Baru 3 Produk Miliki IG Siap Bersaing Global
SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Potensi Indikasi Geografis (IG) produk lokal Sumsel masih cukup melimpah. Sayangnya hingga 2017, baru ada 3 produk saja tercatat di Departemen Hukum dan HAM. Kondisi ini membuat produk Sumsel rawan diklaim pihak lain.
Sesuai dengan amanat PP Nomor 51 tahun 2015 tentang Indikasi Georafis, total se- Indonesia baru mencapai 65 produk yang sudah memiliki IG sampai 2017. Sumsel sendiri sesuai data dirilis DephukHAM baru ada 3 jenis produk yang sudah IG, yakni Kopi Robusta Semendo, Kopi Robusta Empat Lawang yang didaftaran tahun 2015 dan Duku Komering yang didaftarkan tahun 2017.
“Nah produk yang lain belum ada sama sekali untuk Sumsel. Ini rawan untuk diklaim pihak lain jika memiliki kesamaan produk,” kata Ketua Dewan Kopi Sumsel, Zein Ismet (14/8).
Padahal produk songket Palembang, pempek, kemplang dan semua jenis produk makanan dan lainya masih sangat banyak. Ini harus cepat didaftarkan IGnya
Kenapa ini perlu kata Ismet, hampir semua produk antar daerah ada kesamaan. Nah dengan IG ini akan memperjelas asal dan ciri khas daerah suatu produk agar tidak tumpang tindih dengan produk daerah dan negara lain.
Misal songket Palembang, harus ada ciri beda dengan songket daerah Medan. Begitu juga batik dan lainya.
Termasuk Bangka contohnya baru lada yang punya IG. Padahal ada terasi khas bangka. Nah, khasnya ini bisa diambil orang kalau IG tidak didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM. IG ini merupakan pelengkap hak paten merek.
Untuk itulah, pemerintah ataupun asosiasi produk harus mensupport ini besar besaran. Dengan sertifikasi IG keunikan, citarasa, yang dihasilkan dari suatu daerah itu tidak dimiliki oleh daerah lain. Terlebih Sumsel dikenal dengan lumbung panganya. Sehingga melalui IG bisa melindungi produk dari daerah ini
Indikasi Geografis (IG) adalah sebuah sertifikasi yang dilindungi oleh undang-undang, digunakan pada produk tertentu yang sesuai dengan lokasi geografis tertentu atau asal atas dasar permohonan asosiasi atau kelompok masyarakat tertentu.
Dosen Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Ranggalawe Suryasaladin mengingatkan pengelolaan sertifikat indikasi geografis membutuhkan dukungan dan kontrol yang kuat dari asosiasi yang mendaftarkan. Sebab, dukungan dan kontrol yang minim dari asosiasi bisa menjadi salah satu bentuk hambatan.
“Asosiasi yang sudah mendaftarkan IG namun tidak punya kontrol untuk menjamin kualitas produk dari IG dari anggota-anggota asosiasi di suatu daerah itu juga tidak berguna. Contoh saja, Asosiasi Kopi Gayo, saya tahu ada orang jualan pakai nama kopi gayo di Jawa, tidak dituntut padahal melanggar indikasi geografis, nah itu membuat pengusaha kopi gayo tidak mendapat manfaat apa-apa,” jelas Ranggalawe.
Ranggalawe menyayangkan potensi IG cukup melimpah tetapi hingga saat ini masih relatif sedikit IG yang terdaftar. Sebagaimana terdapat di dalam laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumhan, baru ada 65 IG yang terdaftar dan 6 yang terpublikasikan.
Lebih lanjut, ia mengakui permohonan dan sertifikasi IG di Indonesia memang masih menemui hambatan dan tantangan. Bahkan, dari pemerintah daerah sendiri banyak yang belum mendaftarkan indikasi geografis atas hasil alam dari daerahnya.
“Masih banyak pemerintah daerah yang belum menganggap perlu soal indikasi geografis,” tuturnya.
Padahal, banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari pendaftaran indikasi geografis sendiri. Di antaranya, melindungi nama-nama produk lokal dari kompetitor yang tidak sah sehingga merugikan harga di pasar.
“IG itu sebenarnya untuk mencegah supaya tidak ada kompetitor yang tidak sah. Jika ada nanti akan merugikan pangsa pasar dari produsen yang punya IG dan mengecohkan konsumen bahwa ternyata itu bukan produk asli,” katanya.(*)
Teks/Editor : Asih