SWARNANEWS.CO.ID, JAKARTA | Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO) di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, secara dramatis masyarakat telah mengubah pola pangan, sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi, dan bertambahnya pendapatan.
“Kita telah beralih dari pangan musiman, terutama produk nabati yang kaya serat, pada makanan yang kaya akan pati, gula, lemak, garam, makanan olahan, daging, dan produk hewani lainnya,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard saat menyambut Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food (Day WFD) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober.
Stephen Rudgard menyebutkan bahwa waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makanan di rumah kini kian sempit. Konsumen, terutama di daerah perkotaan, semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima dan makanan pesan antar.
Akibat kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat serta gaya hidup yang kurang aktif itu, kemudian menjadi faktor risiko pembunuh nomor satu di dunia.
Kebiasaan ini telah membuat angka obesitas melonjak, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara-negara berpendapatan rendah, di mana kekurangan dan kelebihan gizi sering terjadi bersamaan.
Saat ini, lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5–19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak balita kelebihan berat badan, sementara lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan.
Sedangkan Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Kuntoro Boga menambahkan di Indonesia sebanyak 30,8 persen anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2 persen anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8 persen mengalami obesitas.
Terkait pentingnya pangan nabati, FAO dengan badan-badan PBB lainnya dan kementerian terkait akan merayakan HPS 2019 dalam serangkaian acara, termasuk perayaan nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada 2-5 November.
Sedangkan Festival Kaki Lima Jakarta dengan tema “Pangan Sehat, Siap Santap” akan diselenggarakan pada 10 November mendatang.
Untuk tingkat nasional di Indonesia tema yang diusung adalah “Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045”.
Sedangkan tema global HPS 2019 :Tindakan Kita Adalah Masa Depan Kita. Pola Pangan sehat, untuk #Zerohunger”
HPS yang dirayakan setiap tahun dan bertepatan pada hari lahir FAO itu, dan diadakan pada lebih dari 150 negara yang menyatukan pemerintah, sektor bisnis, LSM, media, komunitas itu, untuk Tahun 2019 menyerukan aksi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/(SDGs)2-Zero Hunger (Tanpa Kelaparan).
Selain itu, juga menyerukan aksi untuk membuat pola pangan sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang.
Ia menyebut bahwa untuk itu semua, kata kunci “kemitraan” adalah hal mendasar, di mana semua pemangku kepentingan terkait, mulai dari petani, pemerintah, peneliti, sektor swasta dan konsumen, semua memiliki peran untuk berkontribusi.
Masih terabaikan
Pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Clara M Kusharto1 dalam Jurnal Gizi dan Pangan (November:2016) bertajuk “Serat Makanan dan Peranannya Bagi Kesehatan” menyatakan dibandingkan dengan protein, lemak dan karbohidrat selama ini pembahasan mengenai serat makanan seringkali terabaikan.
Menurut dia, serat termasuk bagian dari makanan yang tidak mudah diserap dan sumbangan gizinya dapat diabaikan, namun serat makanan sebenarnya mempunyai fungsi penting yang tidak tergantikan oleh zat lainnya.
Merujuk pada penelitian Ranakusuma (1990), ia menyebutkan bahwa serat makanan juga berguna mengurangi asupan kalori. Diet seimbang rendah kalori disertai diet tinggi serat bermanfaat sebagai strategi menghadapi obesitas.
Clara menyatakan dalam ilmu gizi, serat sayuran dan buah yang kita makan disebut serat kasar (crude fiber). Selain serat kasar, terdapat juga serat makanan yang tidak hanya terdapat pada sayur dan buah, tetapi juga ada dalam makanan lain, misalnya beras, kentang, kacang-kacangan dan umbi-umbian.
Serat dalam makanan, katanya, lazim disebut sebagai “dietary fiber” yang sangat baik untuk kesehatan manusia.
Serat makanan ini semakin mendapat perhatian sejak Tahun 1970-an, yaitu sejak kelompok peneliti Burkitt et al. (1972) dan Trowel (1972) memelopori penelitian serat dengan pendekatan epidemiologi.
Hasil penemuannya menunjukkan bahwa pada masyarakat dengan “western diet” yang umumnya rendah serat, banyak ditemukan orang yang mengidap berbagai penyakit, seperti “diverticulitis”, kanker kolon, atherosklerosis, “coronary heart disease”, diabetes mellitus (kencing manis) dan appendicitis.
Program Opal
Menurut Kuntoro Boga, Kementan memberikan perhatian khusus soal tersebut dengan sebuah program untuk mendorong pemenuhan kebutuhan pangan nasional pada skala terkecil rumah tangga dengan nama Obor Pangan Lestari (Opal).
Ia menyebut hal itu sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah kekerdilan yang terjadi di Indonesia.
Opal juga dirancang untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan akses pangan keluarga, konservasi sumber daya genetik lokal dan mengurangi jejak karbon serta emisi gas pencemar udara.
Dikemukakannyan bahwa pola pangan sehat adalah pola pangan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit.
Termasuk di dalamnya adalah buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak — terutama lemak jenuh– gula dan garam.
Makanan bergizi yang merupakan pola pangan sehat hampir tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang. Hampir satu dari tiga orang mengalami kekurangan atau kelebihan gizi.
Berita baiknya adalah ada solusi yang terjangkau untuk mengurangi semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi tersebut, tetapi hal ini membutuhkan komitmen dan tindakan global yang lebih besar.
“Program Opal memiliki kerangka jangka panjang untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan keluarga yang beragam, seimbang dan aman (B2SA),” katanya. menambahkan.
Opal juga dirancang sebagai salah satu langkah konkret pemerintah dalam mengintensifkan peta ketahanan dan kerentanan pangan atau food security and vulnerability atlas (SFVA).
Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan yang sekaligus Mentan Amran Sulaiman menyatakan ketahanan pangan dan gizi merupakan satu kesatuan konsep dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas.
Karena itu, pembangunan pangan harus seiring dengan upaya pemenuhan konsumsi gizi mayarakat berdasarkan kaidah B2SA.
Implementasinya merupakan rangkaian kegiatan lintas sektor, mulai dari penyiapan infrastruktur dan faktor produksi pangan; proses produksi dan pengolahan; distribusi, pemasaran, dan perdagangan; sampai pada pemberdayaan dan peningkatan kesadaran masyarakat, akan perlunya konsumsi pangan dengan prinsip B2SA.
Sementara Stephen Rudgard menegaskan mencapai “Tanpa Kelaparan” tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi.
Karena itulah, HPS 2019 menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan, dan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang dengan substansi “Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,”. (*)
Teks: antara
Editor: maya