Asap Karhutla, Pendidikan Lingkungan Hidup dan Deep Ecology

Saleh Rusbandi
(Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kab. Ogan Komering Ilir)

 

Pendahuluan

Kualitas lingkungan hidup dan planet bumi telah menjadi perhatian utama seluruh dunia pada beberapa dekade terakhir. Pada Forum Global on Ecology and Poverty yang diadakan 22 – 24 Juli 1993 di Dhaka Bangladesh memuat satu pernyatan bahwa “dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia”. Hal itu dapat dirasakan sampai hari ini, seperti peristiwa kebakaran hutan dan lahan atau lebih dikenal dengan akronim karhutla. Data http://sipongi.menlhk.go.id menunjukkan insiden yang selalu berulang pada beberapa tahun terakhir, menjadikan istilah karhutla yang menghasilkan asap (smoke – Inggris) mendominasi pembicaraan sehari-hari sebagian besar warga  Kota Palembang. Semua warga pasti mengenal dan merasakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari beberapa bulan terakhir. Bahkan dampaknya terhadap kesehatan dan perikehidupan manusia turut pula meramaikan perbincangan dengan serbaneka sudut pandang masing-masing pembicara. Menghangat pula topik pembicaraan tentang upaya pemadaman sumber asap sebagai salah satu upaya pengendalian.

Selain menjadi topik pembicaraan, berbagai pihak baik yang berkepentingan langsung maupun tidak berupaya menanggulangi keberadaan asap di lingkungan. Dengan melibatkan potensi yang ada mereka berupaya melakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan atau yang lebih dikenal dengan karhutla. Upaya tersebut setidaknya telah mengurangi keberadaan kabut asap walaupun belum konsisten, artinya secara fluktuatif kabut asap belum hilang sama sekali mengikuti kondisi cuaca harian setempat.

Walaupun upaya yang telah dilakukan belum dirasakan hasilnya secara optimal, namun tetap harus dilakukan. Upaya ad hoc yang telah dilakukan seperti pemadaman manual maupun water bombing seakan tiada dampak, karena keberadaan asap semakin tidak menyehatkan. Dikatakan ad hoc karena hanya mengarah pada proses pemadaman sumber asap berbasis massa secara luas. Upaya represif sudah pula dilakukan dengan menjalankan aturan hukum bagi pihak yang melanggar ketentuan yang terkait. Upaya ini menjadi kerjaan rutin setiap tahun terutama saat musim kemarau tiba di negara kita.

Perlu dilakukan upaya yang lebih komprehensif antar lintas dengan durasi tanpa batas. Dilakukan terus menerus tanpa jeda dan lintas generasi serta lintas sektoral. Hal ini perlu dilakukan untuk menurunkan dampak buruk bagi aspek kehidupan bangsa Indonesia yang tentu secara langsung akan mempengaruhi kesejahteraannya.  Secara tidak langsung hal ini akan dapat mengangkat harkat bangsa pada pergaulan bilateral, regional maupun multi lateral di masa mendatang. Upaya komprehensif perlu dilakukan agar semua upaya yang dilakukan bersifat terpadu tanpa membebani sektor tertentu.

Salah satu upaya yang relatif penting untuk dilakukan adalah merubah paradigma manusia tentang eratnya korelasi kualitas kondisi lingkungan dengan kualitas kehidupan manusia. Manusia seharusnya melakukan pengelolaan lingkungan melalui upaya penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian secara terpadu. Hal ini perlu dilakukan karena secara alamiah setiap manusia harus melakukan aktivitas kehidupan yang bersinggungan dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer, skunder, tersier dan turunan selanjutnya.

Dalam persinggunganya dengan lingkungan, manusia berperan ganda. Pada satu sisi manusia sebagai pengguna potensi yang ada di lingkungannya, artinya manusia berperan sebagai pengguna utama lingkungan (antroposentris).  Mereka sebebasnya dan seolah tanpa batas mengambil manfaat dari lingkungan dengan aktivitas mengolah dan memproduksi benda atau jasa yang dibutuhkan. Pada peran ini manusia memiliki potensi yang sangat kuat merubah kondisi lingkungan.

Pada sisi yang lain manusia merupakan salah satu komponen penyusun lingkungan, yaitu pada komponen hayati.  Eksistensinya tidaklah mandiri namun sangat tergantung dengan 2 komponen lain, yaitu komponen fisik dan komponen sosial. Manusia harus melakukan interaksi yang dapat berbentuk kompetisi, predasi, maupun simbiosis dengan semua komponen tersebut untuk dapat melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga langsung maupun tidak langsung kondisi kualitas lingkungan akan berpengaruh pula terhadap manusia.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

Kualitas lingkungan yang ada sekarang haruslah dipertahankan selama mungkin demi memenuhi kebutuhan hidup generasi mendatang.  Manusia seharusnya tidak hanya sebagai pengguna lingkungan tetapi seharusnya bersikap sebagai pengelola lingkungan yang bijak. Konsepsi pemanfaatan berkelanjutan tentu harus menjadi acuan dalam mengelola pergaulan dengan lingkungan yang dimulai sedini mungkin pada lini terendah.

Untuk menyelaraskan aspek pemenuhan kebutuhan manusia dengan aspek ketersediaan di lingkungan selama mungkin dibutuhkan kearifan manusia terhadap semua komponen lingkungan. Hal ini patut disadari karena komponen fisik-kimia, hayati, dan sosial yang berada di suatu lingkungan merupakan suatu sistem yang dependen. Kualitas yang satu akan memengaruhi kualitas lainnya baik dalam komponen yang sama maupun dengan komponen lainnya.

Sebagai contoh bila di suatu habitat darat keberadaan produsen lebih kecil dari konsumen maka akan terjadi kompetisi antar konsumen. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut akan berupaya mencari sumber makanan di tempat lain bahkan di luar habitatnya.  Terjadilah perubahan pada daya tampung habitat yang pada akhirnya akan merubah daya dukungnya. Fenomena perubahan daya tampung akibat lonjakan populasi komunitas yang tidak proporsional maupun perubahan daya dukung akibat tidak seimbangnya kualitas lingkungan dengan kuantitas organisme harus dicegah sedini mungkin agar tidak menimbulkan bencana lingkungan yang tentu saja berdampak negatif.

Upaya yang dilakukan harus bersifat menyeluruh, menyatu, dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah semua manusia yang berada di satuan wilayah tersebut.  Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terjadinya perubahan paradigma dari antroposentris menjadi ekosentris.  Paradigma ekosentris secara sederhana dapat diartikan bahwa manusia bukanlah makhluk satu-satunya yang berhak memanfaatkan lingkungan. Masih ada makhluk lain yang memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan semua yang ada di lingkungan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Salah satu upaya penanaman konsepsi ini dapat dilakukan melalui pendidikan lingkungan hidup (PLH) atau environmental education (EE). Menurut Unesco, EE adalah suatu proses untuk membangun populasi dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru. Pendapat lain seperti dikemukakan oleh Anandan (2015) menyatakan bahwa EE menggambarkan keterkaitan antar organisme, lingkungan dan semua faktor, yang memengaruhi kehidupan di bumi, termasuk kondisi atmosfer, rantai makanan, siklus air, dan lain-lain).

Di Indonesia, istilah PLH merupakan upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran mayarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. PLH di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1975, diawali oleh IKIP Jakarta dengan melalui ujicoba di 15 sekolah dasar pada tahun ajaran 1977/1978. Selanjutnya mulai tahun 1996 PLH diperkuat secara kelembagaan melalui kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pada tahun 2005, PLH dilakukan secara integrasi dengan mata pelajaran yang telah ada di jenjang pendidikan dasar dan menengah. PLH dilakukan secara formal, informal dan nonformal dengan sasaran semua masyarakat pada semua satuan wilayah dan semua kelompok usia serta dilakukan oleh para pemangkukepentingan.  Pelaksanaannya dipilah menjadi tahap jangka pendek (1-3 tahun), jangka menengah (3-5 tahun), dan jangka panjang (5-10 tahun).

Deep Ecology

Deep ecology adalah suatu konsepsi yang menekankan bahwa perlindungan dan penyelamatan lingkungan hidup yang dilakukan manusia pada dasarnya beranjak dari kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan keberlanjutan lingkungan hidup diperuntukan bagi seluruh komunitas ekologis.  Dikutip dari Satmaidi (2015), masalah lingkungan hidup tidak hanya masalah biologis manusia tetapi juga masalah moral. Kerusakan alam seperti erosi, banjir, longsor, kerusakan dan kebakaran hutan bukan hanya menimbulkan kecemasan bagi nasib hidup manusia, tetapi menimbulkan keprihatinan betapa perilaku manusia telah melampaui khitah manusia sebagai pengelola alam dengan bijaksana.

Istilah deep ecology pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf warganegara Norwegia bernama Arne Naess pada tahun 1972. Krisis lingkungan saat ini hanya dapat diatasi melalui perubahan paradigma dan perilaku manusia secara mendasar. Manusia harus merubah paradigma dalam dirnya bahwa tanggungjawab kehidupan mereka tidaklah terbatas pada fungsi biologis saja namun harus pula menjalankan fungsi ekologis dan fungsi idealis.  Kepemilikan kesadaran akan 2 fungsi terakhir akan menghasilkan adanya kesadaran bahwa manusia membutuhkan komponen lain yang berada dalam lingkungannya untuk melestarikan eksistensinya.

Mengutip pendapat Naess dalam Satmaidi (2015) kesadaran manusia untuk dapat menerima prinsip-prinsip Deep Ecology antara lain:

  1. Sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta (biospheric egalitarianism—in principle);
  2. Manusia hanya salah satu spesies di tengah begitu banyak spesies lain. Semua spesies ini mempunyai nilai yang sama (prinsip non-antroposentrisme);
  3. Pprinsip realisasi diri yang memandang manusia tidak hanya sebatas sebagai makhluk sosial (social animal), tetapi juga makhluk ekologis (ecological animal);
  4. Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.

Penutup

Sudah saatnya manusia untuk secepat mungkin dapat merubah pola pikir, sikap, perilaku dan cara pandangnya terhadap lingkungan.  Alasannya adalah cepatnya pertumbuhan populasi manusia menyebabkan perubahan daya tampung dan daya dukung lingkungan untuk mendukung kehidupannya secara alamiah.  Manusia diharuskan memanfaatkan lingkungan secara bijaksana untuk menjaga fungsinya selama mungkin untuk dapat diwariskan kepada generasi berikutnya kualitasnya yang sama atau lebih baik dibanding saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *