”Pepatah Tue” Alternatif Kiblat Akhlak Jaman Now

Etnik Besemah memang bukan kelompok yang istimewa jika dibandingkan dengan etnik-etnik lainya. Namun mampu memberikan sebuah terobosan baru bagi kelangsungan nilai-nilai generasi jaman now yang sudah mulai melupakan entitas ahlak yang agung dari ajaran puyang mereka. Pepatah Jeme Tue ini salah satu peninggalan puyang patut berada di posisi paling depan diantara barisan televisi, hp, gedjet yang  makin canggih dan perkembanganya secepat pesawat supersonik.

Oleh : Asih Wahyu Rini

Kepulangan Salimar (32) pagi itu ke desanya bukan tidak beralasan. Sosok guru SD Negeri Kecamatan Dempo Utara Pagar Alam  Dusun Bandar ini mengaku lebih senang mengabdikan diri pada sekolah di desanya dibandingkan melamar menjadi guru di wilayah perkotaan yang selalu dinanti-nanti guru kebanyakan.

Kerinduan Sali (nama panggilan) dengan adat budaya para Pepatah Tue di desanya lah ternyata membuatnya makin susah melupakan tanah kelahiranya itu. Menurut Sali, budaya itu jarang dan sulit ia temukan di daerah perkotan tempat ia pernah kuliah mendapatkan gelar sarjana strata satu.

Cuaca hari itu memang agak sedikit panas. Sembulan matahari pagi sejak pukul 08.00 WIB pagi, saat mobil Travel Batang Hari 9 (nama agen travel) mulai meluncur ke jurusan Pagar Alam sudah kurasakan `begitu hangat di badan. Sampai perbincanganku dengan Sali sedikit terhenti karena harus mencari minuman dingin agar terasa lebih segar.

Meski baru mengenalnya, Sali tampak tidak canggung bercerita sepanjang perjalanan kami menuju Pagar Alam. Kebetulan saya bersama suami dan keempat putra dan putriku ingin berlibur menikmati fantasi kebun Teh di Pagar alam untuk beberapa hari.

Kehangatan cerita Sali membuat jiwa jurnalisku bangkit penasaran, akhirnya kami diminta menginap di rumahnya semalam, dengan senanghati saya terima. Tak sedikit cerita yang kami bisa ambil dari Sali dan keluarganya. Bahkan kami juga diajak berkenalan dengan beberapa tokoh penting ikut melestarikan budaya ini.

Faktanya, kondisi objektif etnik Besemah yang berada di wilayah Provinsi Sumsel ini, hampir-hampir terlupakan secara total. Tak heran  kalau para tetue di sana makin gencar terus berupaya mempertahankan  nilai-nilai etnik yang selama ini berkembang ke dalam diri generasi muda mereka.

Salah satu metode yang digunakan oleh para tetue untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri generasi muda di sini  menggunakan pepatah. Ya, pepatah para jeme tue yang sangat dikenal dengan nilai-nilai bisa membentuk kepribadian generasi muda. Namun sayangnya, menutu Jamian salah satu tokoh tetue  pepatah ini sudah jarang terdengar dari lisan para tetue  dan  gerenasi muda baru. Sehingga upaya untuk membangkitkanya kembali melalui acara-acara resmi ceramah dan lainya kini terus dilakukan.

Pepatah sudah dikalahkan dengan pola-pola baru dalam kehidupan modern, TV, HP dan internet. Karena, bagaimanapun juga, era globalisasi tidak dapat ditolak, era modern yang global harus dilalui oleh setiap manusia yang syarat dengan kompetisi. Dimana pemenangnya sangat ditentukan oleh kualitas manusianya.

Menurut Stiglitz “globalisasi adalah fakta yang tidak terelakkan bila ingin menjadi bagian dari dunia modern agar negara berkembang dapat memaksimalkan manfaat globalisasi dan meminimalkan dampaknya.

Ancaman ini pernah diperingatkan oleh beberapa tokoh lainseperti Rahman mengatakan “Di dalam masyarakat modern, nilai-nilai tradisional betapapun utamanya, mudah terancam”. Ancaman ini berlaku dan sedang berlangsung di dalam tubuh masyarakat etnik Besemah di Pagaralam. Sistem nilai pernah tertanam kuat di masyarakat Besemah berangsur-angsur pudar dan tidak lagi menjadi pedoman atau sumber bagi para generasi muda.

Etnik Besemah yang notabene tinggal di daerah kaki Gunung Dempo Sumsel mengenal banyak pepatah jeme tue. Pepatah jeme tue masih dirasakan di daerah tersebut misalnya wilayah Dempo Utara, Dempo Tengah, Pagaralam Utara, dan sekitarnya. Pada kenyataannya, walaupun tidak secara menyeluruh, masyarakat etnik Besemah di wilayah ini tetap menerima proses perubahan alur zaman, tetapi mereka masih menerapkan nilai-nilai pepatah jeme tue.

Penerapan pada anak cucu etnik Besemah untuk memberikan pesan moral dalam kehidupan etnik Besemah. Seperti diungkapkan Diemroh Ihsan bahwa “Kita bersyukur apabila masih ada dan banyak anak cucu jurai Besemah yang memahami dan mentaati pesan-pesan moral yang terkandung di dalam pesan setiap ungkapan atau pepata-petitih”. Pepatah jeme tue adalah ungkapan tradisional. Pepatah jeme tue merupakan salah satu budaya tradisional tentang bahasa dan budaya yang tidak terpisahkan. Pepatah jeme tue merupakan panduan dalam berperilaku sekaligus ideologi atau pedoman hidup etnik Besemah.

Pada kenyataan sehari-hari, nampak sekali bagaimana pepatah jeme tue benar-benar diyakini, dilakoni dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, dalam kehidupan sehari-hari etnik Besemah akan sangat marah/tersinggung jika dikatakan “dek beganti” yang berarti “tidak bermanfaat”. “jangan dek beganti” adalah salah satu contoh ungkapan tradisional etnik Besemah. Demikian juga “amu dik pacak ngiluki, jangan menghusak jadilah” yang berarti “tidak bisa membetulkan, jangan merusak saja sudah cukup”. Sayangnya, upaya para pegiat kebudayaan untuk membudayakan pepatah jeme tue kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Padahal pepatah tersebut bisa berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi keluarga terutama untuk anak. Pepatah dikatakan sebagai pedoman hidup karena pepatah jeme tue tersebut benar-benar dilakoni oleh sebagian besar masyarakat setempat.

Pepatah ini memang cocok dikatakan sebagai pedoman hidup karena pepatah jeme tue tersebut benar-benar dilakoni oleh sebagian besar masyarakat setempat. Lebih dari sekedar ungkapan tradisional yang menghiasi dijalan-jalan raya kota Pagaralam, tetapi pepatah jeme tue ini pun juga banyak disampaikan ketika ada ceramah-ceramah keagamaan atau ketika ada pertemuan-pertemuan secara resmi.

Pepatah jeme tue menurut ceritanya, sudah menjadi tradisi sangat lama, yakni sebelum zaman penjajahan Belanda. Pepatah ini sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat etnik besemah untuk menjaga nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat. Beberapa pepata jeme tue yang sempat penulis peroleh diantaranya.

Jangan ngegho ulu mandian, Jangan nak njuluk anak bulan, Jangan ngeduk ngeluagh nimbe kedalam, Jangan nube ulu mandian, Jangan merebek jalan ke ayik, Jangan menghetak jambat, Jangan banyak ige tangga dinaiki, Jangan banyak tangga ndek dianaiki, Jangan dek beganti, Jangan seghumah dek selangge, Jangan napok aek dipucok dulang, Jangan nyandar di pucuk punggung, Serame-beghagi, Ndepat mbalik rase beghagih, Utang mbayar, piutang tanggapi, Segale-gale jangan “ige”, Ndek Kecik nurut, ndek besak peralah, nde tue ngipat, Iluk-iluk la dik beradik, dan jangan mudah bepengambik, Nundeka kehge naik akarg, Mpuk dide ngilui jangan merusak jadilah, Awak pundak nak ngentam pagu, Dek ngukur baju dipakai, Amu ndak iluk mpung gi undak, Bekenceghan, Antak ka lemak nanggung kudai, Janji nunggu kate betaroh, Endek jeme, endek jeme. Ende dewek endek dewek, Seganti setungguan, Ndek kecik nitrat ndek besak ngipat, Mpuk galak, tahani dikit, Mpuk dindak, bidikah dikit.  Berkate lemah-lembut,Tumbang dide, sangi jawekah, Sembak wi, pengarang rakit,Timbul tenggelam same-same, Ngerampung same anyut, Ulak same ulak, tanggung same narik, Saghak adak, sebandung dide, Takut jangan belaghi, melawan jangan ngalau, Ndepat mbaliq, serame beghagih, Ade ndak kulu, ade ndak kiligh, Berangkekah pedang di tangan, Siangi jalan ke mandian, Bekampung, bedusun laman, Tunggal dusun, apit dusun, Tunggal juray, apit juray, Apit dusun, tunggal mandian, Apit Merege, Dikde buleh dudok dipangkal tanggo itu, Tidak boleh berjungkai keteng di pucuk garang, Ikan mati jangan diq ngambiq, Aguq bedusun jangan ditinggal, Ka jagok dek ke mati di sambar gelang, Akwi pengarang raket timbul tenggelam same-same, Ame nak ilok peng di tunggal, Jangan manakah batu keluar.

Harapannya generasi muda di kota Pagaralam dapat mengambil yang baik-baik dan meniggalkan yang buruknya. Namun tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya, seperti lebih banyak generasi muda yang tertarik dengan gaya serta cara yang kurang baik.

Oleh sebab itulah itu perlu dibatasi tontonan atau bacaan yang bernada kekejaman atau pun kekerasan, apalagi tontonan atau bacaan itu disebarkan diseluruh wilayah, tak perduli di kota mau pun di desa-desa, karenanya hampir seluruh remaja Indonesia banyak yang terpengaruh.

Nah, salah satu nama yang melegenda bisa dicontoh dari sejarah di desa ini adalah ngawak raje nyawe dalam peradaban Besemah Wilayah keberadaan etnik Besemah adalah suku bangsa yang mendiami wilayah kota Pagaralam, kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, dan di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif, gunung Dempo. Daerah Besemah tadinya meliputi empat daerah otonomi, yaitu Kabupaten Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, dan Pagaralam.

Walaupun secara otonomi terpisah, pemekaran wilayah ini, menurut beliau, seharusnya tidak berpengaruh pada terpecah-pecahnya budaya karena pada dasarnya masyarakat Besemah di Sumatera Selatan adalah satu kesatuan yang disebut “juray Besemah” dan daerahnya disebut “Jagad Besemah” atau “Besemah Sekali Nuduh”. Dengan demikian, budaya, bahasa, dan kesusasteraan yang diwariskan secara turun-temurun pun diharapkan tetap dijaga bersama. Selain memiliki nilai yang luhur dan universal, peninggalan nenek moyang ini dapat menjadi filter masuknya budaya asing yang mungkin tidak sesuai dengan budaya lokal.

Selanjutnya dalam  bahasa Besemah artinya ngawak adalah melepaskan diri dari kemashlahatan dunia. Raja nyawe adalah raja atau penguasa sekalian ruh. Dalam artian orang yang sudah mencapai ma’rifat yang tinggi terhadap Sang Pencipta. Keyakinan yang mendalam kepada adanya sesuatu di luar diri manusia yang mampu menguasi manusia.

Ketokohan ngawak raje nyawe  memperlihatkan peradaban budaya Besemah yang sarat dengan ajaran-ajaran spritual yang dapat membentuk karakter masyarakat dan hubungan sosial antara manusia dengan Sang Pencipta. Dari temuan-temuan ini juga memperlihatkan peradaban budaya Besemah yang juga berkiblat pada ajaran-ajaran samawi atau samak.

Merujuk pada visi Kota Pagaralam adalah Terwujudnya Keseimbangan Masyarakat Pagar Alam yang Sehat, Cerdas, Berakhlak Mulia, dan Diduking oleh Ekonomi Kerakyatan yang Tangguh dalam Lingkungan yang Alami. Untuk visi ini maka setiap tindakan harus mampu menjalankan pemerintahan secara komprehensif. adanya pepatah di tanah Besemah diketahui orang-orang adanya larangan-larangan atau nasehat-nasehat yang dijadikan pegangan oleh etnik Besemah. Pepatah itu sudah ada karena disampaikan oleh para tetue-tetue zaman dulu kepada anak-cucu mereka. Tujuannya untuk menjaga kerukunan, keamanan, ketentraman, kemajuan dan motivasi baik dari dalam keluarga, inividu, dan masyarakat secara luas.

Pepatah jeme tue itu merupakan bagian dari kebudayaan Besemah yang harus dilestarikan, karenanya kami sebagai ketua adat Besemah senantiasa mengajak, menghimbau dan sebagainya untuk melestarikan budaya Besemah. Termasuk pepata-petitih Besemah, harus dilestarikan melalui radio, koran dan pencetakan buku untuk anak-anak muda (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *