Pilkada di Pusaran Keluarga Pejabat dalam Pandangan Etika Politik

Oleh : Kurnia Saleh., SH
(Advokat Muda/Akademisi Hukum Kenegaraan/Mahasiswa S2 Ilmu Hukum FH Universitas Sriwijaya)

 

Menguji Prinsip “Suara Rakyat Suara Tuhan”

Pemilihan Kepala Daerah merupakan manifestasi sistem demokrasi yang dianut di bangsa ini. Meletakkan suara rakyat sebagai basis epistemologis kekuasaan adalah wujud bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Tak ayal jika adagium vox pupulis vox dei atau suara rakyat suara tuhan muncul kepermukaan dalam melambangkan kesucian dan superioritas suara rakyat sebagai wujud suara tuhan. Dewasa ini cita suara rakyat suara tuhan nampaknya perlu dievaluasi kembali. Dalam konteks ketika rakyat tidak menggunakan nalar politik dan nuraninya dalam memilih, tetapi menggunakan nalar politik uang dan kekuasaan yang disuguhkan para kontestan. Lebih daripada itu, dalam prakteknya peran kekuasaan juga mempengaruhi arah mana suara rakyat akan berlabuh. Apalagi kontestan berasal dari lingkaran keluarga pejabat. Prinsip suara terbanyak secara hukum merupakan penentu terpilihnya calon pada pilkada. Tetapi suara terbanyak belum tentu  bernilai baik, jika dihasilkan tidak didasarkan pada pertimbangan nurani dan nalar politik rakyat seutuhnya.

Keluarga Pejabat ikut Pilkada: Perdebatan Hak  Asasi dan Etika

Sampai hari ini dalam hukum positif tidak ada satupun larangan bagi keluarga pejabat untuk terjun dalam kontestasi Pemilu. Bahkan bisa saja, jika larangan tersebut hadir dipastikan akan banyak perdebatan mengenai isu pelanggaran HAM didalamnya. Hukum merupakan turunan dari nilai dan asas, wilayah hukum adalah wilayah yang mengatur apa yang diperintahkan (gebod) yang dilarang (verbod) dan yang dibolehkan (mogen). Secara ringkasnya, hukum mengatur mengenai kaedah benar-salah. Nilai dan asas berasal dari etika, sifatnya prinsip dan substansinya mengatur baik dan buruk. Secara hukum, kontestan pilkada yang berasal dari pusaran keluarga pejabat baik keluarga presiden, wakil presiden, menteri-menteri hingga kepala daerah  dibolehkan secara hukum, tetapi dalam kacamata etika, masih terdapat catatan, diantaranya potensi menggunakan kekuasaan untuk pemenangan calon sangat besar terjadi, apalagi dengan sistem presidensial yang melatakkan kekuasaan eksekutif (red: Presiden) sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan eksekutif meliputi kekuasaan kementerian, kekuasaan eksekutif daerah: gubernur/wakil gubernur, hingga camat, lurah, dan RT/RW berada dibawah naungan Presiden secara struktural. Artinya potensi terlibatnya kekuasaan menganga lebar, dimana sistem struktur jabatan kekuasaan vertikal keatas yang dianut republik ini dapat disalahgunakan, yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi transaksi politik dibawah meja oleh para calon yang posisinya dipusaran kekuasaan.

Realitas Pilkada Hari Ini

Disparitas teori dan praktek terkait cita pemilu demokratis dirasa belum optimal. Rata-rata setiap daerah ditataran provinsi maupun kabupaten/kota ada saja calon yang teridentifikasi berasal dari keluarga elit pejabat. Tak hanya itu, publik seakan sudah menerima jika kemampuan finansial calon adalah modal utama untuk menjadi kontestan pada Pemilukada. Padahal, demi terselenggaranya pemerintahan yang baik diperlukan figur pemimpin yang berkompeten, berkualitas, berintegritas, berkapabilitas, dan kredibilitasnya tidak cacat. Tetapi publik seakan hanya disuguhkan pada faktor popularitas semata, dan minim akses mengetahui faktor kualitas calon, apalagi jika namanya disematkan nama elit pejabat seakan menunjukan ia adalah bagian anggota keluarga elit yang sedikit banyak popularitas calon terbantu. Tidak sampai disitu, potensi keterlibatan kekuasaan sebagai keluarga calon cenderung dapat terjadi, mengingat dalam diri kekuasaan itu menurut Lord Acton cenderung korup, dan jika kekuasaan mutlak dipastikan korup.

Mencari Format Sistem Pengisian Jabatan Kepala Daerah

Untuk menghindari potensi dan pandangan publik  terkait terlibatnya kekuasaan dalam politik praktis. Seyogyanya terdapat ketentuan yang mengatur persyaratan khusus bagi calon yang teridentifikasi sebagai keluarga besar pejabat, hingga konfigurasi dilarangnya keluarga inti pejabat masuk dalam pencalonan. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga kesucian suara rakyat sebagai suara tuhan dan meminimalisir opini buruk publik terhadap kekuasaan. Tentu pada prinsipnya, sebagai harapan bersama jika daerah dipimpin oleh sosok pribadi yang berkompeten, berkualitas, berintegritas, berkapabilitas dan berkredibilitas dan mendapat tempat dihati rakyat.  Artinya negara sebagai penyelenggara pemilu cq pilkada dapat saja memodifikasi ketentuan pengisian jabatan kepala daerah melalui mekanisme persyaratan calon kepala daerah. Jika hanya sebatas pendaftaran dan dukungan parpol sebagaimana ketentuan dalam hukum positif hari ini, maupun dukungan warga bagi calon independen, tidak terlihat ikhtiar negara dalam mengatur hadirnya para calon yang berkompeten. Pilkada hanya akan menjadi tempat bagi mereka yang memiliki pengaruh baik dalam sisi finansial maupun dari sisi keluarga elit. Betul bahwa semua dikembalikan kepada kehendak rakyat, tetapi mekanisme rekrutmen adalah wewenang negara untuk mencari format terbaik yang tetap menjaga nilai dan asas demokrasi, yang bermuara kepada optimalisasi suara rakyat yang sesungguhnya berasal dari nurani rakyat bukan dipengaruhi faktor politik uang maupun politik kekuasaan.

Editor : Sarono PS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *