Paradoks: Otonomi Daerah dan Kesejahteraan Rakyat

SWARNANEW.CO.ID | Oleh: Abdul Aziz, S.H(Wakil Ketua Komite III DPD RI)

Otonomi daerah adalah sesuatu yang tidak asing untuk menggambarkan kondisi daerah di Indonesia. Tantangan otonomi masa depan sesungguhnya ada pada bagaimana mengembalikan fokus persoalan pembangunan di setiap daerah. Sayangnya, logika desentralisasi sendiri belum sepenuhnya dipahami semua orang.
Dengan kondisi desentralisasi yang belum sepenuhnya dipahami dan memberikan dampak kesejahteraan. Seharusnya pula pemahaman otonomi daerah kembali diluruskan. Saat ini pemerintah daerah memahami proses desentralisasi sebagai proses kesadaran membangun struktur pemerintah. Desentralisasi selalu identik dengan persoalan rumah tangga daerah yang kaitannya dengan kewenangan mengurusi pemerintahan.

Merujuk pada David Corten memahami daerah sebagai “local is community.” Sesungguhnya otonomi daerah adalah persoalan konstituen (politik), namun domainnya adalah warga atau masyarakat itu sendiri. Otonomi seharusnya kita mengatur kita, bukan pemerintah mengatur kita (masyarakat). Sejauh ini bagi orang sosial tugasnya adalah membangun konteks, yang demikian memahami proses pembangunan lokal pada tempat masyarakat berada bukan pada nilai luar.

Pemerintah daerah saat ini merasa desentralisasi namun tidak untuk masyarakatnya. Masyarakat sesungguhnya pemilik kedaulatan, masyarakat lah subjek pembangunan yang mempunyai kewenangan sehingga penting memiliki kesadaran. Bahwa setiap kebijakan yang diambil memerlukan keterlibatan lokal.

Kondisi Pembangunan Dewasa ini, pemahaman otonomi daerah menggunakan konsep delivered development, bahwa setiap pembangunan yang dihantarkan menjadi proses tercapainya tujuan pembangunan. Selama ini masyarakat hanya dipandang sebagai objek yang menerima pembangunan, bukan subjek yang melakukan pembangunan. Kondisi demikian, pemerintah hampir tidak menggunakan powernya untuk melakukan pembangunan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan. Padahal kesejahteraan adalah fokus dalam pembangunan.

Menghayati kondisi pembangunan demikian, tentu tidak lepas dari capaian kesejahteraan sosial. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, angka putus sekolah, dan meningkatnya jumlah anak kurang gizi merupakan prestasi buruk dari pertumbuhan kesejahteraan sosial kita. Tahun 2017, Indonesia tercatat dengan banyak penduduk yang masih berada dibawah garis kemiskinan dan mempunyai kecenderungan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan.. Jumlah penduduk miskin sampai 2017 mencapai 27,77 juta.

Kemiskinan yang dihadapi juga diringi oleh ketidakseimbangan pembangunan di daerah. Kebijakan desentraliasi yang dikeluarkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan perimbangan keuangan daerah UU No. 33 Tahun 2004 ternyata belum mampu mengakomodir pemerintah melaksanakan prinsip keadilan dalam pembangunan. Juga tidak diikuti kesiapan daerah untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi tersebut. Tingkat pengangguran terbuka masih tinggi dan tingkat kesejahteraan sebagian besar tenaga kerja juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan banyaknya tuntutan dari para buruh diberbagai wilayah di Indonesia akan UMR yang rendah. Penduduk juga masih sulit mengakses dan mengalami rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Jika merujuk konsep pembangunan Midgley, pengarustamaan kesejahteraan tentu melibatkan pertumbuhan dan perubahan. Pendekatan ini secara sadar merujuk pada paradigma “pembangunan” atau “modernisasi” dengan sedikit revisi terhadap aspek kesejahteraan sosial sebagai inti pembangunan. Sebab, melihat fakta terjadinya pembangunan saat ini baik ditingkat lokal, pusat, maupun di berbagai negara sekalipun selalu ditandai dengan tingginya angka kemiskinan, pengangguran, rendahnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Itu sebabnya, pendekatan pembangunan lokal saat ini perlu menggabungkan proses-proses ekonomi dan sosial dalam proses pembangunan yang dinamis. Karena pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa pembangunan ekonomi, sebaliknya pembangunan ekonomi tidak akan bermakna tanpa diiringi peningkatan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Otonomi Lokal
Ditengah hiruk-pikuk persiapan pilkada serentak 2018, sesungguhnya bagi sebagian kepala daerah yang akan mengakhiri kepemimpinannya segera memberikan warisan pemahaman. Pada konteks pembangunan lokal, otonomi daerah adalah otonomi yang masyarakat sendiri memiliki kewenangan melokalkan kebijakan daerahnya. Bagi calon kepala daerah, pemahaman ini penting sebagai pondasi dalam pencapaian pertumbuhan kesejahteraan. Masyarakat adalah subjek yang melakukan pembangunan partisipatory, artinya masyarakat yang merencanakan, masyarakat yang mengontrol dan masyarakat yang mengimplementasikan.

Dari perspektif pembangunan lokal, desentralisasi perlu pembenahan. Pertama, perlunya meredefinisi peran negara/pemerintah yang selama ini cenderung lebih banyak menyetir rakyat. Pemerintah sebagai katalis sebaiknya fokus mendorong partisipasi masyarakat, bukan malah sebaliknya. Kedua, pemberdayaan warga perlu dilakukan, karena posisi warga/masyarakat dipahami sebagai konstituen. Konstituen yang dimaksud warga/masyarkat lah pemegang kendali kedaulatan. Ketiga, mengembangkan kepedulian swasta, yang tentunya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai izin sosial dan etika bisnis setiap perusahaan. Sehingga perusahaan-perusahan yang memiliki izin operasi akan memperhatikan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan pemberdayaan warga sekitar. Untuk mengubah ini, memang perlu pemikiran-pemikiran inovatif dan program-program kesejahteraan sosial yang strategis.
Semuanya bersumber pada rakyat.

Otonomi adalah persoalan melokalkan persepsi tentang kebijakan yang diambil oleh masyarakat. Sumber otonomi ini penting agar kedepan rakyat benar-benar merasakan apa yang dinamakan otonomi daerah.

editor Sarono ps

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *