Mulia karena Tawadhu

Allah menilai manusia berdasarkan iman dan amal saleh.

SWARNANEWS.CO.ID,OLEH AHMAD RIFAI

Secara fisik, manusia adalah makhluk termulia. Namun, kemuliaan itu tidak serta-merta menjadikannya mulia di sisi Allah. Sebab, Allah memuliakan seseorang tidak melihat pada fisik, jabatan, atau atribut duniawi yang melekatinya.

Allah memerintahkannya karena tawadhu adalah faktor penting di balik lahirnya akhlakul karimah. Sopan santun, menghormati, mengasihi sesama, dan sederet sifat-sifat mulia lainnya adalah buah dari sifat tawadhu.

Apakah tawadhu itu? Hasan al-Bashri berkata, tawadhu itu adalah engkau keluar dari rumahmu dan tidak engkau jumpai seorang Muslim kecuali engkau melihatnya ia memiliki keutamaan yang tidak engkau miliki. (Al-Ihya, 3/342).

Termasuk dalam makna tawadhu adalah menerima kebenaran dari manapun datangnya kebenaran itu. Fudhail bin Iyadh pernah ditanya tentang tawadhu, lalu ia menjawab, tawadhu itu adalah seorang tunduk kepada kebenaran, patuh dan menerimanya meski kebenaran itu datang dari anak kecil atau orang yang bodoh. (Madarijussalikin, 2/329).

Ketika seorang mampu menghadirkan tawadhu dalam dirinya, beragam kemaslahatan akan didapatkannya. Sebab, ketawadhuan bukanlah sesuatu yang hanya mengendap dalam hati. Ia akan memancar dalam sikap, tingkah laku, dan tutur kata.

Oleh sebab itu, sifat tawadhu sejatinya adalah kebutuhan mendasar dan mendesak setiap orang beriman. Pejabat atau rakyat biasa sangat membutuhkannya. Betapa indahnya kehidupan bermasyarakat jika pemimpin dan rakyatnya menghiasi diri dengan sifat tawadhu.

Inilah salah satu kunci sukses Rasulullah dalam memimpin umat. Beliau memimpin dengan penuh ketawadhuan. Meski berstatus pemimpin besar, utusan Allah yang mulia, sifat sombong tidak punya tempat bertakhta di dalam kalbunya. Sifat tawadhu menjadi perisai yang amat tangguh untuk menangkis sifat sombong.

Alhasil, kesederhanaan dan kebersahajaan tetap setia menyertai hari-hari beliau hingga akhir hayat. Ia pun menjadi panutan dan sosok yang begitu dicintai sahabatnya dan orang beriman.

Jadi, merendahkan diri dalam konteks tawadhu karena Allah bukanlah kehinaan. Justru, sikap seperti itulah yang akan menempatkan kita pada maqam yang mulia, tentunya jika tawadhu itu karena Allah, bukan pencitraan.

Editor: Sarono PS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *