Pabrik Kosong, UPPB Tumpul, Pemda Harus Berani Bersikap
SWARNANEW.CO.ID, PALEMBANG | Anjloknya harga karet dunia rata-rata mengalami penurunan sekitar USD 1 dari harga sebelumnya di angka rata-rata USD 2 per kilogram sejak 4 tahun terakhir, tampaknya sudah mencapai titik klimaks. Tidak hanya sejumlah pabrik karet kini kosong stok hingga 60 persen lantaran susahnya mendapat pasokan karet. Petani di sejumlah daerah pun ramai-ramai mulai alih profesi dan membiarkan kebun karetnya menganggur begitu saja.
Kunjungan langsung tim Swarnanews di Desa Sukapulih Kecamatan Teluk Gelam Kabupaten OKI tak saja mendapati warga mulai resah dengan biaya pendidikan anak-anaknya kian minus lantaran mengandalkan hasil karet. Namun Swarnanews menemukan nasib para warga seperti Ibu Thobroni (58) seorang janda mulai sulit sekedar mempertahankan kebutuhan dasar hidupnya sehari-hari.
Almarhum suaminya lama meninggal setelah digerogoti penyakit diabet sekian lama, membuat ibu ini kehilangan semuanya. Baik penopang nafkah hidupnya dari suami maupun penopang penghasilan dari tetesan getah karet yang kini tidak bisa diandalkan lagi.
“Hasilnya tidak seberapa mas, paling dalam sehari hanya dapat lima kilo. Tapi saat itu hasilnya masih lumayan bisa mencapai Rp. 8 ribu. Tapi sekarang malah turun terus hingga Rp. 4000 per kg,” ujarnya pada swarnanews di kediamannya Jumat (5/10).
Ibu Thobroni makin tak berdaya dengan kondisi harga karet saat ini. Jika tetap diteruskan menyadap getah yang luasnya kurang dari satu hektar miliknya itu, ia mengaku malah tak mendapatkan apa-apa.
“Bayangkan untuk membeli beras satu kilo saja, harus menjual getah karet dua kilo lebih, bagaimana ini mas,” imbuhnya.
Akibatnya, sudah lebih dari lima bulan terakhir kebun karet milik Ibu Thabrani dibiarkan menganggur.
Cerita ibu Thobroni hanya salah satu dari kisah pilu yang dialami oleh para petani karet di Kabupaten OKI. Nasib sama juga dialami ribuan petani karet di OKI, baik di Kecamatan Tanjung Lubuk. Teluk Gelam dan Lempuing yang mengalami nasib dan mengeluhkan hal sama.
Kini puluhan ribu hektar kebun karet di wilayah itu banyak yang nganggur dan tidak digarap.
Aladin (32), salah warga Bunut juga bercerita, saat ia berkeliling di wilayah OKI banyak kebun karet yang ditinggalkan petani. Bahkan telah banyak pula yang ditebang lalu dijual kayunya dan membiarkan kebun jadi terlantar layaknya bukan kebun karet.
“Mereka alih profesi apa saja. Ada yang merantau jadi buruh bangunan di perkotaan dan ada juga mulai menekuni usaha lain, pokoknya macam-macam,” ujar Aladin.
Ibu Thobroni juga Aladin dan para petani karet lainnya berharap agar pemerintah bisa membantu mereka dengan menaikkan harga ataupun solusi secepatnya.
Pantauan di lapangan, kegiatan menyadap di desa ini tak lagi riuh seperti beberapa waktu lampau saat harga karet di atas Rp. 12.000 per kg. Suara deruman motor di pagi hari dan kayuhan rantai sepeda di subuh hari diiring sahut menyahut sapaan hangat antar warga berangkat ke kebun untuk menyadap karet, kini nyaris hampir tak terdengar. Hanya sesekali itu terdengar karena masih ada sebagian kecil warga coba bertahan dengan hasil karet lantaran belum ada pilihan lain.
Parahnya lagi, pengakuan salah satu menejemen pabrik karet berlokasi di Gandus, Alex Kurniawan Edy, merupakan Pimpinan PT. Hevea Muara Kelingi 2 sekaligus Ketua Gabungan Pengusaha Karet (Gapkindo) Sumsel.
Saat ini kata Alex, hampir seluruh pabrik karet kosong stok sejak 2 bulan terakhir. Baru tahun ini puncaknya mengalami kondisi lumayan parah.
Ada 27 pabrik Karet di Sumsel, rata-rata kosong sampai 60 persen lebih saat ini. Ibarat lapangan sepak bola kondisi gudang saat ini, luas kosong dan bisa untuk main bola.
Selain dipicu makin malasnya petani menggarap kebun karetnya. Juga dipicu faktor lain, seperti istirahatnya pasar Cina tidak melakukan pembelian dalam beberapa kurun waktu puluhan hari. Juga faktor susahnya melakukan sinergi dengan negara lain juga penghasil karet dunia seperti Thailand dan Vietnam.
“Langkah tingkat dunia sudah pernah kita lakukan mengosongkan pasar supplay ke negara tujuan utama eksport Karet yakni Cina, Jepang dan AS. Tapi kesepakatan bersama Thailand, Vietnam faktanya tidak jalan. Di satu sisi Indonesia mau melakukan itu. Nah, di sisi lain malah Thailand, Vietnam diam-diam tetap suplay ke pasar Cina, Jepang dan AS. Eh, kuota Indonesia malah mereka isi. Ini kan parah malah,” beber Alex.
Ya, termasuk upaya tidak menerapkan kontrak eksport jangka panjang. Supaya Indonesia dan negara tujuan ekspor bisa nego harga saat mereka butuh di waktu kontrak akan berakhir.
Lagi, lagi, ini juga tidak mempan. “Eh, mereka malah tidak cari barang ke kita, jadi harga komoditi kita makin adem, dingin, anjlok lantaran demaind pasar diam,” ujar Alex dengan nada sedih.
“Jadi mau diapain sekarang,” tanya balik Alex. Pemerintah harus berani ambil sikap tegas. Itu saja kuncinya.
Caranya? pemakaian karet dalam negeri harus diperbanyak. Jangan melulu ribut mau mendirikan pabrik ban butuh waktu lama modal besar. Tapi lakukan simpel, jangka pendek dan mudah dulu.
Solusinya, gunakan karet untuk campuran aspal. Tidak perlu banyak, cukup 7 sampai 20 persen saja campuran dari karetnya. Selain mampu meningkatkan kualitas bangunan jalan, juga bisa membantu harga karet petani dan menimbulkan lagi semangat petani.
Ya, konsekwensinya memang harga karet mahal dan menaikkan biaya spek pembangunan jalan. Bisa 2x lipat jika komponenya ada dari karet.
“Pemerintah harus berani memutuskan ini. Biarkan saja biaya pembangunan naik, di sisi lain petani karet juga tertolong, ini menguntungkan , karena berputar duitnya di dalam negeri. Semahal apapun, jika pemerintah andil tidak ada susah,”tegas Alex.
Ini gebrakan pasar paling cepat dan berefek langsung ke petani. Bahkan, penerapan karet untuk komponen bangun jalan, bahkan konblok juga sudah mengacu berdasarkan hasil riset industri. Bukan asal asalan usul.
UPPB Banyak Tumpul
Sekretaris Gapkindo Sumsel, H. Awi Aman didampingi Staf Gapkindo Umar, saat dibincangi (5,7/10) mengakui, tidak ada jurus mempan mengerek harga kecuali kebijakan tegas dan berani dari pemerintah.
“Lha, semua pihak sudah kita ajak sharing, tumpul semua hasilnya,” kata Awi.
Semua rembug dengan banyak pihak masih tak bergeming dan sudah pasrah semuanya. Tinggal jalani apa yang ada saat ini. “10 Oktober ini kita akan rembug bersama lagi sekaligus Muscab Gapkindo. Semoga ada ide baru,” terang Awi optimis.
Semua titik masalah di tingkat pengumpul, pabrik, pengusaha eksportir sudah dibincangkan bersama secara intens tapi titik terang belum tembus juga.
Barang masuk karet dari petani tetap ada. Hanya intensitasnya sangat lambat dan sedikit.
Diakui Awi, petani butuh kebijakan gebrakan cepat. Ini harus dicari dan cepat diambil kebijakan pemerintah. Soal iming iming pabrik ban, BUMD Agro dan lainya sifatnya jangka panjang silakan. Tapi beri dulu petani gebrakan awal.
Lucunya lagi, para peneliti pasar sudah bergerak terus tapi titik temu belum ada.
Saat ini pihaknya juga tidak melihat gerakan apapun pemerintah. Termasuk kementrian pertanian pun belum ada instruksi apapun. Bahkan terkesan saling lempar.
Disinggung soal penutupan pasar eksport, juga tidak ada respon positif dari banyak pihak.
“Kami berharap dengan usulan yang ada dari Gapkindo, bisa direspon gubernur. Ajak semua pihak duduk bersama lebih fokus serius mengutarakan ide dan solusi supaya bisa langsung ditetapkan dan dilaksanakan hasilnya. Jadi jangan diskusi diskusu saja tanpa berani ambil keputusan,” tegas Awi.
Awi juga menyinggung Dinas Perkebun (Disbun) Sumsel yang masih banyak diam menyikapi kondisi ini.
Padahal kata Awi, sudah ada amanat untuk mengontrol kondisi karet di tingkat petani melalui Unit Pengolahan Pemasaran Bokar (UPPB) di bawah naungan Disbun. UPPB inilah bisa membantu kontrol kualitas karet bersih, harga hingga pemasaranya. Jadi, petani petani yang bergabung di UPPB ini akan lebih terarah.
“Sayangnya, keberadaan UPPB ini tidak banyak diurusi oleh Disbun, bahkan tidak ada kabar perkembangan signifikan,” imbuhnya.
Soal perkembangan harga, per Oktober kurs dolar 15.023 kurs, harga FOB (karet kering diatas kapal) dari pabrik sebesar Rp. 19.920 dengan acuan harga karet internasional 1,315 USD per kilogram. Bagi petani yang ingin tahu harga, silakan dihitung harga karet dunia USD 1,315 x kurs dolar terhadap rupiah hari ini Rp. 15.200 , hasilnya itulah harga karet FOB Palembang.
Jika ditilik dari perkembangan harga, data Gapkindo menyebutkan, penurunan terjadi sejak tahun 2013 akhir.
Desember 2013 harga karet dunia mencapai USD 2,314 per kg. Anjlok mulai Januari 2014 ke USD 2,140 per kg. Makin drastis turun USD 1,887 per kg di Pebruari 2014, terus turun merosot fluktuatif di kisaran satu digit , hingga di tahun 2018 masih bertengger di angka satu digit USD 1,315 per kilogram. Artinya penurunan rata rata harga karet dunia sejak 2013 sampai 2018 hanya USD 1 per kg. Namun efek terhadap harga di tingkat petani luar biasa dari rata rata Rp.15.000, Rp. 12.000 per kg anjlok sampai 70 persen.
Sementara, dari target produksi, dilihat di grafik jumlah karet dieksport oleh Gapkindo Sumsel ke negara tujuan utama Cina, Jepang da AS, pun tidak terlalu signifikan turun. Artinya, petani masih berupaya bertahan dengan kondisi menyedihkan saat ini karena 65 persen masyarakat Sumsel bergantung di sektor ini memenuhi kebutuhan hidup.
Alangkah naifnya bila tidak ada gerakan menolong mereka. Pertumbuhan ekonomi dan kemampuan daya beli di Sumsel semua transaksi sangat ditentukan para petani kebun ini.
Coba lihat hasil produksi, sejak karet turun tahun 2013 total jumlah eksport di angka 1.007.679 ton per tabun. Tahun 2014 turun 988.022 ton. Tahun 2015 sebesar 898.012 ton. Tahun 2016 sebanyak 1.019.458 ton. Tahun 2017 bertahan di jumlah 1.274.331 ton. Nah, tahun 2018 rata rata per bulan masih suplay eksport sebanyak 98
540 ton. Jika diambil rata rata seluruh tahun. Jumlah suplay bulanan masih stabil di 90 ribuan ton.
“Ini bukti masyarakat masih menunggu. Puncaknya baru 2 atau 3 bulan terakhir 2018 ini, mulai anjlok dan stok banyak kosong. Nah, kita minta jangan tunggu lama lama. Jika petani sudah jenuh, akan berefek luar biasa hal hal tidak diinginkan,” imbuhnya.
Kepala Daerah Harus Berani
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Karet, Zaman A. Somad saat dibincangi Jumat (6/10) membeberkan semua fakta di lapangan.
Kondisi petani karet di 10 kabupaten/kota masih rawan tidak diurus. Yakni PALI, OKU (sebagian), OKU S, OKU T, Lahat, 4 Lawang, Lubuk Linggau, OKI, dan OI.
Kenapa? Zaman menegaskan, di 10 kabupaten/kota tersebut tidak ada UPPB alias liar
Jadi para petani jalan sendiri sendiri tidak terkontrol dan terkoordinir. Mulai hasil karetnya bersih atau tidak, harganya sesuai tidak dengan kondisi karet, dan juga pemasaran dan pembinaan lainya.
lantas siapa bertanggungjawab atas UPPB ini. “Ya Dinas Perkebunan (Disbun) Mbak. Disbun kabupaten/kota dan Disbun Propinsi paling bertanggungjawab semua ini,”tegas Zaman.
Padahal ini sudah diamanahkan pusat kementrian sejak beberapa tahun lalu. Ini sangat vital fungsinya.
UPPB (Unit Pengolah Pemasar Bokar) harus dibentuk Disbun. Setiap ada 15 sampai 25 petani karet harus bergabung dalam satu UPPB.
UPPB, atau Gapoktan sudah ada baru gabung di KUD khusus mengelola karet di wilayah masing masing. Jika belum ada koperasinya, maka gabungan UPPB bisa membentuk koperasi karet. Tapi jika tidak ada koperasi, UPPB saja sudah cukup.
Jika petani bersatu di UPPB, Disbun tinggal arahkan, bina dan cek langsung lapangan kontrol kualitas karet, harga dan lainya.
Ini terbukti, saat ini hanya ada di Prabumulih, Muara Enim yang UPPB nya sangat aktif. Sedang menyusul mulai aktif Banyuasin dan MUBA.
Faktanya di saat harga semua kabupaten anjlok sampai Rp. 4000 per kg. Harga di Prabumulih dan Muara Enim masih cukup bagus Rp. 9.800 sampai Rp. 10.100 per kg karet dengan kadar air 56 sampai 60 persen (2 minggu sampai 1 bulan).
“Jadi ini tugas Disbun membentuk, mengontrol dan turun lapangan cek langsung harusnya. Jangan seperti selama ini, Disbun propinsi hanya ngajak kumpul kumpul minta laporan kabupaten/kota tanpa cek ke lapangan. Hasilnya nihil, habis kumpul selesai. Padahal realisasi di lapangan tidak ada,” beber Zaman dengan nada kesal.
Dikatakan Zaman, petani ini ada 2 type. Terorganisasi yakni gabung di koperasi dan yang tidak terorganisasi yakni mreka harus dibuatkan organisasi agar mereka mengelola karetnya dengan baik dibantu oleh pemerintah. Itulah UPPB. Setiap 100 hektar lahan, harus ada satu UPPB.
Enaknya, jika petani bersatu di UPPB dan hasil karet bagus. Siapapun tidak bisa intervensi obok obok harga seenaknya.
Bahkan jika harga FOB Palembang saat ini bisa Rp. 19.000 per kg karet, dengan bersatu di UPPB, petani karet Sumsel bisa mendesak pabrik karet membeli di harga tinggi hingga Rp. 15.000 per kg karet dengan kadar air 60 persen. “Biar pabrik dan para eksportir bagi margin keuntungan dengan petani. Jadi perbedaan harga petani dan FOB tidak terlalu jauh.
Bahkan cara paling berani dengan mengembargo suplay ke pabrik pun bisa. Jika pemda mau menalangi dengan anggaran khusus itu pun bisa.
“Kepala daerah bisa main harga dengan para ekportir pengusaha pabrik karet. Setelah dibeli pemda, tawarin ke mereka. Nih kami punya karet bagus, kalian kalau mau beli dengan harga khusus misal Rp. 12.000 sampai 15.000 per kg. Ini akan sangat keren pemda. Jadi tanggungjawab, jangan hanya nyalahin petani dan membiarkan petani jalan sendiri,” beber Zaman.
“Ini solusinya. Jangan sampai petani demo-demo, tentu kurang beretika. Lebih baik sama sama duduk dan ini kami menawarkan solusi. Tolong pemda bantu dan peduli,” pinta Zaman.
Terpisah Direktur Pengawasan OJK Kantor Regional 7, Sabil saat dibincangi juga mengaku tidak bisa mengintervensi pasar komoditi. Hanya bisa memberikan masukan untuk memperpendek mata rantai penjualan karet.
Pemprov Dirikan BUMD Agro
Gubernur Sumsel dalam janjinya politiknya beberapa waktu lalu akan memberikan jaminan penuh terhadap peningkatan drajat hidup kaum tani solusinya adalah dengan mendirikan BUMD Agro Sumsel.
HD yakin bila dikelola dengan baik, BUMD Agro Sumsel nanti akan sama majunya dengan Bank SumselBabel.
Menurut HD, BUMD Agro Sumsel ini bertujuan antara lain menjaga stabilitas harga sembako dan komoditas pertanian dan perkebunan lainnya yang sangat mempengaruhi hajat hidup petani Sumsel, misalnya karet, kopi dan kelapa sawit.
HD berharap dengan adanya BUMD Agro Sumsel dapat ikut mengendalikan atau stabilator harga-harga kebutuhan pokok, seperti beras, terigu, minyak goreng dan lainnya serta harga karet dan kopi yang selama ini dikendalikan tengkulak dan pasar bebas.
Pengalamannya 10 tahun menjadi Bupati OKU Timur, kata Herman Deru, sudah cukup memberikan pengetahuan dan pengalaman bagaimana peran Pemda mengendalikan harga beras. Sehingga petani tidak terus dihantui dengan harga anjlok ketika musim panen tiba. Disebutkanya, ketika memimpin OKU Timur, setiap tahun APBD mengalokasikan sekitar Rp 20 miliar untuk membeli beras langsung dari tangan petani.
HD yang juga Ketua Forum Daerah Penghasil Pangan ini optimistis keberadaan BUMD Agro Sumsel ini nanti akan dapat menolong petani dan masyarakat Sumsel pada umumnya.
Menurut HD, gagasannya untuk mendirikan BUMD Agro Sumsel ini sudah dibahas secara mendalam dengan sejumlah pakar pertanian, KTNA dan asosiasi pedagang sembako di Palembang. Prinsipnya kalangan pakar, pedagang dan petani sangat mendukung dan mengharapkan adanya BUMD milik Pemprov Sumsel yang khusus menangangi komoditas pertanian tersebut.
HD mengungkapkan, beberapa provinsi lainnya memang terlebih dahulu sudah mendirikan BUMD di bidang pertanian tersebut, antara lain Pemprov Jawa Timur. Hasilnya, BUMD yang dikelola secara profesional tersebut berjalan dengan baik serta telah mampu menghasillan untung ratusan miliar rupiah dalam jangka hanya beberapa tahun.
Skemanya sebenarya bisa diselesaikan di tingkat kabupaten atau kota mengapa lantaran produksinya ada dan pengolahan bahan setengah jadi akan meningkatkan harga dan nasib petani, seperti sudah dilakukan di Muba. Dengan cara praktis, dimana pemkab Muba membeli karet petani, kemudian diproduksi menjadi lateks untuk campuran bahan membangun jalan.
Semua Pihak harus Intensif
Dampak lain juga disikapi oleh DPD RI meminta semua pihak terus berkoordinasi secara intensif. Turunya komoditi unggulan eksport karet ini membuat pertumbuhan sub-sektor perkebunan saat ini turun mencapai 1,25 persen. Dampak ini dipicu turunnya harga karet dan kelapa sawit di petani.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI perwakilan provinsi Sumsel, Abdul Aziz menyampaikan bahwa turunnya harga karet di petani saat ini biasanya dikarenakan dari kualitas atau mutu dari karet tersebut. Nah, ia meminta tidak ada lagi mata rantai yang berbelit-belit dan panjang sehingga para petani mendapatkan harga yang baik dan stabil langsung ke perusahaan.
“Untuk solusinya hasil dari karet sadapan petani itu, kita harapkan kualitasnya tetap terjamin, harga tetap stabil paling tidak minimal standar juga tidak menurun harus kita utamakan kualitas,” ujar Abdul Aziz usai dihubungi melalui handphone, Jumat (5/10).
“Harus ada perhatian serius dari pemerintah pusat maupun daerah untuk komoditi ini supaya terjamin,” lanjutnya.
Nantinya, antara petani dan Pemerintah daerah maupun pusat yang mewakili dari Pemerintah daerah Sumsel diharapkan bisa selalu bersinergi, supaya hasil dari bumi ini seperti karet dan kelapa sawit bisa stabil, tidak turun, sehingga kestabilan harga minimal harus bisa dijaga.
“Kedepannya, kita harus bisa mencari hilirisasi dari produksi tersebut, sehingga menghasilkan produk bernilai tinggi, dengan begitu daerah tidak terpaku hanya sekedar menjual bahan baku mentahnya saja,” tutup Abdul Aziz.
Di posisi lain, Bendahara HIPMI sekaligus Calon Anggota DPRD Kota Palembang dari PPP Dapil III, Randi Oktara juga sempat menambahkan, pihaknya turut prihatin kondisi petani Sumsel.
Meski Palembang bukan wilayah pertanian. Namun ia mengaku memiliki visi khusus membuatkan aplikasi khusus gratis bagi para petani karet di desa bisa memantau kondisi harga komoditi dan harga sembako.
“Saya berharap ini bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Berkembangnya tehnologi saat ini harus dimanfaatkan, jangan terbalik, kita yang diatur oleh zaman. Termasuk aplikasi menyerap aspirasi rakyat,” imbuhnya.
Harapan semua bisa bersinergi menjadikan daerah ini lebih baik lagi.(*)
Teks : Sarono, Asih, Fuad, Herwanto, Devi
Editor : Asih