Jepang, Kekerasan Era Lampau dan Bekal untuk Kita

Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd.
(Penulis Buku Kesejarahan dan Pendamping Sosial asal Palembang)

 

A. Isolasi ke Modernisasi

Sekira abad ke-16 para pedagang dan misionaris dari Eropa tiba di Jepang, era itu disebut sebagai Nanban (‘orang-orang barbar dari selatan’) dengan coraknya adalah aktifitas perniagaan yang aktif antara Jepang dan Barat. Salah seorang panglima perang dan tuan tanah terhormat (daimyo) bernama Oda Nobunaga berusaha menciptakan Jepang sebagai sebuah negara kesatuan. Bersama seorang jenderal lain yakni Toyotomi Hideyoshi, Nobunaga berhasil menundukkan daimyo lain di daerah-daerah.

Nobunaga memberikan keleluasaan bagi para misionaris dalam menyebarkan agama Katholik, harapannya agar ia dapat secara leluasa memperoleh senjata api dalam kapal-kapal Portugis serta untuk memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Sayangnya, hubungan baik dengan Barat telah membuatnya terbunuh oleh pengikutnya sendiri yang bernama Akechi Mitsuhide, pemeluk Budha fanatik. Sikap Oda yang melindungi (penyebaran) agama Kristen tersebut menyakiti hati para pemeluk agama Budha.

Toyotomi Hideyoshi yang menggantikan Nobunaga meninggal pada tahun 1598, klan Tokugawa muncul dan memperkuat diri di Jepang bagian timur khususnya di Edo. Para Daimyo pro-Hideyoshi akhirnya dapat dikalahkan Tokugawa dalam perang di Sekigahara (1600), sejak itu Jepang memasuki era Bakufu (rezim militer) Edo yang berdiri tahun 1603. Rezim ini terkadang disebut sebagai “Keshogunan Tokugawa”, Shogun memiliki arti “Panglima Tertinggi Pasukan Kaisar Jepang.

”Tokugawa sangat mencurigai segala hal yang berbau Barat, terutama kepada misionaris Katholik. Secara bertahap, Jepang mulai menerapkan “Kebijakan Isolasi” dengan menutup diri dari dunia luar. Tahun 1616, pemerintah Tokugawa memerintahkan agar semua kapal asing pindah ke pelabuhan Nagasaki dan Hirado. Inggris meninggalkan Jepang karena merasa perdagangannya dirugikan pada tahun 1623, setahun kemudian (1624) Spanyol diusir, lalu sejak 1635 semua warga Jepang dilarang berpergian ke luar dan dilarang kembali jika sudah pergi. Portugis diusir keluar pada tahun 1639, serta perwakilan pedagang Belanda sebagai satu-satunya bangsa Eropa harus pindah dari Hirado menuju sebuah pulau kecil bernama Deshima yang terletak di pelabuhan Nagasaki.

Isolasi Jepang berlangsung hingga kurang lebih selama dua abad lamanya. Sampai suatu ketika Presiden Amerika Serikat, Millard Fillmore, merasa geram atas penolakan Jepang untuk membuka pelabuhan-pelabuhan niaganya pada tahun 1852. Setahun berikutnya (1853), Amerika mengirim Komodor Matthew Perry ke Jepang. Di bulan Juli itu Perry mengirimkan dua kapal uap ke perairan Tokyo dan mencelikkan mata masyarakat Jepang untuk pertama kalinya dengan kapal baja bertenaga uap. Penguasa Tokugawa yang sangat terkejut lalu mempersiapkan peperangan, menyembunyikan barang-barang berharga mereka, dan mengadakan pertemuan-pertemuan genting. Tetapi pada akhirnya mereka tidak mempunyai pilihan dan mengakui superioritas militer maupun teknologi Barat.

“Penghinaan” kepada Jepang ini meninggalkan sebuah residu kekesalan yang dahsyat. Beberapa elit pejabat Jepang memprovokasi peperangan secepatnya melawan Barat dan ada yang berkata bahwa perang hanya memperlemah Jepang, bukannya mereka. Sedangkan sisa pejabat elit lainnya mendesak para pemimpin menenangkan para pengganggu itu, belajar dari mereka, dan diam-diam merencanakan pembalasan pada mereka (bangsa Barat). Pendapat terakhir-lah yang diambil oleh Jepang, suatu sikap penting yang membuka superioritasnya dalam percaturan dunia.

B. Nanking, Kisah Pilu yang Diingat

Tidak butuh waktu lama bagi “Negeri Matahari Terbit” untuk segera mengejar ketertinggalan mereka dalam aspek kemodernan. Bukti nyata ialah saat Jepang berhasil mencapai kemajuan di bidang kemiliteran yang jauh lebih maju ketimbang negara-negara Asia lainnya di masa itu. Pada tahun 1875, Jepang berhasil menguasai Kepulauan Kurile yang sebelumnya di bawah otoritas Kekaisaran Rusia. Jepang melanjutkannya dengan menguasai Kepulauan Ryukyu dari tangan Cina. Keadaan itulah yang menimbulkan Perang Cina-Jepang I (1894-1895) dan Jepang berhasil menguasai Pulau Formosa (sekarang Taiwan).

Menyeberang ke arah timur laut Cina, secara progresif Jepang menjadi lebih nasionalistik dan militeristik, Jepang melihat Cina sebagai peluang untuk memperluas daerah teritori pendudukan di Manchuria (sekarang Dongbei Pingyuan, Korea Utara) dan Provinsi Shandong (seberang Laut Kuning dari Korea) setelah Perang Cina-Jepang I dan selama Perang Dunia I (1914-1918).

Sayangnya, Jepang tidak ubahnya seperti negara-negara Barat yang memiliki ambisi imperialistik. Jepang bahkan jauh lebih “sukses” dalam bidang kebiadaban melawan kemanusiaan. Suatu tragedi besar dalam sejarah dunia yang akan membebani hubungan Cina-Jepang sepanjang masa. Pasca meletusnya Perang Cina-Jepang II pada 17 Juli 1937 yang disebabkan oleh perkelahian kecil kedua pasukan di luar Beijing, Jepang bergerak secara ofensif menuju Tianjin untuk kemudian menyerang Shanghai pada 13 Agustus, kota itu jatuh setelah tiga bulan dikepung.

Pasukan Jepang terus mengejar rezim Kuomintang (nasionalis) yang memindahkan ibukota ke Nanking / Nanjing. Serangan mendadak terhadap Nanking terjadi di tanggal 10 Desember. Manakala Nanking akhirnya jatuh pada tanggal 13 Desember 1937, pasukan Jepang mulai mengadakan pembantaian sadis secara besar-besaran selama enam minggu. “Pemerkosaan Nanking” (di Cina, ‘Nanjing Datusha’ atau ‘Pembantaian Haus Darah’) ialah tragedi saat mereka membunuh dengan tidak pandang bulu 200.000-350.000 rakyat Cina dan para serdadu yang sebenarnya telah menyerah. Diperkirakan berkisar antara 20.000 sampai 80.000 wanita Nanking diperkosa oleh balatentara Jepang. Bahkan perkosaan terjadi pada para biarawati Budha, beberapa di antaranya diperkosa secara beramai-ramai hingga meninggal.

C. Kempetai dan “Luka” Bangsa Kita

Kisah yang hampir serupa turut dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai akibat dari meletusnya Perang Pasifik, salah satu teater Perang Dunia II. Dai Nippon mulai menguasai Indonesia sejak 1942 sesudah menggusur kekuatan militer Hindia Belanda. Kekejaman demi kekejaman telah tercatat selama pendudukan Jepang, kita dengan mudah dapat menemukannya dalam sumber bacaan sejarah. Kempetai atau “Polisi Militer” ialah salah satu alat teror pendudukan Jepang yang kesohor.

Sesudah Jepang kalah perang tahun 1945, diadakanlah pengadilan militer pada pejabat-pejabat Kempetai oleh Belanda di Pontianak. Jepang pernah melakukan kejahatan kemanusiaan di Mandor, 88 km dari Pontianak saat membantai sekitar 21.037-50.000 rakyat Indonesia – dikenal sebagai ‘Peristiwa Mandor Berdarah’. Pengadilan militer di Pontianak itu mengungkap bahwa Kempetai di Pontianak melakukan bermacam penyiksaan biadab dengan berbagai perangkat, seperti tinju, pentungan karet, besi batangan, tongkat kayu, pedang bersarung, kabel listrik yang dipilin, dan cambuk. Teknik yang digunakan juga beragam seperti dibanting dengan teknik Judo, sementara lainnya ada yang disundut dengan rokok menyala, serta cara penyiksaan “favorit” mereka adalah mencabut kuku korbannya.

Kekejaman Kempetai tidak hanya dilakukan secara fisik semata, mereka pun turut memakai teknik ancaman demi kelancaran tugas. Kenpeiho adalah sebutan bagi orang Indonesia yang membantu Kempetai, biasanya di bawah ancaman bila dirinya tidak bersedia membantu Jepang maka istri atau keluarganya akan dijadikan budak seks. Razia terus menerus yang dilakukan Kempetai pada September 1942 hingga medio 1943 disebabkan adanya isu kelompok mata-mata sekutu dari Australia.

Mereka bekerja secara tersembunyi dengan para pelapor yang berpakaian sipil. Larangan berkumpul, pengekangan pers, serta dilarang mendengar siaran dari luar negeri sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di kota-kota Indonesia. Kempetai bahkan tak segan-segan menahan lelaki Indonesia, bila istri atau anaknya dapat dijadikan “hiburan” bagi mereka. Diktatur militer tersembunyi pernah masuk ke pelosok-pelosok penghidupan manusia Indonesia kala itu.

D. Kekerasan Atas Nama Apapun : SALAH

Catatan-catatan sejarah kekejaman bangsa Jepang bukanlah hal langka dalam pengetahuan masyarakat luas. Sejak belajar di bangku sekolah dasar, kita telah cukup banyak memperoleh ataupun mencari informasi mengenai hal tersebut. Jelasnya, Jepang tetap muncul sebagai kekuatan yang besar meski mereka harus menerima kekalahan perang pada tahun 1945. Kebesaran Jepang sekarang bukan lagi soal kekejaman, melainkan dalam bidang teknologi, ekonomi, budaya, pengetahuan, maupun seni. Kisah masa lalu negeri bunga Sakura itu mengajarkan bahwa kekerasan atas nama kepentingan sebuah bangsa tidaklah bisa dibenarkan keabsahannya.

Tidak bisa pula kita menerima bahwa ada “kekerasan” yang diizinkan dengan menjadikan “Tuhan” sebagai dalihnya. Maka semakin heranlah kita apabila ada tokoh publik yang tak segan mengarang cerita bohong peristiwa kekerasan atas dirinya, demi kepentingan politik. Apalagi keanehan berpikir segerombolan orang yang tak segan menghilangkan nyawa seseorang hanya karena beda dukungan pada tim sepak bola, sungguh suatu ironi besar bagi kita yang telah modern ini. Bung, kita bukan Kempetai ! Silahkan “jiplak” negeri Jepang : tiru kemampuan mereka menggapai kemajuan dengan meninggalkan kekerasan di masa silam. Semoga ulasan singkat ini bisa membekali kebaikan pada diri kita, bangsa Indonesia.

Sumber :
Baskara, Nando, Kamikaze : Aksi Bunuh diri “Terhormat” Para Pilot Jepang , Yogyakarta : Narasi, 2008.
Chang, Irish, The Rape of Nanking, Yogyakarta : Narasi, 2009.
Hamada, Tomoko, American Enterprise in Japan, New York : State University of New York Press, 1991.
Morris, Morton Dan, Okinawa : A Tiger by the Tail , Oregon : Hawthorne Books, 1968.
Suyono, Capt. R.P., Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial , Jakarta : Grasindo, 2005.
Tim Narasi, The Mass Killer of the Twentieth Century , Yogyakarta : Narasi, 2006.
Usman MHD, Syafaruddin, Isnawita Din, Peristiwa Mandor Berdarah , Yogyakarta : Media Pressindo, 2009.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *