Oleh : Hibza Meiridha Badar (Ketua HUMANIKA Sumsel)
SWARNANEWS.CO.ID | Siapapun tahu, Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrument mendasar dalam demokrasi. Melalui pemilu kedaulatan rakyat sepenuhnya akan ditransformasikan menjadi kekuasaan di parlemen ataupun eksekutif.
Hingga untuk merealisasikanya pun butuh pengorbanan tak sedikit. Tak heran juruz ‘kutu lompat’ menjadi istilah paling tren dipakai bagi kader partai yang ingin lolos di pilpres 2019 nanti. Merek menjadi pundi pundi berharga bagi partai mencapai Ambang Batas parlemen yang dipatok naik jadi 4 persen.
Fenomena caleg berpindah parpol menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari sistem tata kepemiluan yang dianut oleh negara indonesia.
Adapun hal yang memdasar yang mengakibatkan caleg incumbent berpindah partai adalah Ambang batas Parlemen (parlementari treshold).
Ambang batas parlemen perlementari threshold adalah batas suara minimal untuk partai politik dalam pemilu untuk dapat menempatkan kadernya mendapat kursi di DPR.
Ambang batas parlemen dibuat untuk menyeimbangkan hubungan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sebuah negara yang menganut sistem Demokrasi.
Ambang batas parlemen ini pertama kali ditetapkan pada pemilu 2009, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2008 pasal 202, ambang batas parlemen ditetapkan sebanyak 2,5% dari jumlah suarah syah secara nasional dan hanya diterapkan pada penentuan Kursi DPR RI, tidak diterapkan pada pemilihan DPRD Propinsi ataupun DPRD Kabupaten/kota.
Pada pemilihan umum 2014 ambanng batas parlemen berubah lagi. Dalam undang-undang nomor 8 tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku secara nasional untuk perhitungan kursi anggota DPR dan DPRRD. Akan tetapi setelah digugat oleh 14 partai politik yang ikut pemilu di 2014 mahkamah konstitusi kemudian menetapkan ketetapan ini hanya berlaku untuk DPR dan tidak berlaku untuk DPRD.
Pasca pemilu 2014 , hanya ada 10 partai yang melewati ambang batas parlemen 3,5% dan berhak melanggengkan kader partainya untuk duduk di kursi DPR dan akan menjadi peserta pemilu selanjutnya, sedangkan dua partai yang tidak lolos ambang batas parlemen yaitu partai PBB(partai bulan bintang) dan PKPI(partai keadilan dan persatuan Indonesia) tidak bisa menikutkan kadernya untuk mengikuti perhitungan kursi di DPR karna tidak memenuhi ambang batas parlemen.
Pada pemilu tahun 2019 yang akan datang, ambang batas parlemen ditetapkan sebanyak 4% sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 pasal 414, jadi partai politik yang ikut pemilu 2019 harus mempunyai suara nasional 4% agar dapat mengikuti penghitungtan perolehan suara anggota DPR, akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/Kota yang dijelaskan pasal 414 ayat 2.
Pada pemilu 2019 ada 19 partai politik yang akan bertarung memperebutkan suara masyarakat dan tentunya berusaha melewati ambang batas parlemen, sehingga membuat tantangan partai lama dan partai baru sama dan akan berjalan sengit karena ambang batas lebih tinggi dan jumlah partai peserta lebih banyak ketimbang pemilu 2014.
Menurut penulis ambang batas yang terlampau tinggi dari pemilu 2014 yaitu 3,5 % dan pada pemilu 2019 yang akan datang yaitu 4%, merupakan salah satu alasan mendasar banyak kader pindah partai walaupun ada sederet masalah lain seperti tejadinya konflik partai, tidak memungkinkan mendapat nomor urut yang awal dan banyak lagi alasan seorang caleg berpindah partai.
Kalaupun suara parpol secara nasional tidak memenuhi ambang batas 4% sedangkan caleg mendapat suara penuh 100% di dapilnya mencalonkan diri tidak dapat mengikuti penghitungan suara untuk Kursi di DPR sebagaimana diatur dalam pasal 415 ayat 1.
Jadi sebenarnya berpindah Parpol itu syah-syah saja dan bukanlah sebagai preseden buruk untuk memilih kembali caleg yang berpindah partai melainkan rekam jejak dan kinerjanyalah yang patut kita pertimbangkan untuk memilihnya lagi.(*)