SWARNANEWS.CO.ID, PADANG | Kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, telah membuka sisi lain tentang bagaimana kegigihan dan tradisi merantau orang Minang hingga ke ujung negeri.
Berdasarkan data yang dihimpun Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menyebutkan terdapat sekitar 1.500 warga Minang di kota yang terletak di Lembah Baliem dan dialiri sungai Baliem serta diapit Pegunungan Jayawijaya itu.
Memang selama ini merantau lazimnya dilakukan dari desa ke kota besar, seperti dari Sumatera Barat ke Batam, Jakarta hingga Surabaya.
Namun ternyata di Wamena yang berada di pegunungan tengah Papua dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut, berjarak 4.289 kilometer dari Padang jika ditarik garis lurus di peta pun, ditempuh orang Minang sebagai daerah tujuan rantau.
Jarak itu bahkan lebih jauh dari perjalanan dari Padang ke Tiongkok yang hanya 4.109 kilometer.
Jika menggunakan pesawat udara perjalanan dari Padang ke Wamena menempuh waktu paling cepat 16 jam, termasuk waktu tunggu, dengan dua kali transit, yaitu dari Padang ke Jakarta, Jakarta ke Jayapura dan Jayapura ke Wamena.
Perjalanan udara dari Padang ke Jakarta memakan waktu 1 jam 40 menit dilanjutkan dengan Jakarta-Jayapura 5 jam 15 menit dan terakhir dari Jayapura ke Wamena 1 jam perjalanan.
Untuk harga tiket berdasarkan pengecekan di salah satu situs penyedia mulai dari Rp4,1 juta.
Sedangkan jika menempuh jalan darat maka dari Padang ke Jakarta naik bus akan memakan waktu sekitar 30 jam. Kemudian bisa dilanjutkan dengan kereta api menuju Surabaya dengan lama perjalanan 12 jam.
Setelah itu perjalan disambung dengan menaiki kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju Jayapura selama lima hari.
Mungkin ada yang bertanya apa alasan orang Minang mau meninggalkan kampung halaman untuk menjejakkan kaki ke daerah lain demi penghidupan yang lebih baik, kendati jauh sekali pun.
Salah satu jawabannya adalah pepatah Minang yang terkenal soal merantau, yaitu “ka ratau madang di hulu, ba buah ba bungo balun, marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun”.
Pepatah tersebut bermakna setiap anak lelaki di Minangkabau dianjurkan pergi merantau untuk mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kehidupan yang lebih baik, karena ketika muda belum bisa berkontribusi dalam membangun kampung.
Kemudian setelah berhasil di rantau maka diwajibkan pulang untuk membangun kampung halaman.
Hal itu menjadikan merantau sebagai tradisi sehingga jumlah warga Minang yang ada di perantauan jauh lebih besar ketimbang yang ada di Sumbar.
Sejalan dengan itu Sosiolog Mochtar Naim dalam bukunya Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau menjelaskan merantau pada Suku Minang telah melembaga dan jadi bagian kehidupan pribadi dan sosial.
Karena itu hampir bisa dipastikan pada semua daerah di Tanah Air ada orang Minang yang merantau sebagaimana bisa menjumpai rumah makan Padang di mana pun.
Menurut Mochtar, makna merantau mengandung enam unsur, yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu lama atau tidak, dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya dengan maksud kembali pulang, dan merantau telah menjadi lembaga sosial yang membudaya.
Salah satu ciri khas perantau Minang adalah ketika sudah sukses di perantauan tetap memiliki ikatan batin, kepedulian dan kecintaan terhadap kampung halaman.
Ini tergambar dalam pepatah setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan juga. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman terbayang jua.
Faktor Pendorong
Sementara ekonom dari Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Werry Darta Taifur mengemukakan dalam merantau ada dua faktor yang berperan, yaitu pendorong dan penarik.
“Faktor pendorongnya adalah sulitnya lapangan pekerjaan di kampung sehingga orang memilih bekerja di daerah lain,” kata dia.
Ia melihat pola perantau Minang di Wamena didominasi oleh warga asal Kabupaten Pesisir Selatan.
“Jadi ketika sudah ada yang sukses maka akan menarik keluarga yang masih di kampung untuk turut merantau, artinya ini adalah jalur keluarga,” ujarnya.
Terkait pilihan daerah untuk merantau ia melihat tidak harus di kota besar dan selagi kondisinya lebih baik dibanding kampung akan dijalani.
Ia melihat Wamena merupakan daerah baru yang sedang berkembang dan pada sisi lain faktor transportasi yang kian baik mendorong orang Minang merantau ke sana kendati jauh.
“Sekarang kalau pakai pesawat pesawat udara paling lama 12 jam sudah sampai,” katanya.
Werry menceritakan salah seorang warga Minang yang tewas di Wamena atas nama Yoga Nurdin Yakop sebelumnya merupakan imam dan guru mengaji di Masjid Raya Andalas Padang tempat ia bermukim.
Sebelum ke Wamena dua tahun lalu, Yoga pamit kepada dirinya untuk berangkat mengikuti pamannya yang sudah mempunyai usaha dagang di sana.
Werry mendapat cerita Yoga senang berada di Wamena dan usaha pamannya berkembang, bahkan dalam waktu dekat akan berdiri sendiri.
Tidak hanya itu dari pengurus masjid ia mendapat cerita bahwa Yoga mengirim infak yang cukup besar pada bulan Ramadhan 1440 Hijriah sebagai indikasi keberhasilan di Wamena.
Solusi
Berdasarkan data yang dihimpun dari Pemprov Sumbar, setelah kerusuhan yang terjadi di Wamena sekitar 700 warga Minang memilih pulang ke kampung halamannya.
Namun Sosiolog dari Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Elfitra menilai pemulangan warga Minang yang menjadi korban kerusuhan di Wamena bukan solusi yang tepat karena yang lebih penting adalah menjamin keamanan warga.
“Yang terpenting adalah bagaimana pihak keamanan dan pemerintah setempat menjamin keselamatan warga, apalagi Wamena masih bagian dari Indonesia dan memiliki kewarganegaraan yang sama,” kata dia.
Menurutnya perantau Minang di Indonesia bagian timur sudah ada yang menetap beberapa generasi serta lahir di sana hingga menganggap Papua sebagai kampung mereka.
“Pemerintah harus membuat sejumlah pilihan, tidak mutlak harus dipulangkan semua, tetapi bagi yang ingin kembali ke kampung halaman tentu difasilitasi,” ujarnya.
Ia menilai pelaku kerusuhan diduga bukan warga setempat dan yang jadi korban bukan hanya pendatang saja.
Terkait dengan fenomena merantau warga Minang dari Sumatera Barat hingga ke Wamena, Papua, ia melihat hal ini terjadi karena daerah rantau di kota besar sudah mengalami kejenuhan ekonomi.
“Idealnya kan merantau itu dari desa ke kota, akan tetapi jika di kota persaingan sudah ketat dan ruang usaha kian menyempit akhirnya banyak yang memilih ke daerah lain yang sedang berkembang,” ujarnya.
Ia menilai pilihan masyarakat dalam memutuskan daerah tujuan rantau salah satunya adalah daerah yang dianggap berkembang dan memiliki potensi yang bagus.
Apalagi pada akhir Orde Baru kebijakan pembangunan mengarah pada Indonesia timur sehingga daerah tersebut menjadi salah satu tujuan perantauan warga Minang, ujarnya.
Ia mengemukakan karena pesatnya perkembangan menyebabkan daerah Indonesia timur menjadi pilihan bagi orang Minang untuk merantau.
“Di Papua, contohnya, karena keandalan menjembatani kebutuhan masyarakat akhirnya perantau Minang bisa eksis di sana,” katanya.
Ia menambahkan kendati ada perbedaan budaya, etnis dan agama tapi karena perkembangan ekonomi bagus itu yang menjadi pertimbangan. (*)
Teks: antara
Editor: maya