Publik Makin Tak Percaya Independensi Penyelenggara Pemilu
SWARNANEWS.CO.ID, JAKARTA |Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman kembali dijatuhi sanksi peringatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Selain Arief, DKPP juga kembali menjatuhkan sanksi peringatan bagi anggota Badan Pengawas Pemilu, Ratna Dewi Pettalolo. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi mengingatkan, jika pelanggaran terus dilakukan penyelenggara pemilu, itu akan mengurangi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.
Sanksi peringatan terbaru dijatuhkan DKPP dalam sidang putusan yang dipimpin anggota DKPP, Muhammad, di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Arief Budiman dan Ratna Dewi Pettalolo dijatuhi sanksi peringatan karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Arief dinilai telah menciptakan ambiguitas dalam perkara nomor 275/DKPP-PKE-VII/2018 yang diadukan oleh tiga peserta seleksi anggota KPU, masing-masing dari Kabupaten Konawe Utara, Kota Kendari, dan Kabupaten Konawe.
Arief dianggap menimbulkan ketidakjelasan setelah meloloskan para pengadu, tetapi tidak menyertakan nama mereka dalam uji kelayakan dan kepatutan. Ketika dimintai klarifikasi pun, Arief tidak memberikan tanggapan kepada pengadu terkait dengan keputusannya tersebut.
Anggota DKPP, Teguh Prasetyo, mengatakan, Arief dinilai telah melanggar Pasal 16 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum yang diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017. Dalam norma itu, setiap penyelenggara pemilu seharusnya memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan mengenai keputusan yang telah diambil.
”Pertanyaan dari pengadu seharusnya ditanggapi. Alasan (Arief) bahwa para pengadu sudah mendapatkan penjelasan lisan dari Biro SDM KPU RI sehingga tidak perlu menanggapi surat tidak dapat dibenarkan secara etika,” kata Teguh.
Sementara itu, Ratna beserta anggota juga divonis melanggar kode etik penyelenggara pemilu setelah dinilai terlalu prematur memberikan keterangan kepada pers terhadap kemungkinan adanya kampanye calon presiden Prabowo Subianto dalam acara Reuni Alumni 212 pada awal Desember 2018.
Saat itu, Ratna memberikan keterangan kepada media daring detik.com bahwa dirinya tidak melihat ada potensi pelanggaran kampanye berdasarkan pantauannya melalui siaran televisi.
Anggota DKPP, Alfitra Salamm, menyatakan, Ratna telah melanggar Pasal 9, juncto Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 16 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Alfitra mengatakan, Ratna tidak seharusnya memberikan pernyataan yang bersifat menyimpulkan mengenai sebuah kegiatan yang masih berlangsung. Selain itu, pantauan melalui siaran televisi tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan yang valid dan sesuai prosedur kelembagaan. Anggota Bawaslu juga seharusnya arif dan bijaksana terhadap pertanyaan publik.
”Siaran televisi tidak sepatutnya dianggap sebagai basis data untuk menyimpulkan suatu peristiwa hukum terkait dengan ada tidaknya pelanggaran kampanye,” kata Alfitra.
Meski demikian, Muhammad menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan DKPP itu. Ia menilai, pernyataan Ratna tidak dapat dilihat sebagai pernyataan final sikap dari Bawaslu.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Petalolo
Sanksi berulang
Jika dilihat dari putusan-putusan DKPP yang ada di situs resmi DKPP, sanksi peringatan yang dijatuhkan oleh DKPP terhadap Arief itu merupakan sanksi peringatan yang keenam.
Sebelum sanksi peringatan yang terakhir ini, Arief dijatuhkan sanksi peringatan oleh DKPP, 30 Januari 2019. Saat itu, dia dinyatakan terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dalam perkara pemalsuan gelar dan ijazah yang dilakukan oleh bakal calon anggota legislatif DPR dari Partai Demokrat daerah pemilihan Jawa Barat V, Anton Sukartono Suratto.
Sementara bagi Ratna, sanksi peringatan dari DKPP merupakan kedua kalinya. Sebelumnya, dia dijatuhi sanksi peringatan melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dalam perkara seleksi anggota Bawaslu kabupaten/kota di Jawa Barat.
Sebelumnya, 16 Januari 2019, tiga rekan Ratna juga dijatuhi sanksi peringatan, yaitu Ketua Bawaslu Abhan dan dua anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar dan Rahmat Bagja. Sanksi diberikan karena ketiganya melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dalam kasus pernyataan Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief yang menyebut adanya mahar politik Rp 1 triliun dalam pencalonan presiden-wakil presiden.
Ancam integritas
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai para anggota penyelenggara pemilu sudah terlalu sering melanggar kode etik dan mendapat peringatan dari DKPP sebagai sanksi.
Apabila tidak segera membenahi profesionalitas, moral, dan integritas mereka, kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu dapat menurun.
”Masyarakat dapat menjadi tidak peduli dan tidak mau berpartisipasi karena stigma yang muncul bahwa pemilu diselenggarakan dengan sering terjadinya pelanggaran kode etik,” kata Titi.
Teks: Kompas
Editor: Sarono PS