SWARNANEWS.CO.ID, |Tidak mudah untuk menjelaskan kepada banyak orang mengenai ‘sejarah’ sebagai suatu fakta sekaligus ilmu pengetahuan yang sangat urgen bagi kehidupan mereka. Cibiran bahwa kesejarahan adalah suatu hal “kuno” (Outdated) terus menjadi stigma kepada bidang yang sejatinya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia tersebut. Jika kesan bahwa “yang silam” merupakan kajian membosankan dan memicu kantuk, tidakkah eksistensi setiap individu masa kini juga berasal dari “yang silam”, sebagaimana setiap diri manusia adalah anak dari kedua orang tua yang meletakkan dasar keberadaan kita sekarang.
Belum lagi masyarakat zaman ini yang lebih menekankan pada masalah-masalah eksoteris dari pada esensi, tentu akan sangat mudah menemukan ironi tatkala ada saja yang memanggil Guru Mata Pelajaran Sejarah sebagai “Pak Meganthropus” ataupun menganggap jam mata pelajaran itu ialah waktu yang tepat untuk “menuntaskan rasa kantuk” dalam kelas. Ironi ini semakin lengkap, meski kerap dicibirdan dipandang sebelah mata, faktanya, kalau kita menyempatkan diri mengunjungiBazaar atau toko buku bekas, hampir tidak ada buku sejarah yang dijual murah.
Selanjutnya kita perlu beranjak dari seputar masalah marjinalisasi sejarah sebagai fakta dan ilmu pengetahuan oleh orang-orang yang perlu kita sebut sebagai “jenis pertama”. Sekarang umpamakan bahwa kita tengah berada di sekitar orang-orang yang sedikit banyak telah bisa menerima urgensi “yang silam” bagi kehidupan mereka. Tapi orang-orang jenis kedua ini masih belum secara sempurna dapat merefleksikan kekuatan sejarah yang sebenarnya. Dalam sebuah contoh yang sederhana, karena mereka hanya sebatas “mengingat” yang silam yaitu sebatas mengetahui tentang pernyataan masa lalu dari generasi lampau ataupun melalui tradisi-tradisi (kepercayaan) yang masih hidup dalam memori kolektif suatu komunitas masyarakat. Pada titik ini terjadilah penyimpangan esensi sejarah yang sebenarnya yaitu sebagai cabang pengetahuan tentang aturan, tradisi, maupun peristiwa masa lampau yang disimpulkan dari studi dan analisis.[1] Kesan “membosankan” yang sering tersemat pada ilmu sejarah ialah karena pola berpikir seperti ini, seolah ilmu sejarah hanya “mengingat” saja : mengasumsikan sejarah adalah sama dengan dongeng. Efek domino dari pada itu tentu kurang maksimal dan penuh dengan kontradiksi. Sebagai contoh ialah seumpama seorang mahasiswa “berprestasi” yang bercita-cita membangun karakter bangsa, namun ia sekadar mengumpulkan banyak dongeng, menyajikannya dalam media Pop-up Book ataupun melalui media wayang serta mengunggahnya via Instagram. Usaha yang (terlihat) hebat itu tentu masih banyak kelemahan.
Tidak dalam maksud merendahkan dongeng ataupun cerita rakyat serta kepercayaan-kepercayaan yang menjadi bagian dari kearifan suatu masyarakat, akan tetapi sebenarnya antara sejarah dan dongeng memiliki fungsinya masing-masing. Salah satu pendapat yang unik diungkapkan oleh Rene Descartes, filosof kelahiran 31 Maret 1596 asal Prancis, ia mengenang pengalaman semasa sekolahnya di mana ia melihat bahwa “…keindahan dongeng-dongeng membangkitkan pikiran; bahwa budi manusia disemangati oleh tindakan-tindakan yang cemerlang dalam sejarah..” [2] Bagi Descartes justru sejarah yang mampu menyemangati budi manusia yang selama ini banyak dianggap sebagai hasil positif dari dongeng / cerita rakyat, itulah mengapa dikenal sebuah motto Historia Vitae Magistra : Sejarah Mengajarkan Kebijaksanaan. Demikian ini yang disebut oleh Bernard Lewis sebagai “Sejarah yang Ditemu-ciptakan”, yakni sejarah yang yang ditulis dengan suatu tujuan, lebih tepatnya adalah sebuah tujuan baru, berbeda dari tujuan sebelumnya – yang hanya mengingat. [3] Tujuan dari penemu-ciptaan sejarah nampaknya yang paling tepat ialah seperti gagasan “Pendidikan Kaum Tertindas” yang diramu oleh Paulo Freire, pemikir asal Brazil (19 September 1921-2 Mei 1997), ia menilai bahwa pembebasan kaum tertindas bermula dari pemerantaraan kesadaran manusia dan dunia, kesadaran tersebut haruslah kritis yang didapat dari praxis atau refleksi dan aksi terhadap kenyataan dunia dalam upaya mengubahnya.[4]
Sejarah mau tak mau telah menjadi sebuah kewajiban / kebutuhan yang lebih dari hanya sekadar pengisi waktu luang. Beragamnya permasalahan bangsa di masa kini sebenarnya berhulu kepada ketidaksadaran akan pentingnya sejarah sebagai fakta masa silam yang kaya makna bahkan solusi. Mengusung nilai-nilai lokal memang tidak ada salahnya seperti menyajikan dongeng / cerita rakyat kepada anak-anak untuk dapat memperoleh hal-hal positif darinya, dalam sejarah atau dongeng juga bisa didapati hal-hal positif berupa nilai keluhuran dan inspirasi. Namun kita perlu mengingat, masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh negeri ini tidak sekadar akan beres dengan “bantuan” kekuatan mistis. Agar generasi berikutnya semakin peka terhadap dinamika masa ini maka mereka harus diajarkan tentang realitas masa silam melalui presedensi kesejarahan sedini mungkin.
Walau setiap zaman pasti berbeda dan perkakas-perkakas peradaban telah banyak berubah, tapi dengan mempelajari sejarah sesungguhnya kita akan melihat pemeran yang sama yakni manusia dengan masalah-masalah seputar ekonomi, politik, budaya, sosial serta lain-lain, melalui sejarah-lah kita bisa memperoleh inspirasi bagaimana manusia selaku pemeran (sejarah) menyelesaikan permasalahan peradaban yang sesuai dengan zamannya. Makna-makna, semangat, totalitas, dan pencapaian dapat diunduh dari pembelajaran atas peristiwa silam, inilah penemu-ciptaan sejarah seperti pendapat Bernard Lewis. Hal terakhir tentunya diperlukan analisa pemikiran yang kritis melalui perefleksian pembelajaran sejarah, baru sesudah itu kita akan mendapatkan sebuah pengingat karena kesadaran manusia dan realitas dunia sudah terjembatani. Pemikiran Paulo Freire tentu sangat cocok untuk menjadi titik akhir dari penemu-ciptaan sejarah, apabila kita bertanya mengapa gagasannya tentang pendidikan “kaum tertindas” dianggap sesuai dengan penemu-ciptaan sejarah ? Jawabannya adalah karena masih banyaknya korupsi kaum elit yang menyebabkan depresinya kaum alit (lemah / wong cilik). Penemu-ciptaan sejarah akan sangat manjur mengawal eksistensi Republik Indonesia, negara tercinta kita yang bukan negeri dongeng.
Teks: Arafah Pramasto,S.Pd. (Penulis Buku “Makna Sejarah Bumi Emas” dan “Sejarah Tanah-Orang Madura”)
Editor: Sarono PS