bukan bawaan genetik, melain kan penyakit dan peyimpangan serta gangguan kejiwaan. Jika anak lelaki sering bermain dengan perempuan, hormon kelelakiannya tidak tumbuh normal. Begitu pun sebaliknya, anak perempuan biasa bermain dengan lelaki, hormon kewanitaannya tidak berkembang baik. Majelis Ulama Indonesia pun mengeluarkan Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 yang mengharamkan dan termasuk penyimpangan serta kejahatan yang mesti mendapat hukuman.

Ketiga, perilaku LGBT bisa disembuhkan. Setiap penyakit ada obatnya dengan pertolongan Allah SWT. Hanya diperlukan kesadaran, kemauan, dan kesabaran untuk pulih, baik secara medis, pskologis, sosial, maupun spiritual. Pelakunya harus disembuhkan, tetapi gerakannya harus dipidanakan. Nabi SAW telah mengantisipasinya, agar orang tua memisahkan anak-anaknya di tempat tidur pada usia 10 tahun. Jangan sampai mereka tidur sekamar atau sekasur sebab bisa menjadi bibit munculnya penyimpangan (HR Abu Daud).

Ustaz Abdul Somad juga pernah menyampaikan bahwa binatang tidak mau kawin sesama jenis, kecuali babi. Jika ada manusia yang melakukannya, itu sama saja dengan babi. Prof Amin pun menguatkan, ketika birahinya memuncak, ia tidak pandang bulu, mana jantan atau betina. Bahkan, babi mau makan kotorannya sendiri. Barulah saya mengerti makna “membabi buta”, yakni manusia yang tak mengggunakan mata, telinga, pikiran, dan hati lagi sehingga lebih hina dari binatang (QS 7:179).

Sekarang kita sedang melawan kampanye LGBT dengan isu hak asasi manusia (HAM). Hingga 2017, sudah tercatat 26 negara yang melegalkan perkawinan sesama jenis. Akankah negeri tercinta Indonesia menjadi negara berikutnya? Naudzubillahi min dzalik. Allahu a’lam bishawab

Editor: Sarono PS

Sumber: Republika