Swarnanews.co.id-Jakarta, 06/10/2019 | Setiap pagi, Khusnul Khotimah menyusuri jalan-jalan pemukiman di Dusun Tugung Desa Jambewangi Kecamatan Sempu Banyuwangi untuk menjajakan dagangannya sambil mengemban “tugas negara”.
Khusnul berjualan sayur mayur dan lauk pauk berkeliling menggunakan sepeda motor. Tidak ada yang berbeda. Khusnul sama seperti “mlijo” lainnya, yaitu sebutan di Banyuwangi bagi penjaja sayur keliling, mempermudah para kaum hawa belanja kebutuhan makan hari ini tanpa perlu ke pasar.
Sambil bercengkrama dengan konsumennya, Khusnul memperhatikan perut para ibu-ibu pembeli sayur. Jika ada yang terlihat lebih besar pada umumnya, diduga hamil, saat itulah Khusnul bergerak.
Dia akan bertanya-tanya, mendata informasi ibu hamil dimaksud, lalu melaporkannya pada Laskar Sakina yaitu Laskar Setop Angka Kematian Ibu dan Anak (Sakina). Sementara Khusnul sendiri menyandang status Mlijo Pemburu Bumil Resti (Ibu Hamil Berisiko Tinggi).
Laskar Sakina dan Pemburu Bumil Risti adalah program layanan kesehatan inovasi dari Puskesmas Sempu di Banyuwangi. Keduanya bertujuan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi serendah-rendahnya.
Untuk mencapai tujuan itu dimulai dari penjual sayur Pemburu Bumil Risti. Para mlijo sebelumnya dilatih terlebih dulu di Puskesmas untuk mengenali kriteria ibu hamil berisiko tinggi, yaitu kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun, jarak kelahiran dan kehamilan terlalu dekat, memiliki riwayat hipertensi, dan tinggi badan kurang dari 150 cm.
Penjual sayur sengaja dipilih lantaran dianggap sebagai orang yang sering berinteraksi dengan masyarakat setiap hari, hingga ke pelosok-pelosok dusun. Ini dilakukan karena keterbatasan tenaga medis seperti bidan yang dimiliki Puskesmas Sempu.
Mlijo seperti Khusnul langsung melaporkan temuannya melalui grup WhatsApp kepada Laskar Sakina dan petugas Puskesmas Sempu. Di hari itu juga tim Laskar Sakina akan menemukan ibu hamil berisiko tinggi untuk selanjutnya dipantau hingga melahirkan dan bahkan selesai masa nifas.
Kepala Puskesmas Sempu Hadi Kusairi mengatakan puskesmasnya telah memiliki 308 kader kesehatan yang terdiri dari guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, ibu-ibu PKK, penjual sayur, hingga aparat kepolisian.
Tokoh masyarakat dan tokoh agama diberdayakan untuk bekerja sama mempersuasi masyarakat, khususnya ibu hamil, untuk mau memeriksakan kesehatan, imuniasi, atau melahirkan di fasilitas kesehatan. Enggannya masyarakat menerima imunisasi dan mengikuti kebiasaan leluhur lantaran melahirkan bukan oleh tenaga medis masih menjadi tantangan.
Sementara peran Babinkamtibmas diberdayakan untuk menolong ibu hamil yang tinggal di pelosok daerah seperti di dalam hutan. Babinkamtibmas membangun rumah singgah untuk transit ibu hamil di tengah hutan yang kemudian diantarkan oleh aparat kepolisian tersebut memeriksakan kesehatan di rumah sakit.
Ibu hamil tersebut diperlakukan secara khusus mulai dari pemantauan kesehatannya hingga melahirkan, pendampingan untuk mengedukasi orang tua baik ibu dan ayah dalam mempersiapkan kelahiran anak, dan bahkan antar jemput ibu hamil ke fasilitas kesehatan.
Walaupun di Puskesmas Sempu tidak terdapat dokter spesialis kebidanan dan kandungan, para ibu hamil tersebut diantar dan dikonsultasikan ke dokter Sp.OG di rumah sakit. Seluruh kegiatan tersebut diberikan secara gratis untuk masyarakat.
Lalu dari mana dana untuk banyaknya pelayanan kesehatan khusus ibu hamil tersebut?
Hadi mengisahkan dirinya sempat mendaftarkan program Laskar Sakina kepada lembaga bantuan pembangunan asal Jerman, yaitu Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Program Laskar Sakina masih dalam bentuk konsep yang kemudian akhirnya terpilih menjadi ide program terbaik dan dihadiahkan Rp100 juta untuk pengembangannya.
Dari modal segar Rp100 juta itulah para Mlijo Pemburu Ibu Hamil Berisiko Tinggi difasilitasi tempat berjualan sayur di sepeda motor, rompi, sepatu, helm, dan ponsel. “Kita sempat buat aplikasi, gagal, habis Rp40 juta. Akhirnya kami ganti dengan grup WhatsApp, lebih mudah, lebih nyaman, dan cepat,” kata Hadi.
Seiring berjalan waktu, Hadi kemudian melakukan advokasi pada Dinas Kesehatan dan Pemerintah Desa untuk memberikan kompensasi kepada para mlijo, yaitu Rp30 ribu per bulan dari dana Bantuan Operasional Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Rp100 ribu per bulan dari dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat.
Sedangkan untuk biaya mengonsultasikan ibu hamil ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan berasal dari dana urunan para petugas medis di Puskesmas Sempu. Setiap hari Kamis, pegawai Puskesmas Sempu digerakkan supaya memberikan sebagian hartanya. Dana infak dari pegawai Puskesmas itulah yang digunakan untuk membiayai konsultasi ibu hamil ke dokter Sp.OG.
Hasilnya? Sejak 2016 hingga saat ini angka kematian ibu dan bayi di wilayah kerja Puskesmas Sempu menjadi nol. “Sehingga pada saat Bapak Jokowi berbicara upaya menekan AKI (angka kematian ibu) AKB (angka kematian bayi), kami sudah melakukannya,” kata Hadi.
Replikasi di Banyuwangi
Inovasi Laskar Sakina yang sukses di Puskesmas Sempu kemudian direplikasi dan diterapkan di seluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi memberdayakan para kader kesehatan untuk memantau kondisi ibu hamil sejak nol bulan hingga selesai masa nifas.
Upaya tersebut pun memberikan hasil yang cukup memuaskan meski belum bisa menekan AKI dan AKB hingga nol di seluruh Kabupaten. Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi Wiji Lestariono mengungkapkan data AKI dan AKB di Kabupaten Banyuwangi yang jauh dari angka nasional.
Angka kematian bayi di Banyuwangi sebesar 5,9 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka nasionalnya sebanyak 24 kematian per 1000 kelahiran. Untuk angka kematian ibu yaitu 103 per 100 ribu kelahiran hidup di mana angka tersebut secara nasional ialah 305 dari 100 ribu.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mendorong sebanyak 45 Puskesmas yang ada di Banyuwangi untuk melakukan inovasi terkait kesehatan yang disesuaikan dengan permasalahan wilayah masing-masing. Total sudah terdapat 271 inovasi yang ditelurkan dari seluruh Puskesmas tersebut.
Hasilnya? Sebut saja prevalensi stunting di mana secara nasional Indonesia berada di angka 30,8 persen, namun di Banyuwangi berada di 9,8 persen. Angka tersebut pun dua kali lipat lebih rendah dari angka maksimal prevalensi stunting yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20 persen.
Keberhasilan-keberhasilan Kabupaten Banyuwangi di bidang kesehatan ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi daerah lain untuk juga berinovasi dalam mengurangi permasalahan kesehatan di Indonesia.
Dalam segala keterbatasan, terlebih lokasinya yang terletak di pedesaan daerah paling timur Pulau Jawa, Puskesmas Sempu dan puskesmas lainnya di Banyuwangi bisa jauh lebih berprestasi dari berbagai macam fasilitas kesehatan di kota-kota besar.
Teks/Editor : Antara/Asih