Afriantoni (Dosen UIN Raden Fatah)
SWARNANEWS.CO.ID. Pendidikan politik di Indonesia dalam rangka demokratisasi dipadukan dengan otonomisasi berkembang karena persaingan global. Keduanya menyatu mengiringi proses perkembangan dan perjalanan sejarah bangsa. Diakui, bahwa masing-masing memuat pengaruh positif maupun negatif.
Demokratisasi menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa yang berhadapan langsung dengan globalisasi sebagai sebuah keniscayaan. Sedangkan demokratisasi dan otonomi, juga merupakan keniscayaan dalam konteks sejarah perkembangan bangsa Indonesia.
Pengaruh globalisasi ini menyusup dan menyatu ke tengah-tengah proses perkembangan demokratisasi dan otonomi daerah. Keterpaduan antara unsur-unsur ini ikut memberi dampak pada perubahan pada pola sikap, pola pikir, dan pola tindak anak bangsa.
Hari ini, pendidikan politik tidak berjalan dengan baik, karena globalisasi, demokratisasi dan otonomisasi melaju bebas. Pendidikan politik di level masyarakat terasa stagnasi. Entahlah, apakah pengamatan saya salah. Tetapi, era demokrasi kerakyatan ini justru telah mencerabut peran masyarakat dalam politik. Politik dalam rangka pemenuhan dasar publik jadi terbatas. Kesadaran politik diukur pada tingkat partisipasi publik pergi ke bilik suara. Kesadaran politik masyarakat sudah menyempit dan dibatasi masuk ke bilik suara dan menjoblos.
Kalau itu yang terjadi, maka sesungguhnya fenomena masyarakat ini membawa kita kepada jurang kemunduran. Demokrasi kita stagnasi. Pendidikan politik dibatasi peran-peran elit dalam memerankan fungsi pendidikan politik melalui lembaga-lembaga negara.
Jika, pendidikan politik dipahami sebuah “proses peningkatan kesadaran sosial masyarakat terhadap dinamika politik yang sedang berlangsung”. Maka masyarakat harus aktif dalam menganalisa dan memenuhi hak dasar mereka. Anehnya, pemahaman terhadap pendidikan politik justru berkembang sebagai sarana membentuk kesadaran politik masyarakat menuju dominasi kekuasaan yang tirani. Padahal, kesadaran politik masyarakat bukan sebagai alat tirani.
Seharusnya, kekuasaan dipergunakan secara dominan untuk memenuhi hak publik dan menjadi jalan untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara luas.
Politik Para Tirani
Dalam dinamika politik biasanya terdapat swing voters (belum menentukan pilihan), mereka ini menjadi lahan bagi pendidikan politik. Menurut Machiavelli pendidikan politik diberikan kepada mereka yang “belum tahu” atau mereka yang perlu memperoleh pemahaman pendidikan politik. Terkadang lahan inilah para tirani masuk untuk mendominasi gagasan dan pemahaman mereka menuju tirani kekuasaan.
Biasanya mereka menggunakan hak mereka untuk mencapai tujuan yakni kekuasaan.Tetapi, sungguh miris melihat perkembangan pola politik hari ini. Lembaga atau individu yang peduli pada peran sebagai pendidikan politik tidak menjadi pusat perhatian.Meraka bahkan sudah masuk kepada ranah yang sudah tercerabut dan cenderung praktis dan pragmatis.
Proses kompetisi pemilihan itu ternyata banyak memunculkan berbagai masalah.Tak mengherankan bila setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada terindikasi bahwa tingkat partisipasi masyarakat pemilih terus menurun. Secara nasional, penurunan ini terlihat dari tiga kali penyelenggaraan mulai Pemilu tahun 1999, jumlah pemilih sebesar 92, 74 persen, Pemilu 2004 sebesar 84,07 persen, dan Pemilu 2009 semakin turun menjadi 70, 99 persen (Ribut Lupianto, Republika, 5 Maret 2014). Luar biasa, angka ini sudah mencapai rata-rata 21,75 persen, sebuah angka yang tidak sedikit dan mengharu biru.
Selain itu, pada era Pilkada serentak partisipasi masyarakat tidak jauh berbeda. Pilkada Serentak tahun 2015 sekitar 70 persen. Pada tahun 2017 berada pada posisi 75 persen.
Sudah dua kali Pilkada Serentak partisipasi masyrakat tidak bisa meningkat mencapai 80 persen. Angka ini terkesan meningkat dalam dua tahun sekitar 10 persen, tetapi jika dilihat rata-rata nasional tidak mengalami perubahan signifikan berada pada posisi 70-75 persen.
Disisi lain, semakin banyaknya para calon pemimpin pada tahun 2018 Pilkada di seluruh Indonesia diikuti 171 daerah (17 Provinsi, 115 Kabupaten, dan 39 Kota). Jumlah paslon yang mendafatarkan diri sebanyak 580 dengan status diterima 569 dan 11 pendaftar ditolak. Setidaknya terdapat 17 provinsi ada 116 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di wilayah seluruh Indonesia. Jumlah ini memang cukup mempengaruhi tensi politik nasional.
Belum lagi, di balik layar bagi-bagi jatah kekuasaan di level kebijakan tentang pemilihan sehingga menghabiskan biaya mencapai 40 Triliun. Sungguh sangat mubazir kiranya hanya untuk memilih satu pasang pemimpin menghabiskan biaya yang cukup besar.
Kalau dikaji menurunnya angka partisipasi ini dan kebutuhan biaya yang sangat besar salah satu penyebab masyarakat apatis. Masyarakat heran untuk memilih dan mencari calon pemimpin menghabiskan banyak biaya, bagaimana bangsa ini akan maju?. Selain itu, masyarakat sudah bosan dengan janji dan kerja pemerintah, tanpa bukti untuk kesejahteraan mereka. Bukan kesejahteraan sekelompok elit yang menikmati uang rakyat.
Belum lagi bangsa ini mau membangun, terkendala proses periodesasi yang habis. Ada istilah, satu tahun menata, dua tahun balik modal, dan dan dua tahun menyiapkan pemilihan, semua seperti itu. Energi pemimpin disibukkan dengan perencanaan simultan berbasis kepentingan. Mungkin inilah yang disebut “politik para tirani”. Bukan pendidikan politik untuk menyejahterakan rakyat, malah mengeruk uang rakyat.
Hilangnya Kritisisme
Biasanya, peran pendidikan politik dilakukan oleh kelompok elit masyarakat: mahasiswa, perguruang tinggi, masyarakat luas, dan kelompok orang tergabung dalam LSM. Mereka berperan untuk penyadaran politik masyarakat. Masyarakat memperoleh kesadaran politik melalui kelompok masyarakat sebagai tempat menyalurkan aspirasi mereka. Tetapi, jika kelompok masyarakat dan rata-rata mahasiswa sudah terjun ke politik praktis. Bagaimana nasib masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka. Kini, kritisisme oleh sekelompok elit seolah menghilang tanpa bekas.
Pertama, kelompok mahasiswa. Aneh, memang dulu mahasiswa “malu-malu” untuk melakukan peran sebagai politik praktis. Tetapi, hari ini mahasiswa tanpa malu dan terbuka sudah ikut terlibat dalam politik praktis dengan berbagai macam “bendera”. Mengapa bisa demikian?. Karena, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat elit dapat berperan aktif untuk menarik grassroot dan cost politik cukup murah.
Memang, minggu lalu ada sekelompok mahasiswa berdemo dan bahkan akan menggeralar Sidang Rakyat, karena anggota DPRD Provinsi Sumsel tidak ada satupun ada di tempat. Memang gerakan mereka bagus tentang BBM, listrik, dan lainnya. Tetapi tidak populer karena perilaku politik mereka sudah dibaca dengan seksama oleh para politisi dan kelompok mahasiswa lain. Afiliasi mahasiswa yang sekarang sudah seperti terang benderang. Afiliasi ini tidak dapat diterjemahkan secara vulgar, karena pergerakan terbatas tanpa batas.
Saat ini, mahasiswa sudah menjadikan politik sebagai ajang untuk mendukung calon pemimpin atau partai sehingga berkembangnya politik praktis dengan wadah yang dianggap lebih netral, misalnya mendirikan gabungan mahasiswa, organisasi mahasiswa kedaerahan, menjadi relawan dalam Pilkada Pemilu, dan sebagainya.
Sedangkan di sisi lain, DEMA atau BEM menjadi tidak berdaya karena kritisisme mereka bukan pada hak-hak dan kebutuhan rakyat, tetapi lebih pada kepentingan pragmatis dan berada pada posisi tersingkirkan, dan bergerak mendukung di balik layar. Hal ini menjelaskan bahwa idealisme mahasiswa “sudah terkadaikan”.
Kedua, kelompok aktivis pergerakan. Entalah, mereka yang kritis juga seolah “hilang ditelan bumi”. Pergerakan Rizal Ramli beriring dengan Budiman Sujatmiko sempat menghimpun akvitis pemuda jalanan, mahasiswa, pelajar, dan kelompok tani-nelayan menjalar sampai daerah-daerah. Mereka selalu tampil sedemikian ekstrim dan menakutkan serta semau-maunya.
Hari ini semua semaraknya bungkam dan kurang berbunyi. Kelompok ini, sudah tidak terlihat oleh masyarakat, media pun tidak mau meliput persoalan ini secara besar-besaran. Mereka saat ini sedang mesra bersama pemerintah setelah berhasil mengawal dan menggolkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai amunisi pergerakan di level grassroot. Mungkin, mereka gerakan bagian pemerintah untuk penangkal anti-pemerintah.
Sedangkan sosok Rizal Ramli berada dalam “kebisuan idealismenya”. Kemana kelompok aktivis kritis ini berada?. Padahal, kelompok ini sangat kritis atas kebijakan-kebijakan pemerintah tempo dulu terkait HAM, Anti-Amerika, privatisasi, utang negara, kenaikan TDL, PDAM, minyak, dan kebutuhan bahan pokok. Mungkin, karena mereka sudah “berselingkuh” dengan kekuasaan, jadi sulit untuk lantang bicara atau sembarangan bicara.
Ketiga, kelompok agama.Kritisisme kelompok ini diwakil oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Isu yang selalu diangkat bunga bank haram, liberalisme budaya, kapitalisme ekonomi, dan fasisme dalam kekuasaan. Fenomena ini cenderung respon terhadap pergolakan kebijakan yang terkesan “tirani” karena mereka sudah berada di tapuk kekuasaan. Dampaknya, elemen kelompok keagamaan memprotes seluruh kebijakan yang cenderung diskriminasi dan menyinggung agama tertentu. Tetapi,kemana mereka sekarang. Kelompok ini bangkit dengan dipersatukan gerkan umat 212 tahun lalu,dan berhasil menghatarkan Anies-Sandi sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Begitulah kira-kira gambaran mengapa hari ini pendidikan politik tidak berjalan dengan baik dan semestinya.Masyarakat diberikan pendidikan politik melalui media sosial yang cenderung tidak sehat. Saling menjatuhkan dan mencaci,padahal mereka seagama.Aneh memang, demi sebuah kepentingan masyarakat rela mempertaruhkan akidah dan idealisme.
Kenyataannya, rakyat yang tergabung sebagai pendukung setia calon pemimpin terjebak pada kekeluargaan semu dan menuai “kecewa”. Hebatnya lagi, mereka yang tergabung dalam “tim sukses” hanya menjadi “pekerja pragmatis” begitu pesta demokrasi selesai, maka selesai pula semua urusan dan bisa saja hubungan dapat terputus.
Begitulah kekuasaan, terkadang kekuasaan seperti imperialisme baru dalam sistem birokrasi oleh sang tirani sebagai kelompok kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Untuk itu, dalam berdemokrasi sebaiknya merujuk kepada kebijakan nasional terkait jati diri bangsa melalui Pancasila dan UUD 1945. Semoga.
Editor: Sarono PS