Mengapa Masih Rakus Jual-Beli Jabatan?

Banyak sahabat Rasululllah yang justru khawatir tak bisa menjalankan amanah memimpin

SWARNANEWS.CO.ID, |Masih hangat diperbincangkan hingga saat ini  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap ketiga tersangka yang merupakan para pejabat pada  kasus dugaan korupsi jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Sedih rasanya mendengar pemberitaan tersebut. Para pemangku jabatan tersebut seolah tidak puas dengan apa yang sudah ia peroleh, hingga jual beli jabatan pun ia halalkan. Mereka seolah tak sadar bahwa jabatan tersebut ialah amanah.

Padahal pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW,  para sahabat yang sudah tidak diragukan lagi kualitas keshalihannya bergetar, ketakutan,  khawatir tidak bisa menjalankan amanah kepemimpinan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Mari kita renungkan sejenak kisah Abu Dzar Al-Ghifari pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW yang tertuang dalam buku Sirah Nabawiyah. Pernah sekali Abu Dzar menawarkan diri kepada Rasulullah  untuk menjadi pemimpin. Bukan karena ia tamak kepemimpinan tapi ia ingin lebih bermanfaat, menolong, dan berbagi untuk orang lain.

Abu Dzar mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825).

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).

Rasulullah SAW  sangat mencintai Abu Dzar. Tapi beliau memberikan pesan yang begitu jelas, jika ada dua orang, dia yang jadi pemimpin bukan engkau wahai Abu Dzar.

Apa hikmah yang bisa diambil dari kisah diatas?

  1. Rasulullah SAW berada di antara para pemimpin.
  2. Rasulullah SAW sangat pandai membaca potensi para sahabatnya
  3. Orang yang berilmu agama memiliki kedudukan yang istimewa. Rasulullah tidak memberikan pujian kepada Khalid sebagaimana beliau memuji Abu Dzar, “aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku”.
  4. Kepemimpinan itu berat dan amanah.
  5. Leadership adalah bagaimana seseorang mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu mencapai tujuan bersama. Terkadang hal ini tidak berhubungan dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan. Syaratnya dia seorang muslim kemudian modal utamanya adalah integritas (jujur dan amanah).

6.Ada orang-orang yang terlahir sebagai pemimpin. Ada orang-orang yang bisa dilatih jadi pemimpin. Dan ada orang-orang yang tidak bisa dilatih jadi pemimpin walaupun memiliki mentor sekelas Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.

  1. Banyak hal yang bisa digali dari perjalanan hidup Rasulullah  dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.

Sungguh sangat berbeda dengan kejadian hari ini,  nampak jelas terlihat fenomena orang yang berlomba mengumpulkan perhiasan dunia. Bahkan rela melakukan segala cara demi memperbanyaknya. Saling sikut, saling injak, saling hujat sudah menjadi santapan biasa. Seakan lupa bahwa dunia ini sementara.

Banyak pula orang yang menggantungkan hidupnya pada ikhtiar, ilmu, tenaga dan kecerdasannya. Padahal, sejatinya Allah-lah Yang Maha Kaya, Maha Pemberi segalanya. Terkadang kejayaan dunia, harta dan tahta menjadi tolak ukur kemuliaan dalam hidup.

Hati kita telah tertutup dengan silaunya dunia, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-baqarah: 212, “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Benar kiranya jika dunia ini ialah penjara bagi orang beriman. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, “Orang mukmin terpenjara di dunia karena harus menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan dimakruhkan. Orang mukmin juga diperintah untuk melakukan ketaatan. Ketika ia mati, barulah ia beristirahat dari hal itu. Kemudian ia akan memperoleh apa yang telah Allah janjikan dengan kenikmatan akhirat  yang kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang. Adapun orang kafir, dunia yang ia peroleh sedikit atau pun banyak, ketika ia meninggal dunia, ia akan mendapatkan azab (siksa) yang kekal abadi.”

Maka sebagai orang beriman kita harus bersabar dari maksiat dengan menahan diri. Karena dunia ini adalah penjara bagi kita di dunia. Di akhirat kita akan peroleh balasannya.

Cukuplah Allah segala-galanya bagi kita, Ia Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Kasih dan Sayang. Insya Allah, bagaimanapun banyaknya masalah yang dihadapi namun bagi orang yang hatinya sudah mantap kepada Allah, tidak ada gentar ataupun takut. Allah telah memberikan ketenangan hati padanya dan solusi dari jalan yang tidak disangka-sangka serta dibukakan hikmah dari setiap kejadian. Semoga kita selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan menjadi pecinta Allah sejati.

Wallahu’alam bish shawab.

Teks : Widya (Founder Bandung Storytellingclub & Komunitas Muslimah Menjahit.

Editor: Sarono PS