SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Banyak generasi galau lantaran tidak mendapat pekerjaan usai sekolah. Namun tidak seharusnya itu terjadi jika anak sudah dibekali ilmu sejak dini. Dengan ilmu akan mampu menempa mental para generasi muda untuk menemukan langkah mudah dalam kehidupan.
Mari berkaca pada beberapa tokoh sukses dan namanya mendunia dalam sejarah lantaran mampu mengubah peradaban dunia lebih baik.
1. Salafus sholih
▪ Imam Syafi’i (150 H-204H), hafal Al-Quran ketika usia 7 tahun, Fuqaha sekaligus Muhadits
▪ Imam Ath-Thabari (224 H – 310 H), hafal Al-Quran sejak usia 7 tahun, Mufassir
▪ Ibnu Qudamah (541 H – 620 H), hafal Al-Quran usia 10 tahun, ulama
▪ Ibnu Sina ( 370 H- 428 H), hafal Al-Quran umur 5 tahun, pakar kedokteran
▪ Imam Nawawi, (631- 676 H) hafal Al-Quran sebelum usia baligh, Fuqaha sekaligus Muhadits
▪ Imam Ahmad bin Hanbal, hafal Al-Quran sejak kecil, ahli fiqh
▪ Ibnu Khaldun (732 H- 808 H), hafal Al-Quran usia 7 tahun, ahli politik
▪ Imam As-Suyuthi (w: 911 H), hafal Al-Qur’an sebelum umur 8 tahun.
▪ Ibnu Hajar Al-Atsqalani (w: 852 H) hafal Al-Qur’an ketika berusia 9 tahun.
▪ Jamaluddin Al-Mizzi (w: 742 H), hafal al-Qur’an ketika kecil
▪ Muhammad Al Fatih ( 835 -886 H), Hafal al-Quran, Penguasa Utsmani, Penakluk Konstantinopel (Baca Juga: Istanbul dan Umroh Plus Turki & Cappadocia)
2. Ulama kontemporer
▪ Hasan Al Banna, hafal sejak 12 tahun, tokoh Pergerakan Islam
▪ Sayyid Quthb, hafal sejak 10 tahun, tafsir Fi Dzilalil Quran
▪ Yusuf Qaradhawi, hafal sejak 10 tahun, pakar fiqh kontemporer
▪ Presiden Mesir Mursi (Baca Juga: Situs Warisan Dunia Di Mesir)
▪ Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, Lulusan Al Azhar (Baca Juga: Al-Azhar: Kiblat Ilmu Sepnajang Zaman)
B. Mengapa Pendidikan Al Quran Itu Harus Sejak Dini :
Dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At Thabrani, bahwa ada 3 perkara yang harus diajarkan kepada anak-anak kita. Pertama, mengajarkan bagaimana mencintai Nabi dan Rasul kita; Kedua, mengajarkan pula untuk mencintai keluarga Rasulnya; Dan yang ketiga adalah mengajarkan anak kita untuk tak hanya mengenal al-Quran, tapi juga mengajarkan mereka untuk membacanya sesuai dengan tajwidnya. Lebih-lebih kita mampu mengajaknya bersama-sama untuk menghafalkan al-Quran. Berikut haditsnya,
“Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara : mencintai Nabimu, mencintai ahlul baitnya dan membaca Al-Qur’an karena orang-orang yang memelihara Al-Qur’an itu berada dalam lingkungan singasana Allah pada hari ketika tidak ada perlindungan-Nya, mereka beserta para nabi-Nya dan orang-orang suci.” (HR. Ath Thabrani).
Lebih lanjut, Abdullah bin Umar berpesan kepada kita, “Kamu harus bersama al-Qur’an, pelajari al-Qur’an itu dan ajari anak-anakmu. Karena sesungguhnya kamu kelak akan ditanya tentang al-Qur’anmu dan dengannya kamu akan mendapat pahala, dan cukuplah al-Qur’an sebagai pemberi nasehat bagi orang yang berakal”.
Semoga ini menjadi langkah awal kita untuk mau mendekatkan diri dan anak kita, yang tak hanya kepada Allah dan RosulNya. Melainkan juga kepada KitabNya.
C. Ada Pada Siapakah Tanggung Jawab Pendidikan Al Quran Anak? Tentunya Tanggung Jawab Itu Ada Pada Orang Tua
Anak merupakan anugerah dan titipan Allah Ta’ala. Maka sudah seharusnya, menjaga kebaikan pada diri seorang anak menjadi tanggung jawab orang tuanya (selaku yang diamanahi Tuhannya). Jadi, jika ditanya ada pada siapakah tanggung jawab pendidikan al-Quran seorang anak. Tentu jawabannya adalah ada pada orang tuanya.
Sahabat dapat berkaca pada secuil kisah pendahulu kita. Beberapa di antaranya:
▪ Kisah umar bin abdul aziz mendidik putra putrinya
Umar bin Abdul Aziz telah menghapal Alquran pada usia anak-anaknya, ia sangat mencintai ilmu agama. Terbukti dengan kebiasaannya berkumpul dengan para sahabat Nabi dan menimba ilmu di majlis mereka. Ia sering mentadaburi ayat-ayat Al-quran. Tak jarang ia menangis tersedu-sedu ketika membaca maupun mendengarkan lantunan ayat suci al-Quran.
Ibnu Abi Dzi’ib mengisahkan, “Orang yang menyaksikan Umar bin Abdul Aziz yang saat itu masih menjabat Gubernur Madinah, menyampaikan kepadaku bahwa di depan Umar ada seorang laki-laki membaca ayat,
وَإِذَآ أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُّقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا
“Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” (QS. Al-Furqon: 13).
Maka Umar pun menangis sampai ia tidak bisa menguasai dirinya, pecahlah isak tangisnya, dan ia pun pulang ke rumahnya untuk menyembunyikannya.
Dan sikap inilah yang ia tularkan dan ajarkan kepada anak-anaknya. Agar tak hanya mengenal, tapi juga mampu membacanya, menghafalkannya, mengamalkannya juga meresapi setiap makna yang terkandung di dalamnya.
Dikisahkan bahwa Umar bin Abdul Aziz selalu meluangkan waktu khusus di setiap hari Jum’at sebelum ia bertemu dengan masyarakat. Ia berkumpul dengan anak-anaknya sembari membaca dan mempelajari isi al-Qur’an. Dimulai dengan membaca al-Quran dari anak tertua hingga semua anaknya mendapat giliran membaca.
• Kisah ibunda Imam Syafi’i mengarahkan pendidikan anaknya
Demikian pula dengan kisah Imam Syafi’i dan Ibundanya. Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya. Setelah ditinggal wafat suaminya, ibunda Imam syafi’i membawanya dari Gaza ke Makkah.
Di Mekah, ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Setelah berhasil menghafalkan al- Quran, ibunda mengirim anaknya ke sebuah pedalaman Makkah yang masih murni bahasa Arabnya. Sehingga, bahasanya lebih fasih dan tertata. Tak cukup sampai disana, Imam Syafi’i juga dikenal sebagai pemanah ulung dan jago berkuda. Ini semua tak lepas dari didikan sang bunda. Sampai pada akhirnya Imam Syafi’i menjadi ulama besar ternama.
Imam asy-Sayfi’i bercerita tentang masa kecilnya, “Aku adalah seorang anak yatim. Ibukulah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku… …aku menghafal Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun. Setelah menyempurnakan hafalan Al-Quranku, aku masuk ke masjid, duduk di majelisnya para ulama. Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan. Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas. Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis”.
Inilah kisah berharga dalam mendidik anak kita. Walaupun memiliki keterbatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar biasa terhadap pendidikan anaknya.(*)
Sumber : Dari berbagai Buku
Editor : Asih