Harga Kelapa Makin Tergerus

Petani Kelapa Butuh Kebijakan Populis

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Penggelontoran dana desa satu desa Rp. 1 miliar, tampaknya masih butuh banyak evaluasi agar tepat sasaran sesuai potensi daerah masing masing.Petani Kelapa salah satunya di kawasan pesisir sungai Lalan MUBA kini mengaku tidak tersentuh program pengelolaan buah kelapa yang Harganya terus merosot Rp. 800 per butir kelapa kering.

Harga ini kata Matani, petanibpemilik ribuan hektar kelapa di Kecamatan Lalan Muba, harga kotor. Masih harus dipotong Rp.500 per butir untuk pemanjat sekaligus pengupas sabut kelapanya.

Padahal awal tahun lalu, harga kelapa masih mencapai Rp. 2.800 per butirnya antar sampai ke perahu besar milik negara Thailand.

Nah, sejak kapal besar itu tidak masuk lagi ke daerahnya. Harga kelapa anjlok turub habis hingga Rp. 600 sampai 800 per butir.

“Bagaimana kami mau makan, padahal kelapa ini ada sejak 1992 bisa diandalkan, lumayan kalau satu hektar bisa menghasilkan 3.000 sampai 4.000 butir,” bebernya.

Hal senda juga dikatakan Sumijan, peduduk asli Lalan yang juga menanam kelapa dan jagung. Tak hanya kelapa, jagung pun anjlok Rp. 6000 per kilo pipil kering, begitu juga sawit malah tinggal Rp. 400 per kilonya.

Semua komoditi petani anjlok, dan belum ada kebijakan apapun. Yang katanya ada dana desa juga tidak mengarah ke pemberdayaan komoditi anjlok ini. Entah apa programnya.

Untuk mencari selamat, pihaknya saat ini mulai beralih pengelolaan kelapa kupas kering atau disebut dengan kopra. Harganya lumayan Rp.2500 sampai 3500 per kilogramnya. Meski lumayan repot karena setelah dikupas harus dikeringkan.

Pihaknya berharap, pemerintah bisa mencermati hal hal kecil ini. Tidak hanya fokus proyek besar, tapi juga proyek bersentuhan dengan kebutuhan langsung masyarakat, seperti menyelamatkan harga harga komoditi pangan ini.

Jika harga anjlok, harusnya sudah ada solusi. Apa bantuan pembuatan mesin pengolahan minyak atau hasil turunan buah kelapa lainya.

Diakuinya, sehari saja desanya bisa mensuplay hingga 10.000 butir kelapa tua siap diangkut jika ada pihak yang mau.

Nah, mau diapakan buah kelapa ini jika tidak ada bantuan prmberdayaan dari pemerintah.

Jika melihat kondisi di desanya butuh 12 jam untuk ke kota. Naik speedboat pun butuh 2 jam tempuh ditambah lagi ongkos mencapai Rp. 130 ribu per orang sekali jalan. Sangat sulit membawa komoditi ini keluar daerah tanpa ada pihak yang membantu.

Sementara itu pengamat pertanian, Eko Prasetyo, M.Si, mengaku terpanggil dengan kondisi petani di Sumsel khususnya dan Indonesia umumnya.

Sebagai negara agraris, namun program yang dibawa pemerintah masih di bawah 5 persen anggaran pertanianya.

Ini riil, jauh dari keinginan sebagai lumbung pangan. Setidaknya 15 persen minimal anggaran untuk membackup petani dalam berbagai bentuk. Dari hulu sampai hilir untuk tiap komoditi unggulan.

Faktanya, setiap ada program tidak pernah tuntas. Hanya sekedar pelatihan, penyuluhan, tapi kelanjutan hingga hasil bisa dirasakan langsung masih butuh perhatian.

Memang butuh waktu panjang. Tapi setidaknya komit prpgram dan anggaram berkelanjutan bisa memberikan solusi sedikit demi sedikit tapi terus menerus hasilnya. Efek jangka panjang pasti berdampak dengan pertumbuhan ekonomi. “Memang berat sebagai negara agraris memulainya tapi sekali berhasil anak cucu akan terus menikmati dengan bangga. (*)

Teks/Editor : Asih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *