SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Adanya pihak mengkritisi fungsi BUMN hanya komersialisasi belaka, memang sudah waktunya dikaji bersama. Selama BUMN masih menggunakan UU PT/Persero, maka komersialisasi tidak akan bisa hilang dan tetap lekat.
Begitu kata salah satu mantan pegawai BUMN ternama di Palembang Zein Ismet, ranah kewenangan BUMN di bawah kementrian BUMN, sedangkan UU yang dipakai UU PT/Persero. Dimana semua putusan hak dewan komisaris pemegang saham utama di dalamnya ada unsur pemerintah. Sehingga BUMN dituntut komersil untung. Sebaliknya, BUMN yang masih merugi tentu akan jafi pertimbangan khusus. Padahal di sisi lain, BUMN tak sedikitpun menggunakan APBN.
Harusnya para pihak bisa duduk bersama menyikapi hal ini, sehingga tuntutan masyarakat agar BUMN tidak komersil bisa dicari solusinya. Sampai hari ini BUMN hanya dituntut komersil sehingga bisa menyumbang ke kas negara.
Di sisi lain BUMN harus berpihak ke rakyat, di sisi lainya lagi harus tunduk dengan UU perseroan. Pemerintah tetap pegang kendali, selain sebagai pemegang saham, juga penentu semua kebijakan.
Sementara itu, sebelnya Dr. Bahrul Ilmi dalam disertasinya berjudul “Dekonstruksi dan Reformulasi Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Upaya Menciptakan BUMN Untuk Kesejahteraan Rakyat” sempat mengkritik pedas, merekomendasikan DPR untuk mereformulasi UU BUMN dengan membuat UU BUMN yang memenuhi syarat teoritis dan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Bahrul Ilmi, DPR dan Pemerintah perlu segera mengganti UU BUMN No.19 tahun 2003 dan merformulasi RUU BUMN dengan melakukan penghapusan norma, penyesuain norma, atau penambahan materi muatan pengaturan BUMN.
“DPR selaku pemegang kekuasaan legislatif segera melakukan harmonisasi terhadap beberapa undang-undang terkait dengan UU BUMN,” ujarnya.
Pengaturan BUMN oleh UU No. 19 tahun 2003 tidak memenuhi tiga prinsip, yaitu prinsip kebenaran ilmiah, prinsip formal, yaitu memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan aturan yang sudah ditentukan secara formal.
“Prinsip ketiga adalah prinsip kemanfaatan publik sehingga UU No.19 tahun 2003 keliru mengatur BUMN yang merupakan lembaga karena memiliki tiga elemen,” kata Bahrul Ilmi.
Tiga elemen tersebut, menurut Bahrul Ilmi, pertama memiliki batas yang membedakannya dengan bukan BUMN.
Kedua, mengusung prinsip kedaulatan terkait dengan siapa yang bertanggung jawab. Dan ketiga, memiliki rantai komando yang menentukan tanggungjawab dalam organisasi, yang berbeda dengan lembaga politik dan budaya.
Pengaturan BUMN oleh UU No.19 tahun 2003 melahirkan permasalahan, antara lain melahirkan BUMN perusahaan persero yang merupakan fiksi badan hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum, menimbulkan kerancuan terhadap kedudukan menteri yang ikut mengurus BUMN, juga memungkinkan kerancuan pola perubahan bentuk badan hukum BUMN.
Pengaturan BUMN oleh UU No.19 tahun 2003 juga telah menyebabkan BUMN Indonesia menjadi komersial yang mengakibatkan produk barang dan jasa seperti bahan bakar minyak atau BBM, listrik dan tiket kereta api menjadi mahal karena harus ditentukan berdasarkan cost-benefit-base recovery.
“Akibatnya, harga produk barang dan jasa BUMN tidak berbeda dengan harga produk perusahaan swasta. (*)
Teks/Editor : Asih