Perempuan Sebuah Puncak Kekuatan Kekuasaan

Oleh: Asih Wahyu Rini, MM
(Praktisi Pers sekaligus Akademisi dan Pemerhati Perempuan)

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Gagasan perempuan untuk tampil sebagai bentuk pencitraan sebuah produk adalah awal dimana sosok dewi ini mulai dikenal oleh dunia.

Ya, masih ingatkah dengan lukisan Monalisa. Meski patut menutup mata saat kepala ini mulai nanar mengingat sejarah lampau itu. Fakta dibalik itu semua perempuan awalnya tampil hanya sekedar komoditas semata.

Hari ini, setelah era berabad-abad lamanya itu tenggelam, masihkah platform perempuan senada dengan itu tetap terjadi.

Jawabnya pun gampang, ‘Ya’ , masih tetap ada dan bahkan dipelihara. Lantas muncul persoalan, bisakah dengan tanpa wanita dunia ini bisa berkembang. Bisakah dengan tanpa wanita negara ini mapan. Bisakah tanpa wanita sebuah keluarga bahagia terarah. Bisakah laki-laki hidup tanpa wanita. Bisakah sebuah kekuasaan langgeng tanpa adanya wanita?

Jika tidak jawabanya. Mampukah wanita selalu dijadikan pokok terpenting dari semua bagian kehidupan. Tak terkecuali bernegara. Lantas, kenapa masih selalu ada sekat dari setiap cita-cita dan semua kebutuhan pelaksanaan hak yang diingikan wanita.

Kita bicara yang sedang hit saat ini. Kuota perempuan di legeslasi. Dimana simpul 30 persen kuota perempuan toh hanya dijadikan syarat partai untuk bisa melenggang ke kursi pemilu seperti diamanahkan dalam UU No. 07 tahun 2017 tentang pemilu. Lantas siapa yang bertanggungjawab dengan lolos atau tidaknya perempuan bisa mendapatkan kursi legeslatif. Partaikah? mungkin sebagian kecil, karena tak semua mesin partai berjalan sehat. Toh akhirnya perempuan akan tetap berjuang sendiri dengan segala kemampuan daya juang yang mereka miliki untuk bisa lolos mendapatkan kursi, sebab tidak ada jaminan kuota 30 persen itu wajib terisi di legeslasi, tapi hanya sekedar syarat memperebutkan kursi legeslasi.

Persoalan lain tak kalah ngetop soal keterwakilan perempuan di jabatan Badan Pengawas Pemilu, KPU. Dimana proporsi perempuan khususnya di Banwaslu ini juga seperti meragukan dan mulai kasak kusuk jadi perbincangan lantaran hampir seluruh pengawas berjenis kelamin laki-laki. Entah ada apa, apakah tugas pengawasan hanya bisa dilakukan laki-laki, atau hanya faktor kebetulan saja. Kondisi ini membuat sebagaian perempuan mulai sungkan melihat fenomena ini. Berbeda dengan KPU masih proporsional meloloskan perempuan untuk ikut duduk dalam anggota KPU.

Artinya apa, kegamangan negeri ini mempercayai perempuan masih terus terjadi. Bisa dikatakan cermin suksesnya banyak perempuam mendulang kekuatan sebuah peradaban dan kenegaraan masih dinafikan.

Di sisi lain bingkai ini tidak bisa kita lepas dari istilah “harta, tahta, dan wanita”. Tiga hal ini adalah fitnah bagi “laki-laki” yang seringkali bukan menjadi lip toys semata, tetapi sebuah hal yang lumrah terjadi dalam masyarakat.

Istilah tersebut memang terbukti kebenarannya. Manusia yang naluri mempertahankan dirinya sangat tinggi, maka harta dan tahta menjadi kecenderungan bagi dirinya. Seringkali perempuan pun masuk dalam lingkaran pemuasan naluri ini saja dan belum banyak dipandang sebuah kebutuhan kekuatan global.

Alasanya mengapa perempuan harus terlibat dalam aspek kekuasaan tidak lain karena ingin mengubah kondisi masyarakat terutama pada persoalan-persoalan krusial yang dihadapi perempuan dan anak-anak. Sekaligus mengubah peradaban menjadi bersinar karena baik perempuan baik negara, rusak perempuan maka rusaklah negara.

Dalam kacamata demokrasi, keterlibatan perempuan harus turut andil dalam kancah perpolitikan yang terbatas pada aspek legislasi dan kekuasaan harus didukung maksimal. Sehingga kuota tuntutan 30 % perempuan dalam parlemen ikut diperjuangkan hingga ke titik mutlak mengisi kursi legeslasi. Dengn begitu, partai akan punya yugas penting menggiring seluruh kader bacaleg perempuan agar mampu dan bisa lolos ke kursi legeslasi.

Tugas selanjutnya perempuan berkiprah inilah mampu memaksimalkan fungsinya menjadi kekuatan kekuasaan yang bersih dan terbaik seperyi dicontohkan Ratu Negeri Saba’ yaknu Ratu Balqis selain mau tunduk dengan kebenaran juga mampu membawa negerinya baldatun toyyibah negeri aman dan makmur.

Saatnya unsur parpol, ormas perempuan, kaum bapak dan pemangku kebijakan melihat potensi perempuan menjadi modal kekuatan kedaulatan kekuasaan yang baik di lini yang ada secara proporsional tanpa basa basi.

Negeri ini sudah patut bersyukur mulai munculnya tokoh-tokoh perempuan kian fenomenal di kancah perpolitikan.

Sebut saja Khofifah Indarparawangsa, Angelina Sondakh, Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka, Ratu Atut, Tri Risma dan di Sumsel mulai muncul nama-nama Maphilinda Syahrial, Asmawati, Liza Sako, Fitri Agustinda, Anita Nuringhati.

Meski ada dari nama itu masuk perangkap korupsi dan terjebak kebijakan sistem. Karena memang sistem demokrasi meniscayakan korupsi disebabkan biaya kampanye dan segala atributnya yang begitu mahal, sehingga orang cenderung menggunakan kekuasaan sebagai politik transaksional termasuk perempuan.

Tersandung Sistem
Bukan menjadi rahasia umum lagi, politisi perempuan pun terjun dalam praktik korupsi di negeri ini. Namun ada sebagian yang tetap bertahan dan masih memegang idealismenya untuk mengubah kondisi masyarakat. Bagi para perempuan yang duduk pada tampuk kekuasaan, sebenarnya banyak hal yang ingin dilakukan demi kepentingan masyarakat.

Namun karena tersandung perangkap sistem, hal-hal yang pada dasarnya negatif, dijadikan positif bagi pengambil kebijakan yang notabene adalah perempuan ini. Yang lainnya masih tetap keukeh dengan idealismenya, namun kembali disayangkan karena kepentingan materialistik, kebijakan mereka menuai kontroversi.

Ini pernah terbukti pada kebijakan yang ditempuh oleh walikota Surabaya, Ibu Tri Risma beberapa waktu lalu dan masih lekat dengan ingatan, soal penutupan tempat-tempat prostitusi yang banyak ditolak oleh para suksesi birokrasi. Padahal, maksudnya baik, ingin mengubah moral masyarakat dan melindungi harkat dan martabat kaum perempuan serta menjaga kualitas generasi muda.

Dari fakta ini, ada dua hal penting yang sebaiknya kita pertimbangkan. Pertama, sebaik apapun seorang pemimpin atau pengambil kebijakan, namun jika ia memimpin dalam sistem yang rusak, maka kecenderungan baik dan positif yang ia miliki, tidak akan mudah untuk diaplikasikan dalam kepemimpinannya, bahkan bisa dikatakan mustahil. Sehingga kedepan butuh sosok perempuan mapan dari segalanya mampu memperbaiki sistem dari kerangka keluarga, lingkungan hingga kerangka kenegaraan.

Fenomena Ibu Tri Risma ini harusnya menyadarkan kita agar tidak lagi terjebak  pada arus pemberdayaan politik perempuan  sebagaimana yang dikampanyekan dalam sistem demokrasi saat ini.  Kedua, dalam demokrasi, dikatakan jika perempuan masuk dalam arus politik seperti di parlemen, eksekutif dan sebagainya, maka akan memberikan kontribusi yang signifikan dan akan menjadi jalan penyelesaian persoalan-persoalan perempuan. Tetapi pada faktanya, kebijakan pro perempuan seperti rencana penutupan tempat-tempat lokalisasi  malah tetap harus berkompromi dengan segenap kepentingan yang ada (tekanan-tekanan politik).

Berbicara tentang politik, banyak orang menganggap bahwa politik itu hanya sebatas pada aspek kekuasaan semata. Namun jika dipikir mendalam sesuai akal sehat, politik adalah “pengurusan” dan yang diurus adalah rakyat. Ini sejalan dengan definisi politik dalam islam, al-riayatul suunil ummah, yang artinya mengurusi kepentingan rakyat.

Nah, jika rakyat yang diurus, maka di dalamnya ada laki-laki, perempuan, yang tua maupun muda, tercakup dalam institusi yang paling terkecil dalam masyarakat sampai yang terbesar. Mulai dari institusi keluarga, masyarakat dan negara. Semuanya butuh pengurusan. Sehingga lahirlah sistem ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan pergaulan.

Pertanyaannya, dimana peran dan andil perempuan dalam sistem politik ini? Apakah hanya sebatas menduduki tampuk parlemen dan kekuasaan?  Dalam Islam, peran politik perempuan sudah jelas digambarkan. Perempuan ditempatkan dalam posisi bergengsi dalam institusi keluarga yakni pendidik sekaligus pengurus generasi yang akan meneruskan cikal bakal kepemimpinan negara.

Saking bergengsinya posisi ini, perempuan diizinkan untuk tidak bekerja mencari nafkah hidup. Dan hal itu dilimpahkan kepada kaum laki-laki. Inilah peran politik yang akan mengubah kualitas masyarakat, jika perempuan dididik secara proporsional dengan ilmu yang berlimpah untuk menjaga perannya sebagai pendidik generasi.

Selain itu, dalam komunitas masyarakat, perempuan juga diberikan peran yang sama dengan kaum lelaki untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran. Inilah peran politik perempuan yang nantinya akan memberikan kontribusi dalam hal perbaikan masyarakat.

Jika di Amerika ataupun Eropa, hak memilih bagi perempuan baru eksis pada abad ke -19, Islam sejak kedatangannya telah menetapkan perempuan memilih dan dipilih menjadi anggota majelis syura, melakukan baiat, menasihati dan mengoreksi penguasa serta menjadi anggota dalam sebuah partai politik kecuali aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan/ pemerintahan misalnya menjadi penguasa atau kepala negara tidak dibolehkan.

Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab penuh secara langsung dalam mengurusi masyarakat. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara) muawwin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan, wali (kepala wilayah) dan amil (kepala daerah). Islam tidak memperbolehkan perempuan menempati posisi penguasa dalam perannya di sektor publik.

Hanya saja, hal tersebut tidak berarti islam mendiskriminasikan peran politik perempuan. Karena islam telah menempatkan perempuan pada tempat yang teramat penting dan mulia yaitu sebagai ummu wa robbatul bayt (pengurus institusi terpenting dalam sebuah negara yakni keluarga) dan  ibu generasi.

Mereka harus tetap standby menjaga peran ini agar masyarakat dan negara tidak mengalami keguncangan mendasar. Karena di tangan perempuanlah, kualitas masyarakat dan masa depan umat ditentukan.

Dalam Islam pun tidak dikenal istilah diskriminasi perempuan sebab aturan-aturan Islam terkait perempuan bertujuan tak lain selain memuliakan perempuan, hingga kaum perempuan tak perlu susah payah berlomba dengan kaum laki-laki untuk berebut tampuk kepemimpinan. Meski demikian kaum perempuan diperbolehkan memiliki wakil dalam “majelis ummah” yang bisa menyampaikan perkara kepada masyarakat luas.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *