Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd.
(Anggota Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’)
SWARNANEWS.CO.ID, |Baru saja kita lewati Oktober, bulan kesepuluh yang menandai bahwa akhir tahun, mau tak mau akan kita jelang. Tentu ada rasa bahagia yang menyeruak bagi masyarakat Indonesia, bahwa pada bulan oktober 2019, konstelasi politik yang beberapa tahun terakhir identik dengan kompetisi petahana maupun oposisi – yang tak jarang juga menyenggol isu-isu SARA, akhirnya guyub dalam sebuah koalisi. Meski intrik-intrik seputar politik kebangsaan tidak menutup kemungkinan untuk selalu memberi kejutan-kejutan, semestinya hal itu tidak sampai membuat kita justru “membuang” nasionalisme yang telah menjadi fondasi, rancang bangun, hingga atap yang menaungi eksistensi bangsa ini : termasuk dalam bidang politik. Entah sebuah kebetulan, ataukah juga tidak, perkembangan terbaru politik internal bangsa ini seolah melengkapi rangkaian dari “kesakralan” bulan Oktober : tanggal 1 diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, tanggal 5 merupakan hari lahirnya TNI, serta hari ke-28 adalah momentum Sumpah Pemuda.
Tetapi bulan Oktober juga akan mengingatkan kita pada sosok besar negeri ini. Dalam antologi Palembang dari Waktoe ke Waktu karangan Rd. Muh. Ikhsan, akademisi sekaligus pemerhati sejarah itu, menuliskan dalam salah satu artikelnya tentang sebuah jalan di kota Palembang yang “menyaksikan” saat-saat terjadi Pertempuran 5 Hari 5 Malam di awal Januari 1947, ajang atraksi pawai politik di masa-masa menjelang runtuhnya Orde Lama, pawai pembangunan Orde Baru pada setiap tanggal 18 Agustus, Reformasi 1998, serta saksi atas pergerakan waktu dan senantiasa terus mengiringinya.[1] Apakah nama jalan itu di masa kini ? Ialah Jalan Jenderal Sudirman. Siapa yang tak kenal nama ‘Jenderal Sudirman’ ? Banyak sekali penamaan jalan yang tersebar di seluruh bumi pertiwi mengambil namanya.
Jalan Jenderal Sudirman di kota Palembang mempunyai makna yang tidak sederhana. Pada tahun 1960, koran lokal Obor Rakyat memuat pendapat tentang perlunya ‘retul‘ (penggantian) terhadap nama Jalan Sudirman. Mereka mempertanyakan apakah ‘Jalan Sudirman’ akan membawa ingatan orang-orang tertuju pada Kota Palembang ? Sebagaimana nama ‘Malioboro’ yang mengasosiasikan kota Yogyakarta, ‘Jalan Asia-Afrika’ bagi kota Bandung, ataupun ‘Jalan Goa’ yang identik dengan Makassar ? Sebetulnya nama Jalan Sudirman pada zaman kolonial Belanda bernama khas Palembang, yaitu Jalan Tengkuruk. Suatu nama yang diberikan mengingat jalan tersebut dibangun di atas timbunan Sungai Tengkuruk. Pada masa Pendudukan Jepang, namanya diganti menjadi Jalan Miaji. Kiranya pada pascakolonial, untuk mengingat kenangan kolektif masyarakat Indonesia, jalan ini diberi nama Sudirman, seorang Panglima Besar pertama di Indonesia, bukan dikembalikan pada nama Tengkuruk.[2]
Dalam buku-buku sejarah, termasuk bagi para peserta didik di Indonesia, nama Panglima Besar Sudirman tak lepas dari apa yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1945. Saat itu terjadi pendaratan tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel di Semarang. Meski awalnya disambut dengan baik, kemudian terjadilah insiden bersenjata di Magelang dan meluas menjadi pertempuran ketika tentara Sekutu yang memboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) membebaskan secara sepihak para interniran Belanda di Magelang dan Ambarawa.[3] Potongan teater perang kemerdekaan yang terpenting tak akan pernah melupakan peristiwa yang disebut sebagai “Palagan Ambarawa” sebagai akibat dari perlakuan pihak Sekutu tersebut. Nama Sudirman lalu mulai disebut-sebut dalam dunia kemiliteran awal Indonesia. Ia dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sejak kecil Sudirman diasuh oleh pamannya, Cokrosunaryo, yang menjabat sebagai Asisten Wedana di Bodas Karangjati. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS Purwokerto, ia meneruskan ke MULO Wiworotomo dan tamat pada tahun 1935. Di perguruan inilah ia mendapat pendidikan tentang nasionalisme. Sudirman juga aktif di dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan, yang diasuh Muhammadiyah.[4]
Sudirman adalah sosok yang tidak menarik diri dari keterlibatan aktif dalam masyarakat. Ia yang sangat identik dengan organisasi Muhammadiyah karena berkecimpung di dalamnya, banyak terlibat dalam pengentasan masalah-masalah sosial. Meski ia sempat tidak tamat Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, ia berusaha mengentaskan kebodohan di tengah kalangan bangsa Indonesia dengan menjadi guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. Pada zaman pendudukan Jepang, selain terus giat dalam dunia pendidikan, ia juga mendirikan koperasi untuk menghindarkan rakyat dari bahaya kelaparan, di samping ia menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan Anggota Dewan Pewakilan Rakyat (Syu Sangi Kai) Karesidenan Banyumas. Seolah tak mau berhenti pada bidang pendidikan hingga pangan maupun mewakili rakyat, ia kemudian mengikuti pendidikan ketentaraan dalam Pembela Tanah Air / PETA di Bogor. Selesai pendidikan itu ia diangkat sebagai Komandan Batalyon / Daidanco di Kroya.[5]
Pasca kekalahan Jepang, Sudirman kembali ke Banyumas dan berperan dalam pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Banyumas dengan pula berhasil merebut banyak senjata dari tangan pasukan Jepang. Hampir tak mungkin untuk mengatakan bahwa keberhasilan Sudirman ini adalah seuatu yang “instan”, mengingat pengalaman-pengalaman silamnya yang berkaitan dengan urusan orang banyak. Ketika BKR dirubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sudirman dipilih menjadi Komandan Resimen dan terus menjadi Komandan Divisi V dengan pangkat Kolonel. Mantan Daidancho PETA itu kemudian dipilih sebagai Panglima TKR dalam Konferensi di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945. Ada yang unik dalam dinamika karir Sudirman saat itu. Ia baru secara resmi dilantik pada tanggal 18 Desember 1945, atau dalam masa pemerintahan Kabinet Sjahrir I, resmi ditetapkan sebagai Panglima Besar. Penundaan pelantikan ini, sebagaimana ditulis Petrik Matanasi yang mengutip Anderson (1998), menandakan adanya persaingan dan pertentangan antara pemerintah dan komando tertinggi militer. Tidak mau terlarut dalam kekalutan politik, Sudirman setelah Konferensi TKR di Yogyakarta sempat kembali dahulu kepada induk pasukannya di Kroya dan memimpin pertempuran di Ambarawa.[6]
Perang Ambarawa yang kala itu tengah berlangsung, ada tokoh lainnya yang juga diingat selain nama Sudirman. Sekali lewat penulis menjadi teringat dengan apa yang disampaikan oleh guru dalam mata pelajaran Sejarah masa SD silam, “Kalau pertempuran Ambarawa, ingat dua nama yang hampir sama. Pertama, Sudirman dan yang kedua, Isdiman…” Ternyata kedua tokoh tersebut tidak hanya terikat oleh kebetulan dari penggalan nama mereka yang berakhiran “-man.” Buku Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir merekam ingatan Soedirman Taufik yang sempat menjadi Dewan Penasihat Organisasi Angkatan ’45 Cilacap pada tahun 2012. Ketika Taufik masih duduk di Sekolah Rakyat Kepatihan Cilacap, ia mengingat peristiwa pada akhir tahun 1943, ada dua lelaki berbadan tegap memasuki kelasnya saat mata pelajaran Aljabar berlangsung. Dengan didampingi walikelas bernama Soekarno, kedua orang itu menyampaikan, “Saya Soedirman, dan ini Pak Isdiman. Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nippon. Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.” Sudirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto dalam pertempuran melawan tentara Sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.[7]
Setelah gugurnya Letkol Isdiman, Sudirman memimpin pertempuran melawan pasukan Sekutu di Ambarawa dari tanggal 12 Desember 1945 sampai dengan tanggal 15 Desember 1945. Akhirnya pasukan Sekutu dapat dikalahkan dan dipukul mundur dari Ambarawa ke Semarang. Hal ini berkat strategi perang yang diterapkan oleh Sudirman yang dikenal dengan nama “Supit Udang.” Keberhasilan itu melejitkan nama Sudirman sebagai pemimpin yang kharismatik dan berwibawa. Dengan prestasi inilah maka pada tanggal 18 Desember 1945, pemerintah melantik Sudirman menjadi Panglima Besar TKR.[8] Sang Panglima Besar pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus mengawal keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru saja lahir. Penulis tidak akan menguraikan lebih jauh secara detil-kronologis karir beliau pada tahun-tahun berikutnya, karena sudah barang tentu kajian serupa dapat dengan mudah ditemukan dalam karya-karya tulis yang lebih komprehensif dan tersebar pada sumber-sumber cetak maupun internet. Namun ada potongan-potongan kisah yang cukup bermakna bagi kita yang mencermatinya di masa sekarang.
Suatu kisah yang mungkin akan membuat kita tersentuh tatkala mendengar nama Jenderal Sudirman, adalah sakit yang diderita beliau selama berjuang. Tahun 1948 kesehatan Panglima Besar semakin menurun karena telah lama menderita sakit yang terjadi pada paru-parunya. Sejak tanggal 28 Oktober 1948 beliau mulai diopname di RS. Panti Rapih, tidaklah mudah memperoleh obat di masa itu. Sadar akan arti pentingnya sosok Soedirman, dan didorong pula oleh pengabdian kemanusiaan, tim medis yang terdiri dari dr. Soewondo (dokter pribadi beliau), dr. Sim Ki Ay, dr. Piccauly (ahli bedah) dan Prof. Asikin ahli penyakit dalam, sepakat untuk melakukan operasi phrencus-excirese, yang mengistirahatkan salah satu paru-paru beliau, operasi dilaksanakan pada 4 November 1948 dengan hasil baik.[9] Dengan kata lain, setelah operasi tersebut, Panglima Besar Sudirman hanya memiliki satu paru saja untuk bernafas. Suatu kenyataan yang mungkin akan sangat berat bagi kebanyakan orang apabila harus mengalami keadaan serupa.
Berbicara mengenai paru-paru, Indonesia dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia karena luas hutannya yang penting dalam menghasilkan oksigen. Hutan rimbun yang ada di negeri ini, kebanyakan tersebar di Pulau Sumatera maupun Kalimantan. Alangkah mengejutkannya pemberitaan yang dimuat iNews.id tanggal 16 September lalu di mana Kapolri yang kala itu dijabat Jend. Tito Karnavian mengungkapkan kejanggalan yang ia lihat setelah melakukan pengamatan dari helikopter terhadap kebakaran hutan di Riau, “Areal yang kebakar hanya hutan saja, sedangkan areal kebun sawit dan tanaman lainnya tidak terbakar. Hal ini merupakan indikasi adanya unsur kesengajaan.” [10] Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) juga terjadi di wilayah lainnya, seperti Sumatera Selatan, dan hal ini bukan merupakan hal baru karena setidaknya memiliki presedensi pada 2015 lalu. Tanpa harus mengacungkan tuduhan-tuduhan pada siapakah kesalahan mesti ditimpakan, seharusnya kita merenung, ke manakah sirnanya penghargaan kita pada Panglima Sudirman, pahlawan bangsa yang teguh berjuang meski hanya dengan satu paru, sedangkan kita malah membakar “paru-paru dunia” (hutan) yang asapnya merusak paru-paru warga negara ini ?!
Terdapat dua cerita lain dari Panglima Besar Sudirman yang begitu relevan untuk dijadikan inspirasi rakyat Indonesia sekarang. Pertama, ialah tentang Panglima Besar yang Tak Pernah Sakit. Dimulai pada Minggu pagi tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II. Panglima Sudirman lalu pergi menemui Presiden Sukarno di Gedung Negara, Yogyakarta, ibukora RI kala itu. Beliau yang bermaksud menanyakan apakah jadi memimpin perang gerilya, tapi Presiden justru menganggap lebih baik berdiplomasi dan meminta Sudirman tetap berada di ibukota sembari berkata, “Dik Dirman kan sedang sakit.” Sudirman pun menjawab, “yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit !.” Sesudah mengatakan itu, ia kembali ke rumah menjemput keluarganya, lantas mulai bergerilya.[11] Sebelum menemui Presiden Sukarno sebenarnya Sudirman telah mengeluarkan perintah kilat yang berisi komando pada jajaran militer untuk melaksanakan Perintah Siasat No.1/48 tanggal 12 Juni 1948. Isi dari perintah itu secara garis besar adalah mengubah sistem pertahanan linear dengan membentuk kantong-kantong gerilya di setiap onderdistrik yang memiliki Pemerintah Gerilya (Wehrkreis) dan bagi pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal untuk berwingate (menyusup ke belakang garis musuh) guna membentuk kantong-kantong (gerilya) sehingga seluruh Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Dapat kiranya kita baca cerita di atas bagaimana Sudirman amat insyaf atas dua “dimensi” penting dalam eksistensi dirinya. Pertama ialah dirinya sebagai Sudirman secara pribadi dan yang kedua adalah tugas profesionalnya sebagai panglima angkatan perang. Tak hanya mengabaikan rasa sakitnya, beliaupun telah menggagaskan konsep pertahanan yang cemerlang yang kelak menjadi andil dari kemenangan RI atas Belanda. Taktik Wehrkreis yang mengganti sistem linear untuk membuat Jawa sebagai medan gerilya yang luas, memiliki arti bahwa perjuangan tentara tidaklah menjauh dari rakyat namun justru berada di tengah rakyat itu sendiri untuk melawan musuh bersama. Bisa kita maknai di sini, di luar konteks peperangan, taktik Panglima Besar mengajarkan kita untuk tak jauh dari rakyat, mengenal apa yang dibutuhkan masyarakat, serta bersama-sama mengentaskan permasalahan bangsa.
Keteladanan atas Panglima Besar tersebut dicontohkan atau terproyeksikan dalam Seleksi Mawapres Unsri 2019 bulan April lalu. Dewan juri memenangkan gagasan-gagasan berbasis kebutuhan masyarakat seperti Pengelolaan Limbah Plastik Polythylene pada Membran Keramik Berbasis Zeolit dan Clay sebagai Pengelolaan Air Limbah Laundry.[12] Untuk juara II dan III pun dimenangkan oleh karya seputar pendidikan kesehatan dan pengendalian sampah. Gagasan-gagasan pemenang Mawapres Unsri 2019 menunjukkan respon berbasis masalah sosial. Suatu kemajuan berati dibandingkan juara tahun 2013 yang mengusung ide pembuatan “Pop-Up Book” tapi zonder apek komprehensif pada pengkajian sumber-sumber literasi. Pun juga karya pemenang tahun 2014 yang katanya berbasis kemajuan teknologi yakni “Cerita Rakyat di Instagram” (CITRAGRAM), isi dari ide ini cenderung membangun cara berpikir ilusif melalui dongeng dan mitos, bukan menumbuhkan nalar berbasis realitas sosial. Ironisnya, ketika publik digemparkan oleh oknum Mahasiswa/i Unsri yang menjadi simpatisan ISIS, gagasan pemenang Mawapres Unsri 2015 malah hanya berbicara tentang pembuatan aplikasi / program Skripsi Online ?! Demikianlah intelektualitas tak bisa hanya jadi “pemuas pribadi”, namun mesti bernilai kontributif yang luas.
Cerita kedua, dan yang terakhir di sini adalah ketika Panglima Besar Sudirman melakukan gerilya di luar kota Yogyakarta. Majalah Sabili dalam edisi khususnya, Sejarah Emas Muslim Indonesia, tahun 2003 mengungkap kisah menarik mengenai Sudirman yang dijuluki “Panglima Salih”. Majalah tersebut memang mempunyai kecenderungan pandangan “Islam-Sentris”, tetapi kajiannya masih menarik untuk diulas. Dikatakan bahwa Jenderal Sudirman pernah mengedarkan pamflet yang berisi seruan agar seluruh rakyat dan tentara terus berjuang melawan Belanda sembari mengutip hadits Nabi, “Isjaflah ! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinja berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.” Meskipun begitu, Sudirman bukanlah tokoh yang “gila perang” atau menyetujui gagasan “obral nyawa.” Buktinya ialah, sebagaimana ditulis dalam majalah tersebut :
“…Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal di dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Sudirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya membombardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus da’i ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam…”[13]
Ulasan penulis dalam majalah ini juga terbilang menarik dengan mengaitkan antara hijrah Rasulullah dan taktik gerilya Sudirman. Tentu yang dilakukan beliau bukanlah karena rasa takut dan pengecut, melainkan sebuah cara agar keberlangsungan perjuangan melawan Belanda tetap terjaga. Beliau memberikan contoh secara benar tentang bagaimana sebenarnya perjuangan dijalankan. Bisa saja sang Panglima Besar tidak melaksanakan itu semua dan menjadi korban pengeboman Belanda agar namanya dikenang sebagai martir, apalagi beliau adalah Muslim yang tentu mengetahui keutamaan mati “Syahid.” Alih-alih menyetujui cara-cara destruktif tersebut, Sudirman justru memilih untuk memedomani sejarah Islam serta mengambil manfaat serta maslahat darinya. Maka dengan sejarah itu, apakah dapat dibenarkan jika di era sekarang, perjuangan mengemukakan pendapat (demonstrasi) malah dijalankan dengan anarkhisme-vandalisme yang merugikan persaudaraan bangsa ini ?
Kata “hijrah” pada kisah di atas juga patut dicermati. Hijrah di masa kini kerap dikaitkan dengan proses spiritual menuju keislaman yang lebih baik. Namun sayangnya stereotip yang terbentuk kebanyakan adalah merubah cara berpakaian semata menjadi seperti “ke-Arab-an.” Panglima Sudirman yang dekat dengan gerakan Islam Muhammadiyah, yang dalam kisah di atas turut dipuji nilai spiritualnya, toh tidak identik dengan pakaian gamis maupun surban atau kopiah. Dokumentasi-dokumentasi foto menunjukkan bahwa beliau pun sering memakai blangkon khas Jawa lengkap dengan keris yang diselipkan pada bagian depan perutnya. Ia menunjukkan cara ber-Islam dalam Keindonesiaan, dan tidak mengabaikan nilai-nilai bangsa dalam menjalankan keislaman.
Sebagai penutup, kisah Panglima Sudirman merupakan “Jalan” penuh makna agar namanya tidak hanya terpancang di ruas-ruas jalan kota. Nama beliau pun mengajak agar perjalanan waktu tidak sebatas pergantian bulan ke bulan dalam kalender kita. Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah “Jalan” bagi peri kehidupan berbangsa Indonesia, termasuk bagi wong Palembang yang di kotanya terdapat sebuah jalan raya untuk mengenang beliau. Ia adalah Jenderal yang “tak pernah sakit”, karena sosoknya akan selalu hidup menghiasi sanubari bangsa dengan selaksa teladan keberanian, kesetiaan, dan kecerdasan dalam bingkai kepedulian pada sesama !
Editor: Sarono PS