Oleh Rijlaini, S.Pd, Gr.
Guru SMPN 4 Pemulutan Ogan Ilir Sumatera Selatan
SWARNANEWS.CO.ID Self Blaming (menyalahkan diri sendiri) adalah salah satu bentuk pelecehan emosional pada diri sendiri. Itu memperkuat kekurangan kita, dan melumpuhkan kita bahkan sebelum kita mulai bergerak maju. Menyalahkan diri sendiri pada dasarnya berarti bahwa seseorang memikul tanggung jawab pribadi atas terjadinya suatu peristiwa traumatis seringkali ketika jelas bahwa individu tersebut sebenarnya adalah korban (Kaur & Kaur, 2016).
Self blaming adalah reaksi umum terhadap peristiwa stres dan memiliki efek tertentu pada bagaimana individu beradaptasi. Arah menyalahkan seringkali memiliki implikasi bagi emosi dan perilaku individu selama dan mengikuti situasi yang penuh tekanan. Rasa bersalah dan malu merupakan kumpulan pikiran dan perasaan negatif yang sangat mirip dengan yang merupakan perilaku menyalahkan diri sendiri. Apabila sudah merasa tertekan maka seseorang akan mengalami stress dan berdampak pada emosi negatif seseorang. Tak hanya emosi saja tetapi juga dapat berdampak pada perilaku seseorang. Salah satunya adalah menyalahkan diri sendiri (self blaming).
Menurut Grogan dalam (Damanik, 2018) ketidakpuasan tubuh yang berkelanjutan dapat membuat body shame semakin meningkat. Ketidakpuasan merupakan penilaian dan perasaan negatif individu akan tubuhnya. Semua hal yang tidak ideal dianggap sebagai suatu kekurangan tubuh yang membuat remaja putri merasa malu. Remaja menyadari bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial secara umum, dan berperan dalam penilaian lawan jenis secara khusus (Muhsin, 2014). Usia berpengaruh dalam munculnya penilaian tubuh pada individu dikarenakan pola pikir dalam menyikapinya.
Tubuh merupakan bagian utama dari penampilan fisik yang dapat dilihat dan sangat mudah dinilai oleh diri sendiri bahkan orang lain (Muhsin, 2014). Mempunyai tubuh yang ideal, langsing, tinggi, putih dan mulus merupakan impian semua orang. Membicarakan bentuk tubuh sering menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi remaja. Khususnya ketika masa tumbuh kembang remaja yang mengalami transisi seperti pubertas yang mempengaruhi bentuk tubuh, berat badan, dan penampilannya.
Saat membahas berat badan secara khusus, remaja juga tidak terhindar dari yang namanya obesitas. Kegemukan dan obesitas menjadi satu persoalan kesehatan, tetapi di sisi lain juga menjadi persoalan psikologi sosial (Fauzia & Rahmiaji, 2019). Hal ini bisa terjadi karena di kalangan anak remaja sering terjadi body shaming. Kondisi ini terjadi saat sebagian orang mengomentari bentuk tubuh remaja yang dinilai tidak sesuai dengan standar (khususnya yang berhubungan dengan berat badan). Kebanyakan kasus Body shaming sering terjadi di lingkungan sesama remaja yang belum dewasa pemikiran dan tingkah laku.
Salah satu peristiwa yang sering terjadi pada masyarakat pada zaman sekarang adalah body shaming. Istilah body shaming ditujukan untuk mengejek mereka yang memiliki penampilan fisik yang dinilai cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Contoh body shaming adalah penyebutan dengan gendut, pesek, cungkring, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tampilan fisik (Fauzia & Rahmiaji, 2019).
Body shaming termasuk bullying verbal yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat terutama pada remaja. Saat ini body shaming sering dianggap hal biasa oleh remaja. Remaja merupakan masa peralihan diantara anak dan dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali dikenal dengan fase “mencari jati diri”. Mungkin bagi beberapa orang tindakan body shaming hanya sekadar bercanda, akan tetapi jika dilakukan secara terus menerus tentu akan berdampak pada mental korban karena rasa malu.
Menurut (Sakinah, 2018) Body shaming tidak sekedar terkait fat shaming (bentuk tubuh yang besar) atau skinny shaming (bentuk tubuh terlalu kurus), tapi body shaming juga mencakup segala aspek fisik seseorang yang dapat dilihat oleh orang lain, seperti warna kulit, tinggi badan, dan dilakukan oleh dan terhadap perempuan maupun laki-laki. Tetapi kebanyakan kasus yang terjadi korban body shaming kebanyakan adalah orang yang memiliki tubuh yang gemuk.
Pada keadaan yang sering terjadi, korban body shaming akan menarik diri dari pergaulan atau sosial serta membenci diri mereka sendiri dan orang lain bahkan dampaknya dapat memicu niat untuk mengakhiri hidupnya ataupun mengakhiri hidup orang lain. Seperti kasus di Perumnas Ngembat Asri, ada beberapa kasus dimana teman penulis mengalami body shaming karena tubuhnya yang gemuk, karena adanya ejekan dari temannya yang menyebut dirinya seperti dugong. Ada juga yang dibilang tambah gendut oleh tetangga dan keluarganya pun ikut memberikan komentar yang sama. Dari korban tersebut merasa sakit hati dan sering mengurung diri di kamar, tak hanya itu korban melakukan diet ketat sampai minum obat diet dan setiap hari olahraga dengan keras untuk menurunkan berat badan.
Apabila kondisi body shaming tersebut masih terus berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama, maka akan mempengaruhi harga diri atau self esteem seseorang, hal tersebut akan meningkatkan korban akan menarik diri, menjadikan seseorang rentan terhadap stress dan depresi serta rasa tidak percaya diri sehingga berpengaruh pada perilaku negatif seseorang (Rachmah & Baharuddin, 2019). Emosi negatif pada korban body shaming biasanya adalah dengan menyalahkan diri sendiri (self blaming).
Dalam hal ini peneliti bermaksud melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh korban body shaming terhadap self blaming yang terjadi pada remaja serta peneliti berharap semua orang tidak menganggap remeh body shaming. Karena remaja belum matang dalam berfikir dan tingkah laku. Dampak body shaming dan self blaming dapat menghancurkan seseorang.
Rumusan masalah pada pada artikel adalah apa pengaruh body shaming terhadap self blaming pada remaja.
Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh body shaming terhadap self blaming pada remaja.
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi tolak ukur dalam menentukan sikap terhadap fenomena body shaming dan self blaming yang terjadi di masyarakat terutama pada remaja yang terjadi di lingkungan sekolah sehingga masyarakat umum maupun warga sekolah dapat memberikan perhatian lebih dan mampu menunjang pembentukan mental seseorang yang lebih sehat terhadap remaja.
Body shame merupakan perasaan malu akan salah satu bentuk bagian tubuh ketika penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu (Damanik, 2018). Hal tersebut membuat individu merasa perilaku, kepribadian, aktifitas, pikiran dan perasaan atau emosi menjadi memalukan.
Body shaming merupakan tindakan yang mengomentari atau mengeluarkan pendapat kepada seseorang ataupun diri sendiri mengenai tubuh yang dimilikinya. Kritikan yang diberikan bukan berupa kritikan yang bersifat membangun, melainkan dengan maksud untuk menjatuhkan orang lain atau mempermalukannya melalui kritikan fisik yang dimiliki. Tidak hanya dari orang lain, tapi body shaming juga merupakan tindakan mengomentari diri sendiri sebagai bentuk rendah diri atau kurangnya rasa syukur yang dimiliki seseorang (Fitriana, 2019).
Body shaming adalah kritikan terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa body shaming yang terjadi secara terus menerus terhadap orang lain akan memberikan dampak depresi kepada korbannya karena perasaan stres dan tertekan terhadap lingkungan sekitar yang dianggap tidak menerima keberadaannya karena kondisi fisik yang dimiliki tidak sesuai dengan citra tubuh ideal yang terbentuk di tengah masyarakat.
Body shaming termasuk kekerasan (bullying) secara verbal yang menyebabkan trauma psikis karena ucapan yang menyakitkan, seperti dipermalukan di depan umum sehingga membuat seseorang menjadi malu. Apabila dilakukan terus menerus korban tidak hanya mengalami trauma psikis, tetapi juga akan berdampak pada perilaku dan tindakan seseorang. Selain itu, body shaming membuat seseorang semakin merasa tidak aman dan tidak nyaman terhadap penampilan fisiknya dan mulai menutup diri baik terhadap lingkungan maupun orang-orang (Fauzia & Rahmiaji, 2019).
Terdapat tiga ciri-ciri dari tindakan body shaming (Mawaddah, 2020),
yaitu: Mengkritik diri sendiri lalu membandingkan dengan orang lain. Misalnya melihat diri sendiri lebih gemuk daripada orang lain. Kemudian mengkritik penampilan orang lain di depan mereka Mengatakan bahwa orang lain terlihat memiliki kulit lebih gelap sehingga perlu untuk memakai produk pencerah wajah. Bukan hanya itu tapi juga mengkritik penampilan orang lain tanpa sepengetahuan mereka. Misalnya membicarakan penampilan teman yang terlihat tidak pantas dengan orang lain.
Dalam kehidupan seorang manusia banyak peristiwa yang terjadi sehari-harinya, dimulai peristiwa yang positif hingga peristiwa yang negatif. Ketika individu mengalami peristiwa negatif, seperti kegagalan, pelanggaran moral, dan pelanggaran interpersonal. Ketika individu menyalahkan diri sendiri, individu tersebut cenderung akan merasa malu (shame) atau bersalah (guilt), karena kedua emosi ini termasuk ke dalam emosi self blame (Wijastuti, 2013).
Menurut Lewis, Havilland, dan Barret dalam (Istyqomah, 2018) menyatakan bahwa rasa bersalah adalah keadaan emosi yang dihasilkan ketika individu mengevaluasi perilaku mereka sebagai kegagalan tetapi hanya berfokus pada perilaku spesifik yang menyebabkan kegagalan. Rasa bersalah termasuk dalam emosi negatif yang biasanya ditandai dengan evaluasi negatif terhadap dirinya karena ketidakmampuan dalam suatu hal.
Menurut Janoff-Bulman self blaming pada dasarnya berarti bahwa seseorang memikul tanggung jawab pribadi atas terjadinya suatu peristiwa traumatis seringkali ketika jelas bahwa individu tersebut sebenarnya adalah korban (Kaur & Kaur, 2016). Arah menyalahkan seringkali memiliki implikasi bagi emosi dan perilaku individu selama dan mengikuti situasi yang penuh tekanan. Ketika individu mengalami peristiwa traumatis dan merasa tertekan dengan apa yang terjadi sehingga individu akan menarik dirinya dari lingkungannya dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri (self blaming).
Menyalahkan diri sendiri (self blaming) adalah cara seseorang dalam menghadapi masalah dengan menyalahkan serta menghukum diri sendiri dengan menyesali tentang apa yang terjadi (Zuama, 2011). Menyalahkan diri sendiri adalah reaksi umum terhadap peristiwa stres dan memiliki efek tertentu pada bagaimana individu beradaptasi.
Masalah yang sering muncul ketika seseorang mengalami self blaming adalah adanya ketidakpercayaan diri dengan tubuh sendiri, melihatsosok diri yang negatif, mengkritik diri sendiri secara berlebihan, merasa tidak menarik, minder, merasa gagal, dan merasa diri lemah atau tidak berdaya (Zuama, 2011). Apabila individu menyalahkan diri sendiri secara terus menerus akan mengakibatkan depresi , dan menyalahkan diri sendiri adalah komponen dari emosi yang diarahkan pada diri sendiri seperti rasa bersalah dan rasa jijik pada diri sendiri.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa menyalahkan diri sendiri adalah sebuah kesadaran emosi yang dimiliki setiap manusia meliputi marah, kesedihan, keadaan memalukan, keputusasaan, saat dia melakukan kesalahan yang dibelakukan dirinya sendiri dan bernilai yang berhubungan dengan penilaian evaluasi diri atas kegagalan diri karena merasa menyakiti atau mengecewakan orang-orang terdekat seperti orang tua, anak, sahabat dan pacar serta mengevaluasi diri dan memperbaiki tindakan.
Menurut Andrew (Widjast, 2011) sumber-sumber self blaming, yaitu:
Modelling adalah memperlakukan diri sendiri seperti yang diperlakukan orang lain pada dirinya. Strategi atau perilaku aman dengan orang lain yang bersikap bermusuhan. Rasa malu,Ketidakmampuan untuk menenteramkan diri, ketidakmampuan untuk menghibur diri ketika berada dalam ancaman,ketidakmampuan untuk memproses kemarahan.
Ketika individu tidak mampu untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, mereka akan cenderung menyalahkan diri sendiri dan dapat membahayakan dirinya sendiri.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan biologis dan psikologis. Secara global masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, 18-21 tahun masa remaja akhir (Fatmawaty, n.d.).
Secara biologis ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya seks primer dan seks sekunder sedangkan secara psikologis ditandai dengan sikap dan perasaan, keinginan dan emosi yang labil atau tidak menentu (Hidayati & Farid, 2016). Hal itu dikarenakan remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Seorang anak masih belum selesai perkembangannya, orang dewasa dapat dianggap sudah berkembang penuh. Sedangkan remaja walaupun sudah mulai berkembang namun belum mampu untuk menguasai fungsi fisik psikisnya dengan baik.
Seperti halnya dengan semua periode yang peting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah :
Masa Remaja sebagai Periode yang Penting
Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting.
Masa Remaja sebagai Periode Peralihan
Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan pula orang dewasa. Status remaja yang tidak jelas ini memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
Masa Remaja sebagai Periode Perubahan
Ada lima perubahan yang sama dan hampir bersifat universal pada setiap remaja.
Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis yang terjadi. Perubahan tubuh yang akan lebih dijelaskan pada aspek perkembangan. Perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperankan. Dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. . Masa Remaja sebagai Usia Bermasalah Masalah
Masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, sebagain masalah seringkali diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, para remaja merasa diri mandiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru. tetapi minimnya pengalaman menjadikan penyelesaian seringkali tidak sesuai harapan.
Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas
Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak ataukah orang dewasa, apakah nantinya ia dapat menjadi seorang ayah atau ibu, apakah ia mampu percaya diri dan secara keseluruhan apakah ia akan berhasil ataukah gagal.
Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan
Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistis
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya.
Hal ini menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja.semakin tidak realistis cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil menacpai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan narkoba, dan terlibat dalam perbuatan seks. Di sinilah diperlukan peran orang tua dalam mendidik remaja agar tidak salah dalam mengaktualisasikan kedewasaannya.
Body shame merupakan perasaan malu yang khusus pada kondisi tubuh individu. Aspek dari body shame (Gilbert & Miles, 2002) meliputi :
Komponen kognitif sosial atau eksternal
Komponen kognitif sosial mengacu pada pemikiran dari orang lain yang menilai sebagai seseorang yang rendah maupun kurang baik sehingga mengakibatkan memandang dirinya rendah.
Komponen mengenai evaluasi diri yang berasal dari dalam
Pada komponen ini mengacu pada pandangan buruk terhadap diri sendiri yang berasal dari pemikiran negatif mengenai diri. Hal ini juga didasari pada kritikan yang menyerang dengan kata-kata yang merendahkan diri sehingga hal tersebut mengakibatkan menurunnya kepercayaan diri dan menamkan pemikiran malu dari dalam diri.
Komponen Emosi
Emosi yang terdapat dalam perasaan malu meliputi perasaan cemas, marah, dan muak terhadap diri sendiri. Hal ini disebabkan dari pemikiran negatif atas dirinya dan ketidakmampuan mengikuti standar yang ada dari lingkungan.
Komponen Perilaku
Perasaan malu memiliki kecenderungan untuk menghindar dari lingkungan sekitarnya karena terdapat perasaan tidak nyaman yang timbul dari pandangan rendah dari orang lain serta merasa terancam di lingkungannya.
Proses terjadinya body shame bisa terbentuk karena adanya interaksi dan pengaruh dari lingkungan kemudian pengaruh tersebut memberikan dampak pada individu. Dampak tersebut antara lain:
Gangguan Makan
Body shame merupakan penyebab harga diri yang rendah dan berkaitan dengan pola makan. Seseorang cenderung melakukan perubahan pada tubuhnya dengan melakukan diet untuk menurunkan berat badan ataupun mengkonsumsi makanan yang banyak untuk menaikkan berat badan. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat body shame maka cenderung memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perilaku makan (Cahyani, 2018).
Mempengaruhi Kesehatan Fisik
Body shame tidak hanya berpengaruh pada gangguan makan, tetapi body shame memiliki pengaruh terhadap kesehatan seseorang. Terdapat hubungan positif antara body shame dengan infeksi maupun gejala dan infeksi dari suatu penyakit disebabkan karena respon dan penilaian tubuh yang rendah (Cahyani, 2018). Ketika seseorang sedang mengalami body shame maka terdapat kecenderungan rentan terhadap penyakit karena kurang perhatian terhadap kondisi kesehatannya.
Depresi
Pada situasi yang ekstrem perspektif pengamat terhadap diri mungkin sepenuhnya dapat menggantikan perspektif sendiri perempuan tentang tubuhnya, kondisi ini memungkinkan individu mengalami kondisi kehilangan diri (loss of self). Ketika kondisi loss of self terus berlanjut dapat menyebabkan depresi karena akan semakin mengambil perspektif pengamat terhadap diri (Damanik, 2018).
Depresi dapat dialami seseorang karena perspektif negatif yang terus menghantui seseorang. Kurangnya kepuasan terhadap bentuk tubuh atau keadaan tubuh merupakan pemicu seseorang mengalami depresi. Depresi tidak hanya dialami oleh oeerempuan, tetapi laki-laki juga dapat mengalami depresi, tetapi tidak sebanyak perempuan.
Akibat Self Blaming
Menurut Coleman dalam (Iman, 2009) akibat self blaming ada 2, yaitu:
Rendah Diri
Banyak kemungkinan self blaming yang mempengaruhi seseorang dapat disejajarkan dengan jumlah sumber self blaming yang berpotenial. Self blaming tidak hanya melahirkan rasa rendah diri, rasa tidak aman, dan rasa malu, merasa kacau, rasa takut, kegagalan, dan sedih, self blaming bisa jadi sumber berkembangnya persoalan emosional seperti kasihan diri. Self blaming dapat dengan mudah tertutup oleh keseluruhan rangkain trauma mental.
Gangguan Fisik
Gangguan fisik yang dapat ditimbulkan. Banyak kasus mata rantai antara penyakit fisik dan self blaming yang tidak mudah didefinisikan, mungkin lebih realistisnya melihat terlebih dahulu mata rantai umum antara pikiran dan tubuh, kemudian mencari tipe self blaming yang tampaknya palingmungkin membuahkan stres dan ketegangan yang menimbulkan penyakit tersebut.
Daftar penyakit fisik yang amat panjang sekarang ini diakui yang disebabkan oleh stres dan ketegangan. Nyeri dada, salah cema, sakitjantung, tukak lambung, debaranjantung, sakit punggung, diare, penyakit kulit, sesak nafas, kelelahan, tidak enak badan dan sebagainya hanyalah kelainan khusus yang ditemukan mempunyai kuat dengan pikiran. Stres berhubungan dengan penyakit fisik maka self blaming harus selalu dianggap sebagai sumber utama stres mental. Dapat ditambahkan bahwa perasaan bersalah seperti kelelahan dan tidak enak badan pun biasanya dihubungkan dengan gangguan pikiran.
Pada masa perkembangan remaja ini ada beberapa aspek yang sangat menonjol perkembangannya. Antara lain adalah sebagai berikut:
Perkembangan Fisik
Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan fisik sangat pesat pada usia 12/13-17/18 tahun. Pada masa ini, remaja merasakan ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan pada diri mereka karena anggota badan dan otot-otonya tumbuh secara tidak seimbang.
Pertumbuhan otak secara cepat terjadi pada usia 10-12/13 dan 14-16/17 tahun. Pertumbuhan otak wanita meningkat 1 tahun lebih cepat daripada laki-laki yaitu pada usia 11 tahun, sedangkan pertumbuhan otak laki-laki meningkat 2x lebih cepat dari pada wanita dalam usia 15 tahun.
Perubahan Eksternal
Untuk tinggi rata-rata anak perempuan mencapai tinggi yang matang pada usia anatar 17-18 tahun. Sedangkan laki-laki 1 tahun lebih lambat dari pada perempuan. Untuk berat perubahan berat badan mengikuti jadwal yang sama dengan perubahan tinggi, tetapi berat badan sekarang tersebar ke bagian-bagian tubuh yang tadinya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak mengandung lemak sama sekali.
Untuk proporsi tubuh : berbagai bagian tubuh lambat laun akan menunjukkan perbandingan yang baik, misalnya badan melebar dan memanjang yang mengakibatkan tubuh tak kelihatan terlalu panjang.
Sistem Peredaran Darah : Jantung tumbuh pesat pada masa remaja pada usia 17/18 tahun, beratnya 12 kali berat pad awaktu lahir. Panjang dan tebal dinding pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan bilamana jantung sudah matang.
Jaringan Tubuh : perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia 18 tahun, sedangkan jaringan selain tulang terus berkembang sampai tulang mencapai ukuran matang.
Sistem Pernafasan : kapasitas paru-paru anak perempuan hampir matang pada usia 17 tahun, anak laki-laki mencapai tingkat kematangan beberapa tahun kemudian.
Seseorang yang mengalami body shaming berawal dari faktor lingkungan. Apabila dari lingkungan tidak menerima atau mengejek dan menganggap mempunyai kondisi fisik yang tidak sesuai standar tubuh ideal adalah kesalahan, tak jarang menjadi bahan untuk menjadi lelucon. Dengan begitu remaja yang bisa jadi pelaku dan korban body shaming. Ketika remaja mengalami body shaming oleh orang lain atau dirinya sendiri, remaja yang memiliki tubuh tidak sesuai dengan standar kecantikan bisa saja menyalahkan diri sendiri (self blaming). Seseorang yang sering menyalahkan diri sendiri terkadang menjadi seseorang yang rendah diri, apabila individu tersebut terlalu memikirkan kekurangan pada dirinya bisa berdampak pula dengan kesehatan (gangguan fisik) individu tersebut.
Fenomena body shaming yaitu beberapa remaja ketika bertemu dengan remaja lainnya terkadang tidak menggunakan namanya, tetapi menggunakan nama yang menyangkut fisiknya, contoh gendut, dugong, wajah yang berjerawat, cungkring, hitam dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan tampilan fisik seseorang. Karena merasa sakit hati dan malu, beberapa orang yang mengalami body shaming berusaha dengan berbagai cara untuk menurunkan berat badan atau ingin membuat tubuhnya ideal.
Rinanda (dalam Cahyani, 2018) berpendapat bahwa rasa malu adalah kumpulan dari komponen afeksi, kognisi, dan tindakan pada setiap individu memiliki perbedaan (Cahyani, 2018). Body Shaming tidak dapat terpisah antara ketiga komponen tersebut karena respon dari kejadian mempengaruhi kognisi, afeksi, dan tindakan individu. Sehingga untuk melihat tindakan dari perasaan malu, dapat dilihat dari perilaku yang muncul dari setiap individu. Arah menyalahkan seringkali memiliki keterkaitan dengan emosi, perilaku individu dan mengikuti situasi yang penuh tekanan.
Faktor penyebab masyarakat Indonesia terutama perempuan cenderung lebih sering mengomentari penampilan bahkan fisik seseorang, karena di Indonesia memiliki iklim budaya in group yang kuat. Artinya, kebiasaan ini membuat seseorang cenderung memperlakukan orang lain layaknya saudara bahkan yang sebenarnya tidak terlalu dekat. Maka dengan kebiasaan itulah banyak orang akhirnya merasa bahwa berkomentar adalah hal yang wajar dilakukan walaupun baru beberapa kali bertemu. Dan memang biasanya komentar tersebut mengacu pada isu yang sensitif seperti fisik atau penampilan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa body shaming berpengaruh terhadap self blaming. Ketika remaja menjadi korban body shaming, individu tersebut cenderung merasa malu, sehingga mereka melakukan berbagai hal seperti diet. Apabila body shaming tinggi, maka self blaming tinggi, sebaliknya, apabila body shaming rendah, maka self blaming rendah. Oleh karena itu, remaja yang menjadi korban body shaming tidak usah mempedulikan perkataan buruk dari orang lain. Ketika remaja yang menjadi korban body shaming tinggi maka bisa saja self blaming tinggi tidak dapat mengendalikan keinginannya untuk merubah penampilannya kadang bisa melakukan hal-hal yang nekat.
Berdasarkan hasil penelitian pembahasan dan kesimpulan maka penulis mengemukakan beberapa saran, yaitu : Bagi remaja yang sering bercanda dengan menggunakan kata yang merujuk fisik seseorang, karena belum tentu orang yang diajak bercanda mau menerima kata tersebut.
Bagi masyarakat orang dilingkungan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat body shaming. Diharapkan masyarakat agar memahami resiko yang ditimbulkan dari body shaming.
(Naskah artikel ini telah dipresentasikan pada Lomba Penulisan Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Ogan Ilir Sumsel dan berhasil menjadi Juara III)
Editor: Sarono P Sasmito