Tiket Melambung Ekonomi Limbung

Pemerintah Mutlak Kaji Klasifikasi Tiket LCC-non LCC
Jasa Cargo-Sektor Pariwisata Terjun Bebas

Melambungnya harga tiket pesawat sejak 1 bulan terakhir, membuat para pelaku ekonomi ketar-ketir. Tak saja sejumlah penerbangan di Kota Besar mulai sepi lantaran banyak cancel.  Bandara SMB II Palembang mencatat di Januari 2019 hingga (25/1) tercansel hingga 639 penerbangan. Ancaman ini akan terus menggerus beberapa aktifitas perekonomian seperti angkutan barang (cargo) hingga sektor lain seperti pariwisata kini mulai terasa lumpuh dan bakal ikut limbung secara perlahan. Artinya butuh kebijakan serius terkait penetapan klasifikasi tiket pesawat, antara Low Cost Carrier (LCC) dan non LCC

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Penegasan ini disampaikan langsung pakar ekonomi pembangunan Sumsel, Prof. Dr. Bernadette Robiani saat dibincangi Swarnanews dua hari lalu.

Menurut akademisi Unsri ini, melambungnya harga tiket ini fenomena yang aneh karena pemerintah masih diam saja dan dianggap hal lumrah. “Harusnya sudah ada tindakan tegas, dan cepat mencari titik masalah untuk mendapatkan solusi kenapa ini terjadi,” ujar Bernadette.

Prof. Dr. Bernadette Robiani

Seperti Lion Air misal,  sebagai penerbangan berbiaya murah (low cost carrier) harusnya bisa menjelaskan soal ini. Jangan ikut diam dan malah mengeluarkan statmen bahwa mereka juga masih menyediakan seat (kursi) murah.

Jika Lion bantah ada kursi khusus dengan jumlah tertentu yang murah berapa persen itu, harus tahu dan jelas konsumen.

“Kalau dulu Lion sediakan 70 persen seat yang harganya  murah, 30 persen harga mahal.  Apa iya, sekarang sudah dibalik gitu, 30 persen murah, dan 70 persen mahal. Karena yang terlihat di masyarakat saat ini, justru banyak tarif seat yang harganya mahal, malah nggak kelihatan harganya yang murah. ini harus bisa dijelaskan dengan baik oleh pihak maskapai. Sangat tidak baik, jika status penerbangan seperti Lion itu low cost carrier, tapi malah menggunakan tarif harga ambang batas atas. Memang tidak salah bagi Lion mau menggunakan tarif paling tinggi. Tapi pemerintah pemilik kebijakan harus jeli melihat ini,” bebernya.

Nah, pemerintah kenapa diam, apakah ini ada kesepakatan sudah. Jika sampai ada kesepakatan itu, semua diatur jelas dalam UU anti monopoli agar tidak bisa seenaknya sendiri.

Ia meminta pemerintah harus tegas soal ini. “Buat ketetapan baru, bedakan ketentuan rate ambang atas dan ambang bawah antara penerbangan low cost carrier (LCC) dengan non low cost carrier  seperti Garuda. Ya jangan disamakan antar mereka. Sebab dari sisi layanan dan status jauh, tapi tarif hampir sama. “Kasian para pengguna jasanya,” tegasnya.

Silakan dibuat rate khusus untuk penerbangan LCC berapa ambang batas bawah dan atas yang layak untuk kelompok LCC. Buat juga aturan rate khusus ambang batas bawah dan atas bagi non LCC sekelas dengan Garuda. “Jadi jangan sampai disamakan,” imbuhnya lagi.

Ia juga membeberkan fakta lain,  seperti Sriwijaya, memang low cost statusnya, tapi kenapa sekarang jadi ikut sangat tinggi harganya. Apa dengan diambil alihnya manajemen oleh Garuda jadi tinggi, apa layak tarif itu. Padahal CityLink yang senyatanya anak Garuda malah tarifnya lebih murah dari Sriwijaya saat ini. “Ini kan makin ruwet dan tidak jelas arahnya,” imbuhnya.

Dalam teori ekonomi, harga yang tidak berubah tapi penumpang bertambah, harusnya malah meningkatkan pendapatan dan untung, dan bukan malah menaikkan harga.

Jika memang ada komponen lain seperti Avtur naik, artinya ada pemangku kebijakan lain seperti pemerintah harus sigap.

Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang klasifikasi harga yang ada. Jangan tunggu lama-lama lagi. Bedakan ketentuan ambang atas dan bawah antara status penerbangan murah dan penerbangan non murah, jangan disamakan. Efeknya akan liar dan berimbas ke semua tatanan aktifitas bisnis. Termasuk ke bisnis angkutan barang dan semuanya.

Ya, terlebih ini menjelang Pilpres, akan parah dan bisa menjadi komoditas politik ujung-ujungnya.

Pemerintah harus melihat lebih jauh efeknya, dan memberikan solusi bagi kondisi penerbangan. Jsngan hanya sepakat-sepakat saja.

Harus ditinjau low cost carriernya dan non low cost carrier supaya bisa adil dalam pemberlakuanya. “Apakah sudah betul klasifikasinya dengan kondisi layanan dan status penerbanganya yang ada saat ini,” tambahnya.

Jadi Bencana Ekonomi Baru

Beratnya beban ekonomi dalam negeri saat ini sudah banyak mengorbankan masyarakat cilik.

Amidi, M.Si

Menurut pengamat Sosial Ekonomi, Amidi, M.Si, jangan sampai ada bencana ekonomi baru dengan naiknya tarif ini.

Meski satu sisi, indikator  belum adanya harga keekonomian bagi beberapa air line seperti Lion, Sriwijaya selalu terkesan menerapkan tarif ambang bawah alias murah.

Namun menurut Amidi, ini juga harus disikapi serius oleh pemerintah. Jangan sampai alasan-alasan pembenaran, seperti harga avtur naik hingga 40 persen membuat pemerintah diam dengan reaksi masyarakat.

Meski diakui, jumlah status masyarakat untuk kelas menengah ke atas saat ini sudah mencapsi 55 juta atau 20 persen dari jumlah penduduk. Namun semua realitas harus tetap dikontrol pemerintah dengan baik.

Kenaikan jumlah penumpang menggunakan pesawa meningkat drastis. Tahun 2017 jumlah penumpabg naik 9 persen lebih, dan tahun 2018 menjadi 12-15 persen. “Luar biasa bukan,” sela Amidi.

Artinya, antara kepentingan sisi bisnis ingin memperbaharui margin keuntungan menjadi lebih baik, dan kepentingan masyarakat ingin harga terjangkau, belum seimbang. Padahal kedua pihak ini harusnya berjalan seiring, sehingga tidak menimbulkan gejolak ekonomi seperti inflasi.

Ia berharap, naiknya harga tiket, membuat persaingan antar maskapai semakin sehat, meski faktanya memang harus dikontrol oleh pemerintah, jika tidak akan berefek tidak baik ke sektor lain.

Pertamina Yakin Harga Avtur sudah Kompetitif

Seperti best practice umumnya di dunia, kata Manager Komunikasi PT. Pertamina, RU III Palembang,Rifky, menjelaskan.

Manager-Communication-PT-Pertamina-RU-III-Rifky

Pertama harga avtur yang dibeli maskapai regular di Indonesia merupakan harga yang sudah disepakati bersama dalam kontrak jangka tertentu.

“Harganya mengacu pada MOPS, maka ketika harga minyak dunia turun, harga avtur juga mengalami penyesuaian. Jadi pada prinsipnya, kami yakin harga kami kompetitif,” kata Rifky meyakinkan.

Sementara untuk penerbangan non regular, maka Pertamina akan memberlakukan harga yang berbeda sesuai dengan kondisi pasar pada saat itu.

Selain itu, ada banyak hal yang mempengaruhi harga avtur selain harga minyak dunia. Salah satunya adalah nilai tukar mata uang, biaya distribusi, supply chain dan lain-lain.

Sehingga pihaknya harus cermat jika membandingkan harga avtur di satu bandara dengan bandara yang lain.

Karena kondisinya bisa jadi berbeda dan tidak setara untuk diperbandingkan.

Ada 639 Penerbangan Dicansel

Dampak kenaikan harga tiket pesawat ternyata memang sangat signifikan. Bandara SMB II mencatat setidaknya ada penurunan  jumlah penumpang mulai 1 sampai 24 Januari 2019 sebanyak 639 penerbangan yang dibatalkan terbang lantaran kosong tidak ada pemesanya.

Jika dibandingkan dengan tahun 2018 cansel hanya mencapai 286 pesawat.

General Manager PT Angkasa Pura AP II, Fahrozi.

General Manager PT Angkasa Pura II, Fahrozi  mengatakan, perbandingan jumlah penumpang sebagai contoh pada  24 Januari 2018 mencapai 11.900 orang. Namun hingga 24 Januari 2019 jumlah penumpang  10.628 orang,  atau terjadi penurunan penumpang sekitar 10,69 persen.

Selanjutnya, untuk jumlah penumpang pada 23 Januari  2018 berjumlah 11.337 orang, sedangkan  hingga 23 Januari 2019 jumlah penumpang 10.100 orang. Jadi ada perbedaan penurunan jumlah cukup signifikan.

Penumpang tahun 2018 dan 2019 di bulan Januari tidak jauh berbeda. Pergerakan hampir sama, penumpang -10,91 dan pesawat – 32,54. Bedanya,  jika dilihat tahun lalu turun mencapai 10 persen penumpang.

“Penerbangan pesawat yang dicancel dari tanggal 1-23 Januari 62.019 berjumlah 639 penerbangan.  Sedangkan tahun lalu cancel penerbangan pesawat hanya sebanyak 286 penerbangan. Dari catatan yang ada,  paling banyak dicancel adalah Air Lines Garuda dan Lion Air,” ujarnya saat dibincangi awak media di ruang kerjanya,  Jumat (25/1).

Pembatalan tersebut lanjut Fahroji,  meliputi penerbangan dari Palembang dan ke Palembang.

Diantaranya dari Palembang ke Jakarta ,  Palembang ke Jambi,  Tanjung Karang ke Palembang,  Yogyakarta ke Palembang, Pekan Baru ke Palembang,  Lubuk Linggau ke Palembang,  Jambi ke Palembang dan Batam ke Palembang, terus begitulah pula sebaliknya.

“Untuk pembatalan penerbangan,  itu kita beritahu harus surat pembatalan dua hari atau sehari sebelum operasional. Misalnya Air Line Garuda jam 07.00 WIB, dan jam 08.00 WIB, karena tidak ada penumpangnya. Oleh sebab itu penerbangan dicancel hingga jam 09.00 WIB.  Air Line yang memberitahu dengan surat. Pemberitahuan pembatalan bisa dua hari atau sehari sebelum rencana operasional,” bebernya.

Menurutnya,  jumlah penumpang pada Januari 2018 mulai ramai.  Hingga menjelang Asian Games penumpang bertambah sekitar 4 ribuan dari 18 Agustus sampai 2 September 2018.  Maskapai di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II ada 11 diantaranya Garuda, Lion,  Batik,  Nam Air,  Sriwijaya Air,  dan Wings Air dan lainnya.

“Destinasi penerbangan ada 14 maskapai. Tahun 2019 daya tampung Bandara 3,4 juta, namun pada 2018 kemarin jumlah penumpang mencapai 5.440.449 penumpang. Sedangkan pada 2017 berjumlah 4.835.893 orang,” pungkasnya.

Angkutan Cargo pun Jeblok

Dampak kenaikan tarif tiket pesawat terbang sangat berpengaruh besar bagi pengguna jasa angkutan barang di Kota Palembang. Seperti terlihat di Cargo Bandara SMB II,  penurunan produksi mencapai 13 persen dibandingkan 2018.

Sigit Budiarto

Hal demikian diungkapkan CIP of Cargo PT Angkasa Pura, Sigit Budiarto, saat dibincangi Swarnanews di ruangannya, Jumat (25/1), mengatakan, bahwa Perbandingan dari 1-24 Januari 2019 mencapai 13 persen atau jika dihitung tonase di kisaran 10 ton.

“Barang kali ini efek dari kenaikan tarif Surat Muatan  Udara (SMU) yang hampir tiga kali naik dari tarif normal di tahun 2018,” ujarnya.

Menurutnya, pengiriman cargo harus sesuai SMU dan wewenangnya masing-masing Air Line seperti Garuda, Sriwijaya, CitiLink, Air Asia mereka yang memberikan wewenang untuk tarif.

“Kita di sini cuma mengambil sewa gudang atau jasa bongkar muat dan penyusunan pengiriman barang sesuai yang mereka terima,” terangnya.

Sigit menjelaskan, penurunan non tren per Januari 2019, SMU bisa dilihat dan dibandingkan di tahun 2018 mencapai 8-10 persen. Meski di awal tahun belum menyusun progres plan pekerjaan. Namun  tahun 2019 sudah merasakan efeknya pada kenaikan SMU.

“Kemarin, saya sempat ngobrol  dengan pengguna jasa dan kebagian hampir 8-10 persen lewat darat pengiriman.  UKM-UKM sudah tidak sanggup untuk kenaikan tarif yang besar. Revenue margin yang mereka dapat berkurang dan efeknya berpengaruh pada SDM, kemungkinan berpengaruh pada karyawan,” terangnya.

Mengenai kenaikan tarif  SMU, sejak ditetapkan per Desember 2018. Harga dari Rp 800 naik menjadi Rp 1.000. Kenaikan tersebut tidak begitu signifikan namun lumayan.

“Untuk tarif gudang kita bernegosiasi dengan pihak Aspindo untuk mendapatkan persetujuan dari mereka sebagai pengguna jasa mengenai kenaikan tarif,” tutupnya.

Sektor Pariwisata Mulai Lumpuh

Herlan Asfiudin

Saat ini, tidak kurang dari 166 hotel di Kota Palembang mengeluh,  akibat tingginya harga tiket pesawat drastis mengikis sektor kunjungan wisata yang dielu- elukan bakal jadi primadona pengganti ekport karet ini, malah terancam lumpuh, lantaran para wisatawan enggan bepergian.

Hal itu diungkapkan langsung Ketua PHRI Sumsel, Herlan Asfiudin alias Babe (panggilan akrab-red), saat dibincangi Swarnanews, Kamis (24/1) di sela-sela Peresmian hotel Harpess Palembang.

Menurutnya, jika satu penerbangan membawa 100 orang, kemungkinan ada 60-100 ribu orang yang tercancel tidak bisa berangkat terbang dikarenakan harga tiket mahal.

“Inilah kendala bagi pariwisata. Komponen awal adalah pesawat bagi yang bepergian. Jika pesawat tersebut mahal maka malas untuk naik pesawat, sudah semua jadi lumpuh,” ujar  Babe  sapaan akrab.

Garuda Harusnya Berpihak ke Rakyat

Babe juga masih melanjutkan, pihaknya melalui pemerintah sudah menyampaikan ke DPR RI agar dapat membantu permasalahan ini. Karena Pemerintah harus punya suatu kebijakan lain supaya harga tiket turun. Seperti contoh, Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan plat merah harusnya berpihak ke rakyat  jangan orientasi bisnis semata.

“Silahkan menaikan harga tiket namun rakyat juga bisa di untungkan dengan tiket murah. Itulah harapan kita, saat ini tinggal ada dua group yakni group maskapai Garuda Indonesia dan Lion Air,” terangnya.

“Sebelumnya, mereka saling hantam harga tiket ketika maskapai Sriwijaya dan City Link  masih bersaing. Ketika sudah bergabung maka selesailah, tapi kenapa rakyat menjadi korban,” tegasnya.

Babe menjelaskan, sejauh ini pengaruh di sektor pariwisata sangat berdampak jauh turunnya, sekarang  masih mencapai 40 persen.

“Coba bayangkan jumlah pariwisata yang tidak datang di kota Palembang mencapai 60 ribu sampai 100 ribu orang. Sebelumnya potensi itu akan datang. Dampaknya bisa hotel dan restoran akan penuh tapi kenyataan tidak datang karena tiket harganya mahal maka di cancel,” paparnya.

Soal kenaikan avtur menurut Babe tidak ada pengaruh secara signifikan. Tapi kalau untuk cargo bagasi pasti berpengaruh,” tutupnya.(*)

Teks : Asih, Herwanto
Editor : Asih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *