SWARNANEWS.CO.ID, PRABUMULIH | Desa sebagai pusat kehidupan sosial terdepan di tengah kemajuan dunia teknologi, informasi dan modernisasi menjadi masalah paradoksal. Dengan nilai, budaya, keadabanmya sebagai kearifan lokal sebuah bangsa besar bernama Indonesia.
Karena kemajuan suatu bangsa, bukan semata-mata hanya dilihat dari modernasi semata. Tetapi lestari dan berkembangsa nilai budaya ditengah masyarakatnya, seiring modernisasi kehidupan global. Adat istiadat harus tetap lestari, nilia dan kearifannya adalah warisan yang harus dirawat.
Kenyataan, kehidupan masyarakat desa saat ini sudah jauh bergeser dari tata kehidupan sosial yang menjadi identitas dan pilar suatu bangsa, bernama Indonesia.
Demikian pemikiran yang mengemuka diskusi grup yang dimotori para pendiri Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) yaitu Syamsul Asinar Radjam, Syahroni, Destika Cahyana dan Fransisca Callista bersama element masyarakat penggiat, pemerhari kehidupan sosial dab lingkungan. Bertempat di Aku Coffe dan Resto, Prabumulih, Senin (28/1/2019) malam.
Dalam lawatan agroekologi itu, Fransisca Callista sebagai pemantik diskusi melontarkan isue pentingnya merevitalisai desa. Khususnya gagasan, gerakan membangun kembali nilai-nilai, sosial, keperansertaan dan tata nilai yang menjadi ‘nadi’ masyarakat desa. Yang kini harus berhadapan dengan modernisai kehidupan, ditandai kemajuan teknologi yang cenderung menggerus nilai, budaya dan kearifan lokal.
Dan menurutnya desa tidak boleh ‘tercabik’, dari akar budayanya. Ia, mencaontohkan masyakat desa yang seyogyanya bisa bercocok tanam dan menikmati hasilnya, justru harus beli. Karena lahah pertanian menjadi komplek perumahan, industri. “Kenyatannya sayur mayur harus beli,” ujarnya lirih.
“Hilangnya rasa cinta terhadap desa, para sarjana yang diharapkan mau pulang membangun desa. Justru memilih tingal di perkotaan,” jelasnya.
Kenapa tidak mau, padahal dari desa dunia pun bisa digenggap dengan kecanggihan teknologi.
Penggiat Non Goverman Organizing (NGO) Spedagi (Speda Pagi) dan penggagas berdirinya Pasar Papringan di Temanggung, Jawa Tengah yang sempat jadi isue dunia itu. Dengan menyulap hutan bambu menjadi pasar tradisonal, unik dan berkelas itu mengajak masyarakat desa untuk merevitalisasi desa. Jangan sampai tergerus oleh modernadi, ia sudah memulainya dengan menyulap tempat pembuangan sampah menjadi pasar tradisonal yang ‘berkelas’.
Menurutnya, modernisasi dunia saat ini tidak berarti menjadi tolok ukur terbaik, justru sebagian masyarakat modern sangat merindukan suasan perkampungan, pedesaan. Beruntunglah bagi Indonesia yang masih mempunyai desa.
Senada dengan Fransisca yang pernah tampil di acara Kick Andy di Metro TV itu, Syamsul Asinar Radjam memahami pentingnya sinergi antar komunitas untuk program revitalisai desa, karena hal itu butuh waktu yang panjang.
Sementara itu, mantan wartawan Panji Masyarakat, Azimi Asnawi, menyampaikan dibutuhkan tekad, untuk menjaga, merawat nilai budaya masyarakat desa sebagai kearifan lokal yang kini mulai tergerus oleh modernisasi. Dicontohkan mulai hilangnya rasa kegotong royongan, tolong menolong yang sudah hilang. “Kita sudah terasing di negeri sendiri. Kehidupan serba instan, peran orang tua di rumah sebagai pendidik sudah tergantikan oleh google.
Sebagaimana juga diungkap oleh penggiat lingkungan, sosial, mantan wartawan Sriwijaya Post, Syamsul Hidayah. Revitaliasi desa suatu keharusab dalam rangka memanusiakan manusia (Dehumanisasi) dalam kontek kehidupan pedesan sebagai masyarakat yang masih mempunyai kearifan lokal. Memang butuh tekad yang kuat, diakuinya memang sudah ada yang memulainya. Tetapi dibutuhkan daya kejut, nah itulah pentingnya sinergi.
Begitu juga menurut Yayuk Suhartatu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Prabumulih mengatakan, kita bersyukur karena memiliki 12 desa dan 25 kelurahan. Walaupun sebagian wilayah perminyakan, tetapi potensi pertanin kita masih luas dan potensial, jadi tinggal kemauan kita.
Teks/Editor : Sarono PS