Butuh Lompatan PBBKB Tingkatkan Kas Daerah
Distribusi BBM kini terus diawasi super ketat. BPH Migas bersama stake holders terkait, Dinas ESDM Sumsel, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel, Bapenda Provinsi Sumsel, Disperindag Sumsel dan sejumlah Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum beserta konsumenya Penggunanya, berkomitmen bakal meningkatkan koordinasi pendataan fix guna peningkatan Kehandalan Efisiensi BBM, diharapkan mampu mendongkrak pendapatan melalui PBBKB sebesar 7,5 persen ke kas daerah pm dan iuran khusus ke BPH Migas 0,03 persen untuk peningkatan layanan kegiatan hilirisasi Migas di masyarakat.
SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG | Penegasan yang disampaikan langsung, Ketua BPH Migas Fanshurullah Asa, didampingi Kasubdit Cadangan Pemantauan Migas Gusti Sidemen, di sesi Rapat Koordinasi di Aryaduta (25/4) menelurkan sebuah harapan baru, khususnya Sumsel bisa memanfaatkan pundi pundi dari pengefisiensi pemantapan data distribusi BBM, dengan meningkatkan kepatuhan Wajib Pungut (Wapu) Badan Usaha Niaga Umum yang setoran PBBKBnya baru mencapai Rp. 900 miliar rata rata per tahun.
“Sumsel potensi pajak hingga Rp 9 Trilliun pemasukanya, dan PBBKBnya baru bisa menyumbang 10 persen saja tercapai sekarang sekitar Rp. 900 miliar, Padahal PBBKB bisa dijadikan masukan bagi kas daerah kedua setelah pajak secara umum. Seperti Jakarta, dari total Rp. 44,5 trilliun pemasukan pajak, sumbangsih dari PBBKB bisa mencapai 20 persen atau sekitar Rp, 8,8 trilliun. Nah, artinya PBBKB di Sumsel bisa lah mencapai 20 persen dari total pemasukan pajak secara unum,” luasnya.
Ini penting, sebab akan berpengaruh terhadap pemasukan kas daerah. “Saya minta semua pihak, disingkronkan datanya, baik dari Dinas ESDM, Dinas Kelautan jumlah kapal pemakai BBM, Disperindag dan Bapenda bersama BPH Migas, agar bisa kita kawal kebenaran jumlah distribusi data BBM yang digunakan di Sumsel, ” imbuhnya.
Bagi Badan Usaha kena Wapu, jangan sampai mencurangi data real di lapangan beda dengan data disetor PBBKB nya ke Bappenda. Begitupun kapal kapal digunakan nelayan dipantau oleh Dinas Kelautan harus benar benar dicek, apakah ada kapal di bawah 30 GT (boleh BBM subsidi) atau ada kapal sudah di atas 30 GT (wajib BBM Industri), sehingga klop.
Selain bisa mengontrol dan mendongkrak PBBKB di Sumsel. BPH Migas juga berharap bisa menaikkan iuran BPH sebesar 0,03 persen dari total rata rata penjualan milik Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga, untuk bisa digunakan kembali pada kegiatan hilir Migas di masyarakat.
Seperti pembuatan SPBU Minum, pengadaan Tangki Timbun hingga layanan ooerator, dimana jumlah iuran masuk ini bergantung pada total volume penjualan.
“Jika penjualan banyak, otomatis iuran ke BPH naik, hasilnya dikembalikan untuk peningkatab aktifitas layanan infrastruktur di masyarakat. Sebaliknya, jika kecil, layanan kegiatan hilir Migas ke masyarakat bisa turun. Melalui rapat koordinasi, kita berharap ada pendataan konkrit dan sinergi baik antar stakeholders terkait, ” imbuhnya.
Intinya, pemda untung PBBKB naik, BPH Migas bisa menambah layanan instruktur hilir Migas ke masyarakat, dan distribusi BBM pun nyata larinya kemana.
Bagi Badan Usaha pun untung, bisa terkoordinasi dengan baik suplay demainya, sehingga upaya penyelundupan dan penyalahgunaan BBM bisa terus dicegah dan dikurangi.
Perda Nomor 03 tahun 2011 Sumsel sudah jelas mengatur soal PBBKB ini, sehingga bisa dikawal baik untuk mendongkrak pendapatan daerah agar lebih signifikan lagi.
Kepala Bidang Pajak Bappenda Sumsel Emmy Surawahyuni dalam kesempatan itu, mengakui sampai April 2019 realisasi PBBKB Rp. 254,8 miliar (35, 9 persen) dari target Rp. 709 miliar.
Ia bersyukur masih ada sekitar 5 Wapu lagi yang belum taat dari 27 Wapu. Ia berharap ini bisa ditindaklanjuti nanti.
Emmy mengakui berapa susahnya mendapatkan data dari Wapu, bahkan yang aktif dilakukan koordinasi hanya sepertiganya saja. Itupun pihaknya harus berkoordinasi dengan BPH Migas.
“Biasanya yang datang ke kantor Bappenda dari Wapu ini cuma diwakili kurirnya saja, sehingga sulit melakukan cross cek terus. Bahkan, nomor HP bersangkutan pun sering tidak aktif dan sulit dihubungingi,” kata Emmy.
Emmy Surawahyuni menyebutkan, kalau besarnya pungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) yang dipungut selama ini sebesar 7,5 persen. “Kalau sesuai undang undangnya maksimal 10 persen, tapi kami ambil tengahnya saja yakni 7,5 persen,” kata Emmy. Aturan ini sudah tertuang dalam Perda No 3 tahun 2017.
Diakuinya, untuk pemungutan pajak bagi badan usaha Wajib Pungut (Wapu) mengacu pada data BPH Migas. Selama ini Bapenda Sumsel menerima data perusahaan penyalur bahan bakar yang telah berbadan usaha dari BPH Migas sebanyak 22 perusahaan. Sementara total di BPH Migas ada 27 perusahaan.
“Nah yang lima perusahaan lagi, juga akan kami kenai pajak PBB-KB ini. Bagus kan ada tambahan lima perusahaan lagi,” jelasnya sumringah.
Sementara MOU yg dilakukan BPH Migas dengan Bapenda Sumsel terkait peningkatan pajak PBB-KB juli 2018 lalu, ternyata membawa dampak positif. Penerimaan pajak daerah dari bahan bakar mencapai 111 persen sepanjanh 2018 lalu. “Dan sampai April 2019 ini penerimaan kami sudah over 2 persen. Dari target 33 persen, kami terima sampao 35 persen,” sebutnya.
Tepatnya dari target Rp 700 miliar, selama kuartal pertama 2019 telah tercapai 254,86 miliar atau 35,95 persen.
Emmy melanjutkan, kalau selama ini ada kalanya perusahaan penyalur bahan bakar menyembunyikan data pembelian BBM sebenarnya. Tujuannya agar pajak yang dikenai Bapenda menjadi lebih kecil. Hanya saja, Emmy tidak tau pasti berapa angka yg tidak dicatatkan perusahaan ke daerah tersebut.
“Kami mengacu data dari BPH Migas, untuk itulah dibuat MoU ini tahun lalu, agar data yang kami terima dapat sama dengan yang perusahaan penyalur laporkan ke BPH Migas,”. Tidak adanya sanksi tegas dari Perda No3 tahun 2017 tersebut yang membuat perusahaan sering ‘ngeles’ dari kewajibannya. Selama ini dalam Perda hanya menyebutkan sanksi administratif yakni 2 persen dari nilai pajak yang harus dibayarkan. “Jadi kalau tidak bayar, maka pada pembayaran selanjutnya dikenai denda 2 persen. Tapi untuk sanksi yg lebih keras, seperti pungutan PPh dari Dirjen Pajak yang sampai kena sanksi kurungan penjara jika tidak membayar, tidak ada. Mungkin ini lah masalahnya,” jelas Emmy.
Sementara itu terkait minimnya data pembelian BBM oleh perusahaan penyalur bahan bakar, dikatakan Kabid Energi Ariansyah STMT Dinas ESDM Provinsi Sumatera Selatan menyatakan. Kalau seharusnya pihak Bappenda Sumsel melakukan koscek data dengan Dinas EsDM minimal setiap tiga bulan sekali. Agar data yang mereka peroleh akurat dan tidak akan ada lagi manipulasi.
“Kan ada delivery order nya, bisa dilihat disitu. Kalau di Dinas ESDM kami datanya boleh dibilang akurat karena kami juga berkoordinasi dengan Pertamina,” ujar dia.
Ada 5.000 Unit Kapal Butuh Dicroscek
Hal ini ditanggapi serius oleh Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Sumsel, Aryansyah, seyogyanya Bappenda tidak perlu repot ke BPH Migas melakukan cros cek data volume, tapi cukup sesering mungkin koordinasi dg Dinas ESDM untuk cros cek sehingga tidak terjadi looses dan bisa dilakukan pengawasan bersama distribusi hingga perolehan PBBKB nya.
“Bappenda harus aktif, jangan cuma menerima laporan dari Badan Usaha saja, tapi juga harus cros cek dan inventarisir konsumsi BBM dari para penggunanya..
Termasuk adanya laporan kapal kapal nelayan, ternyata fakta hasil pengukuran lebih dari 30 GT, harusnya pakai BBM industri, tapi dalam laporan kertas malah di bawah 30 GT klasifikasi BBM subsidi. “Nah sinyalemen ada ketidakberesan ini harus dicek juga benar atau tidak,” imbuhnya.
Sebab banyak laporan tidak logis. Misal laporan penggunaan di atas kertas lebih rendah. Padahal secara logika terlihat berapa kira kira penggunaan real di kapangan. “Ini banyak dilakukan oleh SPBBM melapor ke kami tidak logis lah, ” imbuhnya.
Hal lain terungkap dalam rapat koordinasi juga, adanya kasus tahun 2016 lalu, ada perusahaan seperti PT AKR menjual sebesar 2 juta KL ke salah satu perusahaan A misal. Namun ternyata justru perusahaan A tersebut melaporkan ke BPH hanya sebesar 200 KL pembeliannya dari PT. AKR. Artinya potensi looses dari contoh satu ini saja bisa mencapai 1,8 KL. Dikemanakan ini.
Hal hal seperti inilah diharapkan bisa dihindari, sehingga semua pihak bisa terus duduk bareng, saling bersinergi untuk meningkatkan pendapatan daerah, eksistensi BPH dalam aktifitas hilirnya, juga badan usaha pemegang izin usaha niaga yang sehat, untuk mengurangi penyalahgunaan distribusi BBM.
Sementara, Kepala Bidang Penangkapan Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel, Galamda Israk Iskandar menambahkan, dari total produksi ikan tangkap di Sumsel mencapai 150 ribu ton rata rata per tahun, sedikitnya diperoleh dari aktifitas sebanyak 5.000 unit kapal nelayan mondar mandir di Sumsel.
Jika menilik kondisi ini, laporan mereka masuk, kapal ini berkekuatan tidak lebih dari 39 GT.
Namun, saat pihaknya melakukan pengecekan fisik pengukuran kapal oleh tim ahli yang diturunkan. Ditenggarai memang beda. Ada kapal melebihi tonase 30 GT dari hasil pengukuran kapal di lapangan.
“Jadi seringnya terjadi perbedaan antara di dokumen dan di lapangan ini, kita berharap ke mentri Perhubungan konsekwensi pengukuran kapal selama ini menjadi kewenangan Kementrian Perhubungan, kita berharap diserahkan ke kita, sehingga bisa klop data di lapangan dan dokumen. Jika ada mark up, kita bisa langsung croscek, ” bebernya.
Anehnya lagi, kapal yang di bawah 30 GT ini banyak. Mencapai 5.000 unit, namun faktanya, yang meminta rekomendasi penggunaan BBM subsidi ini sangat sedikit.
“Apa mereka tidak tahu, atau ada kapal membeli BBM subsidi dg harga BBM industri. Pihak mana yang salah ini akan terus kita croscek, ” imbuhnya.
“Kamu berharap bisa ada kerjasama semua pihak, agar bisa tahu lebih detail lagi distribusi BBM, dan para pihak bertanggungjawab menjalankan kewenanganya tidak menyalahi kewenangan, ” harap Israk.(*)
Teks: Asih, Maya
Editor: Asih