Selamatkan Pengrajin Tempe Makin Sekarat
SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Ketergantungan pengrajin tempe dan tahu di Sumsel terhadap kedelai import membuat komoditi ini makin sekarat. Selain dipengaruhi naiknya dolar mengerek harga kedelai di posisi Rp.7.600 per kilogram bahkan bisa tembus hingga Rp 9.000 per kilogram, menjadi PR serius bagi pemda setempat. Jika tidak pengusaha lokal akan digilas oleh pelaku pasar tidak bertanggungjawab.
Hal ini disampaikan langsung oleh praktisi Pengusaha Tempe di Kawasan Industri Primer Koperasi Tahu Tempe Macan Lindungan Palembang. Dengan semakin begantungnya para pengusaha tempe ini terhadap bahan mentah kedelai import semakin hari akan semakin sulit, karena kecenderungan dolar terus naik semakin jadi. Belum lagi tidak adanya jaminan kualitas kedelai makin kecil diameter ukuranya.
Sebagai sarjana jebolan Ganesha Bandung, Fadli tidak mau tinggal diam melihat usaha keluarganya turun temurun ini hancur karena lemahnya sokongan komoditi kedelai berbasis lokal.
“Bayangkan mbak, saat ini saja kami tinggal 180 kg rata rata produksi per hari dari sebelumnya 200 – 250 kg per hari. Selain faktor kedelai masih import dengan harga fluktuatif tiap jam berubah layaknya dolar, pasokan dan kualitas juga belum terjamin maksimal,” beber Fadli (28).
Supliernya rata rata banyak dikuasai pengusaha Cina ini juga membuat pihaknya tak bisa berbuat banyak, semua yang atur mereka. Padahal sebagai penduduk asli, butuh juga terobosan pemerintah setempat bersinergi menyediakan lahan khusus kedelai dikelola swadaya masyarakat dengan dukungan kerjasama langsung pemerintah guna memenuhi kebutuhan kedelai bahan tempe dan tahu. Jika petaninya lokal, harga lokal juga bisa dipatok sendiri.
Berbeda dengan ketergantungan import saat ini terus membuat was was bisa produksi atau tidak. Bahkan ia sempat mewarning, jika kedelai tembus Rp 9.000 per kg seperti 2015 lalu pihaknya malah siap stop produksi dibanding memaksakan diri.
Sementara dolar sampai hari ini belum turun turun. Intervensi presiden sudah memanggil puluhan pengusaha kelas kakap di negeri ini juga belum berhasil.
Fadli berharap jeritan rakyat seperti ini bisa didengarkan pemerintah daerah agar bisa menyiapkan regulasi lokal lebih baik.
Di komplek industrinya saat ini ada 66 KK pengrajin tempe dan 3 pengrajin tahu. Jika rata rata kebutuhan kedelai per KK di posisi normal 100 kg, artinya per hari butuh 6.600 kg.
Bisa bayangkan, bila lahan kedelai bisa panen setiap 110 hari, artinya per 110 hari butuh kedelai 726.000 kg. Ini tidak bisa ditanam sendiri oleh sekelompok petani tapi tetap butuh sokongan pemda agar terjamin produksi dan keberlangsunganya.
Dari sisi SDM, Fadli mengaku sudah terjadi pengkaderan cukup bagus industri tempe ini. Tahun 2015 baru dirinya satu satunya pemuda terjun mengurusi sektor ini, saat ini sudah banyak pemuda mau menggeluti usaha ini dengan sangat baik.
Selain di Macan Lindungan, penyebaran ini juga ada di Plaju Tanjung Sari dan 24 Ilir.
Diakui Fadli kelebihan kedelai luar memang lebih bersih dibanding kedelai lokal lebih banyak kotoran kulitnya. Namun untuk jangka panjang ini perlu diperhatikan agar varitas kedelai lokal bisa jadi unggul.
Soal menajemen pemasaran, Fadli mengaku saat ini juga melambat. Bahkan beberapa kontrak dengan mall seperti Carrefour diputus tanpa sebab jelas. Harusnya ini juga diperhatikan Disperindag agar ada jaminan produk lokal masuk di mall lokal.
Fadli juga menyebut saat ini pihaknya fokus menjual di pasar Jakabaring dengan return dalam sehari mencapai 40 potong tidak laku dan akan diolah menjadi keripik tempe.
Rata rata setiap satu kilogram kedelai bisa menghasilkan 13 sampai 15 potong lenjer tempe.
Sementara takaran ragi samgat sedikit. Untuk musim panas hanya butuh 2,5 sendok per 2 karung 50 kg, sedangkan musim dingin bisa dua kali lipatnya.
Sedangkan untuk pengolahanya butuh direndam semalam, paginya digiling lalu dicuci dibuang kulut ari, baru dikasih ragi dan didiamkan selama 1 hari satu malam, baru siap untuk dilepas ke konsumen. (*)
Reporter/Editor : Asih