SWARNANEWS.CO.ID, JAKARTA, 12/12 /2019 | Panitia seleksi (Pansel) hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggali pemahaman Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum Widodo Ekatjahjana soal Pancasila sebagai sumber hukum.
“Pancasila sebagai dasar negara, sumber dari segala sumber hukum ya?” tanya anggota Pansel Eddy OS Hiariej di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis.
Tanya jawab itu berlangsung dalam tes wawancara terbuka untuk 8 orang calon hakim konstitusi untuk mencari pengganti hakim konstitusi perwakilan pemerintah I Dewa Gede Palguna yang akan berakhir masa jabatannya pada 7 Januari 2020.
“Beda kedudukannya, jadi ada kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara,” jawab Widodo.
“Dalam konteks hukum pidana kita kenal unifikasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana dari Sabang sampai Merauke sama tapi dalam konteks perdata berlaku perdata adat, perdata Eropa dan perdata Islam, perdata Islam berdasarkan Alquran dan hadis, kalau Pancasila sumber segala hukum bukankan Alquran dan hadis berarti tunduk kepada Pancasila?” tanya Eddy.
“Maksud saya sumber dari segala sumber hukum adalah sumber dari segala sumber hukum negara berdasarkan TAP MPRS No 25/1966 bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara menimbulkan perdebatan apakah benar hukum-hukum agama dari kitab suci yang diakui hukum kita berasal dari Pancasila? Tapi pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sudah menyatakan Pancasila bukan lagi sumber dari segala sumber hukum tapi sumber segala sumber hukum negara yang memisahkan hukum agama dan hukum negara jadi clear,” jawab Widodo.
“Kalau disebut MK adalah ‘the guardian of constitution’, ketika ada UU diuji lalu ada penemuan hukum kemudian membuat yurisprudensi artinya hakim tidak boleh keluar dari batasan hukum yang ditentukan UU tapi ada aliran kedua penafsiran dan pembentukan hukum terpisah jadi pembentuk UU hanya menjadi ‘guidance’ dalam menafisirkan hukum, sebagai ‘guardian of constituon’, anda akan mengacu ke aliran mana?” tanya Eddy.
“Dua pandangan dalam sejarah MK juga kalau kita cermati putusan-putusannya banyak diskusi mengenai pendekatan hakim hanya sebagai corong UU atau hakim harus kreatif dan progresif mengejar keadilan substansial maka pilihan saya bukankah juga dalam azas-azas hukum acara MK ada azas yang mengatur bahwa para hakim juga menggali nilai-nilai keadilan dan hukum maka hakim harus keluar hanya sebagai corong UU, jadi hakim harus menemukan keadilan yang substansial,” jawab Widodo.
“Lantas bagaimana bila ada orang yang mengatakan amandemen UUD 1945 sudah menyimpang dari Pancasila karena hilangnya MPR sebagai lembaga tertinggi padahal perubahan UUD 45 memunculkan MK dan MK mengurangi kewenangan MPR?” tanya ketua pansel Harjono.
“Saya kira perubahan berdasarkan konstitusi tidak tepat dikatakan menyimpang karena di pembukaan UUD 1945 tetap sama dan kita keliru sekali bila disebut perubahan UUD 1945 sebagai kemunduran,” ungkap Widodo.
Namun untuk mencegah ketidaksepahaman di masyarakat mengenai fungsi Pancasila, Widodo menilai MK harus membuat tafsir yang jelas.
“Jangan dibiarkan tafsir Pancasila berkembang macam-macam di masyarakat karena MK tidak mengambil keputusan yang tetap, kalau ada orang yang menyerang orang lain karena menyebut demi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tugas MK membenarkan, jangan sampai tafsir bebas lepas,” jelas Widodo.
Pansel MK sudah melakukan tes wawancara kepada 5 orang calon hakim konstitusi pada 11 Desember 2019 yaitu Benediktus Hesto Cipto Handoyo, Bernard L Tanya, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Ida Budiarti dan Suparman Marzuki.
Sedangkan pada 12 Desember 2019 pansel menguji Widodo Ekatjahjana, Umbu Rauta dan Yudi Kristiana.
Pansel akan memberikan 3 nama terakhir kepada Presiden Joko Widodo pada 18 Desember 2019 dan selanjutnya Presiden akan memilih 1 nama. Tiga nama tersebut dipertimbangkan dari hasil wawancara, tes kesehatan serta berbagai data dari KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial.
Teks/Editor : Antara/Asih