Memahami Konsepsi NKRI

Oleh: Dr. Ir. Parlaungan Adil Rangkuti (PAR) MSi

Wisesa Utama Dewan Ketahanan Nasional RI

Dasar Indonesia Merdeka

SWARNANEWS.CO.ID. Untuk membangun kesadaran bela negara, perlu memahami pokok-pokok pikiran dan proses tentang perumusan konsepsi dasar NKRI, yang dapat ditelusuri dari “risalah” sidang-sidang BPUPKI yang berlangsung pada Sidang Pertama (28 Mei-1 Juni 1945), dan Sidang Kedua (10-17 Juli 1945). Salah satu materi “risalah” tersebut adalah yang disusun oleh Saafroedin Bahar dkk, tahun 1995 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI. Materi “risalah” ini merupakan Edisi Ketiga yang diperkaya oleh dua berkas naskah transkrip asli yakni Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin serta dukungan data dari sejarawan Belanda Dr. R.J. Drooglever tentang manuskrip yang memuat catatan lengkap nama anggota BPUPKI dan isi pidato pembicara utama tentang dasar negara Indonesia Merdeka oleh Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Pemikiran tentang dasar dan bentuk negara Indonesia Merdeka telah muncul pada Sidang Pertama BPUPKI, dengan berbagai teori dan harapan.

Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 menyampaikan pemikiran tentang dasar negara yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Daerah negara Indonesia Merdeka yang diusulkan meliputi daerah yang terhampar dari gentingan Kra di tanah Semenanjung Melayu dan pulau Weh di puncak utara Sumatera, sampai ke kandung Sampan mangio dikaki gunung Kinibalu dan pulau Palma Sangihe di sebelah Utara Sulawesi meliputi Daerah Delapan (Sumatera, Jawa, Borneo, Malaya, Selebes, Sunda Kecil, Maluku dan Papua) dan dilampirkan yang memuat syair 13 dan 14 dari kitab Negarakertagama karangan Prapanca (1364). Pemikiran Soepomo yang disampaikan pada tanggal 31 Mei 1945 tentang dasar negara Indonesia Merdeka yakni: Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, dan Keadilan sosial. Secara khusus Soepomo menguraikan tentang syarat-syarat suatu negara merdeka dipandang dari sudut hukum dan dari sudut formeel (jurisprudence) yaitu: ada daerah (territory), rakyat, dan pemerintah yang berdaulat (souverein) menurut hukum internasional. Soepomo juga mengemukakan teori tentang negara yang terdiri dari teori perseorangan (individualistis), teori golongan (class theory) dan teori integralistik. Pandangan Soepomo tersebut sangat kontekstual sifatnya, dan tim penyunting “risalah” berpendapat bahwa naskah tersebut merupakan “initial paper”, tentang berdirinya negara.

Pada Sidang tanggal 1 Juni 1945 diisi dengan pidato Soekarno tanpa teks menyampaikan gagasannya tentang dasarnya Indonesia Merdeka, berupa “philosofische grondslag” sebagai pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Soekarno menguraikan tentang arti kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk membangun Indonesia yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi, dan prinsip-prinsip dasar negara sebagai “weltanschauung” yang di atasnya kita mendirikan negara Indonesia Merdeka. Soekarno menyampaikan bahwa negara yang hendak kita dirikan itu, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan kaya, tetapi “semua buat semua”. Atas dasar pemikiran tersebut, Soekarno menyampaikan dasar negara Indonesia Merdeka adalah: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme/Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat/Demokrasi, 4. Kesejahteraan Sosial, dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa yang diberi nama Pancasila atas masukan dari seorang ahli Bahasa.

HASIL KERJA PANITIA SEMBILAN

Pada akhir Sidang Pertama, BPUPKI belum dapat mengambil kesepakatan tentang dasar negara dan lain-lain yang terkait dengan hukum dasar negara Indonesia Merdeka. Memasuki masa “reses”, sebelum memasuki Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945, dibentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang yakni: Soekarno sebagai ketua dengan anggota Mohammad Hatta, Sutardjo, Wachid Hasjim, Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Muhammad Yamin dan Maramis. Panitia Kecil ini berhasil mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota BPUPKI dan digolongkan dalam 9 golongan usul yakni: 1) usul agar Indonesia merdeka secepatnya, 2) mengenai dasar negara, 3) soal unificatie atau federatie, 4) bentuk negara dan kepala negara, 5) mengenai warga negara, 6) mengenai daerah, 7) mengenai agama dan negara, 8) mengenai pembelaan, dan 9) soal keuangan.

Panitia kecil mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI bertempat di Kantor Besar Djawa Hookoo Kai pada tanggal 22 Juni 1945 untuk mendengarkan usul-usul secara langsung sehingga usul tertulis dan tidak tertulis menjadi dasar untuk mengambil keputusan. Salah satu usulan sebagian besar anggota yang hadir meminta dengan sangat supaya Indonesia Merdeka selekas-lekasnya dengan berbagai argumentasi. Pada akhir pertemuan disepakati membentuk Panitia Kecil lagi yang terdiri dari 9 orang (Panitia Sembilan) dengan susunan Soekarno sebagai ketua, Muhammad Hatta sebagai Wakil dan anggota Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Agoes Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin. Panitia Sembilan berhasil menyusun rancangan preambule Undang-Undang Dasar yang diberi nama Piagam Jakarta atau “Jakarta Charter”.

Rancangan preambule tersebut berisi pokok-pokok pikiran Inonesia Merdeka dan hukum dasar Negara Indonesia Merdeka yang terdiri dari: 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2) Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan, 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan melaporkan hasil kerjanya pada hari pertama Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 (pagi). Radjiman selaku ketua BPUPKI menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa haru kepada Panitia Sembilan yang telah berhasil merumuskan preambule hukum dasar Indonesia Merdeka dalam suasana bersih, asas kemanusiaan, keberanian menegakkan kebenaran, dengan jiwa kesatria dan keperwiraan.

BENTUK DAN WILAYAN INDONESIA MERDEKA

Setelah Laporan Panitia Sembilan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945, sidang berlanjut dengan agenda pembicaraan tentang bentuk negara. Atas usul Wongsonegoro pembicaraan berkembang tentang bentuk negara dan akhirnya mengerucut menjadi dua pilihan yakni bentuk republik atau monarchie atau kerajaan dengan unitarisme atau federalisme. Setelah mendengar berbagai pendapat yang dukup dinamis antara lain dari Wurjaningrat, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Sutanto, Dahler, Mohammad Yamin, Singgih, Sukiman dan Sanusi, dengan mengarah kepada bentuk republik dan unitarisme dengan latar belakang pemikiran bahwa Kepala Negara tidak berdasarkan keturunan (turun temurun) dan dipilih oleh rakyat, dan yang sesuai adalah republik, sedangkan bentuk unitarisme atau kesatuan didasarkan kepada pengertian untuk menghindari perpecahan dari keberagaman yang ada di Nusantara. Akhirnya disepakati untuk dilakukan pemungutan suara (stem) tentang bentuk negara republik atau kerajaan, didahului dengan doa yang dipimpin oleh Muzakir. Hasilnya adalah dari 64 suara yang memilih bentuk republik sebanyak 55 suara, kerajaan 6 suara, lain-lain 2 suara dan blangko 1 suara. Rapat dilanjutkan sore hari (15.05-16.30 wib) dengan agenda pembahasan tentang wilayah negara. Setelah sidang dibuka oleh ketua sidang, pembicara pertama adalah Wurjaningrat yang mengemukakan bahwa wilayah Indonesia Merdeka sedikitnya bekas Hindia Belanda dengan memperhatikan batas-batas lain yang dapat bergabung dalam kemerdekaan.

Pendapat atau usul-usul datang dari pembicara berikut seperti Muzakkir, Mohammad Yamin, Abdul Kaffar, Sumitro Kolopaking, yang pada umumnya menyampaikan agar wilayah Indonesia Merdeka memperhatikan sejarah Nusantara, termasuk wilayah Bekas Hindia Belanda. Materi tentang wilayah Malaka menjadi pembicaraan yang menguat karena adanya usul dari tokoh-tokoh Melayu untuk ikut serta bergabung dengan Indonesia Merdeka. Wilayah Papua sebagai bagian dari Indonesia Merdeka, bukan kanya karena bekas Hindia Belanda tapi juga bekas lingkungan tanah dan adat kerajaan Tidore. Pembahasan dilanjutkan pada Rapat berikut yakni pada tanggal 11 Juli 1945. Dari berbagai perbedaan pendapat yang berkembang akhirnya disepakati untuk melakukan pemilihan (stem) atas tiga pilihan wilayah yakni: 1) Bekas Hindia Belanda, 2) Bekas Hindia Belanda, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor dan kepulauan sekitarnya, dan 3) Bekas Hindia Belanda ditambah Malaka dipotong Papua. Dari 66 suara anggota BPUPKI yang hadir, yang memilih No 1 sebanyak 19 suara, No 2 sebanyak 39 suara, No 3. sebanyak 6 suara, blangko 1 suara dan lain-lain 1 suara. Rapat berakhir pada jam 12.05, artinya sudah disepakati bahwa bentuk Indonesia Merdeka adalah republik dengan wilayah Nusantara (Bekas Hindia Belanda, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor dan kepulauan sekitarnya). Khusus tentang wilayah batas-batas negara Indonesia Merdeka sepakat tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar, karena menyangkut pada kedaulatan beberapa negara asing yang berbatasan dengan wilayah Indonesia Merdeka yang memerlukan kesepakatan antar negara dan dukungan hukum internasional.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG DASAR

Rapat tanggal 11 Juli 1945 dilanjutkan dengan agenda penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar dan pembentukan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Tampil pembicara pada tahap awal adalah Parada Harahap, Kolopaking, Wongsonegoro, Muhammad Yamin dan Wiranatakusumah. Diskusi berkembang pada materi pokok isi Undang-Undang Dasar antara lain tentang Kewarganegaraan, Susunan Pemerintahan, Pembagian kekuasaan antar lembaga negara, dan soal status warga negara keturunan (Arab dan Tiongkok). Untuk membahas materi rancangan Undang-Undang Dasar, sidang sepakat membentuk tiga Panitia yakni: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dipimpin oleh Soekarno, Panitia Keuangan dan Ekonomi dipimpin oleh Muhammad Hatta dan Panitia Pembelaan Tanah Air dipimpin oleh Abikusno Tjokrosujoso. Panitia Perancang Undang-undang Dasar (Hukum Dasar) yang dipimpin oleh Soekarno dengan anggota 18 orang, langsung mengadakan rapat yang dibuka pada jam 15.15 wib. Soekarno membuka rapat untuk membahas materi-materi pokok yang sudah dibicarakan dalam sidang BPUPKI tapi belum mendapat keputusan. Materi pertama yang diusulkan mulai dari membicarakan bentuk unitarisme atau federalisme (bondstaad). Kemudian pembicaraan terus bergulir dan berkembang dengan berbagai tanggapan dari anggota antara lain: Agoes Salim, Sartono, Latuharhary, Iskandardinata, Maramis, dan Soepomo.

Kesepakatan pertama yang dapat diambil adalah bentuk negara Indonesia Merdeka dengan memilih bentuk unitarisme atau kesatuan, artinya sudah disepakati bahwa bentuk Negara Indonesia Merdeka adalah Republik dan berbentuk kesatuan (NKRI). Selanjutnya muncul tanggapan dari Latuharhary tentang preambule yang memuat Hukum Dasar yang pertama yaitu Ke-Tuhanan dan seterusnya, tidak sepakat seluruhnya, khususnya yang memuat “mewajibkan melaksanakan syariat Islam pada pemeluk-pemeluknya”. Masalah ini kembali menghangat dalam diskusi tanpa suatu keputusan yang bulat.  Materi bahasan terus berlanjut, antara lain tentang nama Kepala Negara yang disepakati adalah dengan nama Presiden. Masalah pembagian kekuasaan berdasarkan teori Trias Politica muncul perdebatan yang akhirnya sepakat untuk tidak ditegaskan dalam Hukum Dasar Indonesia Merdeka, karena sistem yang digunakan tidak sepenuhnya menggunakan teori itu. Sidang sepakat membentuk Panitia Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo dengan anggota Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soekiman dan Agoes Salim. Hasil kerja Panitia Perancang Hukum Dasar dilaporkan dan dibahas dalam sidang Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, pada tanggal 13 Juli 1945. Materi pembahasan sudah fokus pada sistematika penulisan, dan beberapa istilah dan kalimat yang masih belum sepakat. Dengan beberapa penyempurnaan, sidang membentuk Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Djajadiningrat, Agoes Salim dan Soepomo.

Rapat BPUPKI berlanjut pada tanggal 14 Juli 1945, dengan agenda pembicaraan tentang pernyataan kemerdekaan, hal ini merespon keinginan anggota agar Indonesia Merdeka selekas-lekasnya. Konsepsi pernyataan kemerdekaan dapat tersusun, tapi tidak pernah digunakan karena saat menyatakan kemerdekaan tersusun teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan kalimat pendek tapi tegas maksudnya. Rapat dilanjutkan tanggal 15 Juli 1945 dengan agenda lanjutan pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar. Dengan sangat intensif dan demokratis setiap anggota memberi pandangan dan usul-usul untuk penyempurnaan rancangan Undang-Undang Dasar hasil Panitia Perancang Hukum Dasar. Jika diikuti dialog pembahasan yang berlangsung saat itu, sungguh sangat luar biasa pengetahuan dan semangat anggota BPUPKI untuk mengerucut kepada kesepakatan bersama. Dengan argumentasi pembahasan tiap Pasal atau ayat, memberi pengetahuan bagi bangsa Indonesia bagimana jalan pikiran dan historis penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Pokok-pokok pikiran yang menjiwai Pembukaan UUD 1945 dengan rinci diungkapkan oleh Soekarno dan Soepomo. Hal-hal yang belum sepakat sebelumnya kembali mengemuka dan berupaya untuk menemukan kompromi yang tulus demi untuk kesatuan dan keutuhan perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Sidang lanjutan tanggal 16 Juli 1945 kembali musyawarah mencari kesepakatan tentang hal-hal yang masih “mengganjal”, dan tentang perubahan beberapa Pasal untuk mendapatkan kesepakatan untuk diterima.

NKRI KESEPAKATAN FINAL

Perang Dunia II di Pasifik bergerak sangat cepat, serangan balik Sekutu terhadap pasukan Jepang semakin mendekati Jepang dalam arti Pihak Jepang di depan pintu kekalahan. Setelah BPUPKI dibubarkan, dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 1945 dengan Soekarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta wakil ketua dengan 19 orang anggota, kemudian ditambah 6 orang anggota. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, momentum ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pejuang Indonesia untuk merdeka dengan mengikrarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca kemerdekaan Indonesia, PPKI langsung melakukan Sidang Pertama pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan agenda mensyahkan Rancangan UUD 1945, memilih Presiden dan Wakli Presiden, serta mensyahkan isi (Batang Tubuh) Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka. Soekarno membuka sidang pada jam 11.30 dan diawali dengan laporan Muhammad Hatta atas hasil pembicaraan untuk beberapa materi yang masih “mengganjal” dalam sidang BPUPKI.

Menurut laporan Muhammad Hatta, atas dasar kesepakatan dari berbagai pihak anggota PPKI, terdapat perubahan-perubahan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka, seperti: kata “hukum dasar” diganti dengan “Undang-Undang Dasar”, kata “menurut dasar” sebelum kata “kemanusiaan yang adil dan beradab” dihilangkan, dan kalimat “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sesudah kata berdasar kepada “Ketuhanan” dihilangkan dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan selanjutnya antara lain adalah kata “yang beragama Islam” sesudah kalimat  Presiden ialah orang Indonesia Asli dalam Pasal 6 ayat (1) dihilangkan. Kalimat dalam Pasal 4 ayat (2) tentang Wakil-Wakil Presiden, dirobah menjadi Wakil Presiden (Wakil Presiden hanya satu). Secara keseluruhan perubahan yang terdapat dalam Preambule dibacakan oleh Muhammad Hatta dengan perlahan-lahan. Dengan perubahan-perubahan tersebut dibuka kesempatan kepada para anggota untuk memberi tanggapan, dan setelah musyawarah diperoleh mufakat, naskah terakhir dari Pembukaan Undang-Undang Dasar dibacakan oleh kertua sidang Soekarno dan mendapat persetujuan dari seluruh anggota sidang.

Agenda sidang selanjutnya pada hari yang sama adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden serta Pengesahan Naskah Isi (Batang Tubuh) Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan Aturan peralihan dalam PasaI III menegaskan bahwa untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI. Presiden minta agar dibagikan kartu pemilihan (stembiljet), namun secara spontan Oto Iskandardinata usul agar penyelenggaraan Pemilihan Presiden dilakukan dengan aklamasi dan memajukan calon Bung Karno (Ir Soekarno). Bung Karno menyampaikan terimakasih atas kepercayaan sidang, dan semua anggota berdiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan diikuti dengan seruan “Hidup Bung Karno 3 x”. Hal yang sama berlangsung bagi Wakil Presiden Muhammad Hatta dengan aklamasi disetujui oleh sidang, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan diikuti dengan seruan “Hidup Bung Hatta 3 x”. Acara dilanjutkan untuk pengesahan naskah isi Undang-Undang Dasar, dan dengan beberapa perubahan diselaraskan dengan perubahan dalam naskah Pembukaan, akhirnya seluruh naskah Undang-Undang Dasar dapat disertujui secara aklamasi yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Jika kita telusuri sejarah berdirinya NKRI, dapat dipahami bahwa dengan semangat juang dan dukungan hati yang tulus dan ihklas telah tumbuh dan berkembang sebuah kekuatan bangsa Indonesia untuk merdeka dan berdaulat melalui proses demokrasi yang menjungjung tinggi prinsip musyawarah mufakat yang dinamis, berkualitas, beretika, penuh toleransi dan berkeadaban. Dengan memahami sejarah suka duka perjuangan bangsa Indonesia terbentuknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai kesepakatan final, diharapkan dapat menimbulkan rasa bangga, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab sebagai generasi penerus dan sebagai warga negara Indonesia yang akan menjadi ciri dari rasa Cita Tanah Air dalam mengawali tumbuhnya kesadaran bela negara untuk ikut serta menjaga, membangun dan menjamin kelangsungan hidup NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menuju terwujudnya cita-cita luhur bangsa Indonesia. Semoga bermanfaat.

(Kampus IPB Darmaga Bogor, akhir September 2019)

Editor: Sarono PS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *