Campak dan Rubella Masih Mengancam, Kampanye Pentingnya Imunisasi Mendesak Dilakukan

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG |Program imunisasi untuk mencegah campak dan rubella (MR) yang akan dilaksanakan pada Agustus-September 2018 masih menjadi  perdebatan  dan pro dan kontra vaksinasinya.  Oleh karena itu langkah-langkah untuk memberikan penjelasan kepada semua lapisan masyarakat memahami pentingnya vaksinasi tersebut.

Hal itu terungkap dalam kegiatan Media Journalist engagement media  (road show and journalist orientation) atau  kampanye imunisasi Campak dan Rubbella di hotel Amaris Palembang,  Kamis (2/8/2018).

Kegiatan yang dihadiri puluhan para pemimpin redaksi media cetak dan online tersebut menghadirkan para pembicara yakni dr Rismarini, SpA (K) dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel dan Tomi Sucipto dari  perwakilan Unicef di Indonesia. Pada kesempatan itu juga diberikan testimoni dari dokter Deviana Sialagan yang memiliki anak menderita penyakit  Congenital Rubella Syndrom atau cacat bawaan akibat infeksi virus Rubella.

Dokter Rismarini pada saat itu menguraikan mengapa anak-anak butuh vaksinasi? Karena anak membutuhkan untuk meingkatkan kekebalan  dari penyakit campak dan rubella. Meski pada kenyataannya kalangan masyarakat  percaya anak-anak memiliki kekebalan tubuh berasal dari asupan makanan dan gizi yang baik sehingga tidak membutuhkan vaksinasi.

Sedangkan berkaitan dengan kelompok masyarakat yang menolak untuk vaksinasi menurut Doker Risma perlu diajak berdialog dan diberikan pemahaman tentang pentingnya vaksinasi tersebut. Memang asupan makanan bergizi, suplemen, serta ASI (air susu ibu) bagi anak penting tetapi harus dibarengi dengan vaksinasi yang memberikan kekebalan spesifik pada anak-anak.

“Vaksin itu memberikan kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu seperti campak dan polio. Kenapa vaksin diberikan pada usia sangat dini, bahkan bayi baru lahir pun langsung diberi imunisasi, karena pertama kekebalan tubuh belum sempurna,” jelas  Rismarini.

“Kedua, (tubuh) mereka belum mengenali kuman-kuman yang bisa membuat penyakit itu, (tubuh) mereka sudah dikenalkan sejak dini untuk membentuk kekebalan yang spesifik terhadap penyakit tadi,,” imbuhnya.

Para pemimpin redaksi media cetak dan online peserta kegiatan orientasi tentang campak dan Rubella.

Sedangkan berkaitan masalah halal dan haram vaksin baik dokter Rismarini dan Tomi Sucipto  tetap menunggu fatwa dari MUI berkaitan dengan hal tersebut. Meski Rismarini menjelaskan keharaman itu pada dasarnya dimaksudkan pada makanan yakni babi, binatang yang bukan karena disembelih dengan nama Allah, bangkai atau binatang yang mati tercekik. Sedangkan vaksin adalah bahan obat yang bertujuan untuk memberikan kekebalan tubuh dan pemberiannya juga saat emergency dan tidak berlebihan.

“Saya zero tolerance terhadap babi. Saya tidak akan memasukkan anak saya sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan zat babi. Itu memang  jadi pertimbangan utama sebagai orang Islam,”  ujar dokter menirukan ada masyarakat yang berpandangan demikian dan bagusnya tetap diajak diskusi.

Berdasarkan informasi yang swarnanews.co.id  dapatkan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan vaksin yang beredar di Indonesia tidak mengandung babi. Akan tetapi, dalam pembuatan vaksin seperti polio, enzim tripsin babi memang digunakan, walau sudah “dibersihkan dan dihilangkan” sehingga tidak mengganggu tahapan selanjutnya dalam produksi vaksin.

Ada dua cara penggunaannya. Pertama, sebagai katalisator ketika dilihat produk akhir itu sudah tidak terdeteksi sama sekali, secara umum sangat terlarut jadi tak ada produk babinya dalam produk akhirnya. Kedua, sebagai stabilisator, tapi ketika dalam penelitian DNA sudah bukan DNA babi lagi, sudah berubah bentuknya.

Sedangkan berkaitan belum  adanya  sertifikasi halal, bukan berarti vaksin itu haram. Namun untuk menengahi masalah halal dan haram vaksin,  pemerintah perlu didorong  untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI.

Saat ini  Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan sertifikat halal untuk tiga vaksin yang beredar di Indonesia yaitu vaksin polio, rotavirus dan meningitis. MUI juga telah mengeluarkan Fatwa No. 4 tahun 2016 yang membolehkan imunisasi sebagai bentuk ikhtiar atau upaya untuk memberikan kekebalan tubuh dan mencegah penyakit tertentu.

Sementara itu Tomi Sucipto menambahkan, memang hingga saat ini  MUI belum mengeluarkan sertifikasi halal untuk vaksin MR yang digunakan dalam program imunisasi.

“MUI dalam kapasitas tidak menghalalkan dan tidak mengharamkan karena belum diproses, tetapi jika orang tua memandang perlu divaksinasi yakin divaksinasi dan bermanfaat untuk kesehatan anak ya saya kira tak masalah divaksinasi saja. Tetapi yang ragu dan belum yakin halal dan menolak ya tidak apa-apa,,” jelas Tomi.

Menurutnya, pemerintah menggunakan vaksin yang sama dengan yang digunakan di lebih dari 140 negara, termasuk 48 negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Kita juga mengharapkan  tidak ada unsur babi yang digunakan dalam pembuatan vaksin MR.

“Pada prinsipnya vaksin untuk campaknya sendiri dibuat (dengan dibiakkan pada) embrio ayam, sedangkan untuk rubellanya sendiri (dibiakkan) bagian sel manusia tetapi tidak langsung, kemudian dicetak dan didapat karakterisktiknya. Kemudian karakteristiknya ditanam pada bagian sel yang lain. Itu yang diambil dan digabung jadi campak dan rubella,” jelasnya.

 

Tomi Sucipto dari Unicef saat paparan.

Tomi mengatakan imunisasi ini memiliki manfaat yang lebih besar karena dapat mencegah kematian akibat komplikasi akibat penyakit campak.

“Campak pada anak-anak gejalanya kesannya ringan tapi komplikasinya yang berbahaya bisa diare berat, menyerang sistem syaraf, kejang-kejang dan mungkin kebutaan dan kematian,” jelas Dokter Rismarini menambahkan lagi.

Sementara Rubella jika dialami perempuan yang hamil trimester pertama akan menyerang janin dan dapat lahir dengan kebutaan atau kecacatan; gangguan jantung dan pertumbuhan, yang disebut rubella congenital.

Data juga menunjukkan campak masih merupakan penyebab kematian 134.200 anak-anak di seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk 54.500 anak di Asia Tenggara.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan vaksinasi terbukti mencegah penyebaran penyakit serta menyelamatkan nyawa jutaan anak-anak di dunia.

Meski demikian, banyak orangtua yang masih meragukan keamanan vaksin, seringkali menghubungkan vaksinasi dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi atau KIPI.

Masalah keamanan vaksin ini seringkali dikaitkan dengan asumsi yang berkembang sebelum investigasi dilakukan oleh pihak berwenang. Salah satu yang banyak diberitakan adalah kasus anak di Demak yang mengalami kelumpuhan setelah diimunisasi MR.

Tetapi setelah diinvestigasi, kelumpuhan itu tidak ada kaitannya dengan vaksinasi MR.

Dalam menghadapi penolakan ini, kita berusaha meyakinkan masyarakat melalui sosialisasi atau kampanye seperti ini bahwa  vaksin yang digunakan di Indonesia terjamin keamanannya. Adapun vaksin MR telah digunakan di 141 negara dan tidak ada laporan efek samping yang berbahaya.

Proses produksi vaksin yang melewati beberapa tahap, membuatnya aman untuk digunakan.

“Vaksin itu dibuat dibuat setelah melewati tiga tahap klinis, dibuat sudah sangat aman, walaupun ada kemungkinan yang dipasarkan ternyata ada efek samping, tapi kasus dibilang sangat jarang. Ada KIPI demam, nyeri di bekas suntikan itu wajar, tapi misalnya vaksin menimbulkan alergi berat sampai menimbulkan orang meninggal itu bisa dibilang very rare, bisa dibilang jumlahnya kurang dari 1 banding 1 juta,,” tambah Rismarini.

Satu vaksin harus memenuhi dua syarat aman dan efektif. Artinya mampu menimbulkan kekebalan tubuh sehingga anak tersebut tidak sakit.

 

dr Rismarini, SpA (K)

Sedangkan berkaitan dengan orangtua yang menolak vaksinasi menganggap anak mereka tetap sehat meski tidak diimunisasi.  Rismarini mengingatkan anak-anak yang tidak diimunisasi ini justru mendapat perlindungan dari mereka yang divaksinasi.

“Syarat keberhasilan selain efektif cakupan diatas 95% kalau tidak tercapai maka tidak akan tercapai yang namanya herd immunity atau kekebalan lingkungan. Kita sadar tak ada vaksin yang 100% cakupannya, tapi dengan cakupan minimal itu akan melindungi anak-anak yang tidak diimunisasi,” jelasnya..

“Efektivitas vaksin tidak 100%. untuk vaksin cacar air (misalnya), sekitar 70-90%, jadi dari 10 anak yg diimunisasi cacar air, sekitar 1-3 tetap sakit, tetapi lebih dari separuhnya tidak sakit,” tambahnya.

Cakupan imunisasi yang kurang bisa menyebabkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti pada 2015 lalu, di Padang, Sumatra Barat, dalam penularan difteri. KLB tersebut disebabkan target cakupan imunisasi kumulatif satu provinsi 90%. Pada 2014 hanya mencapai 77 % dan di Padang jumlahnya hanya mencapai 72%.

Sejumlah program imunisasi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya wabah, dan sejumlah keberhasilan vaksinasi antara lain, cacar pada 1974, tetanus neonatorum pada 2015 lalu, serta bebas polio pada 2014. “Untuk campak, Indonesia menargetkan bebas pada 2020 mendatang,” jelas dia.

Menurut kantor regional Asia Tenggara dari Badan Kesehatan Dunia (WHO SEARO), Indonesia merupakan salah satu negara yang tertinggal dalam upaya menangani penyakit campak. Ini disebabkan adanya kesalahpahaman terhadap upaya vaksinasi.