Cari Solusi Rohingya FH Unsri Datangkan Hikmahanto Juwana

SWARNANEWS | Derita berkepanjangan yang dialami oleh etnis  Rohingya membutuhkan solusi kongkret untuk penyelesaiannya.  Untuk membahas hal itu,  Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Dr. Febrian, SH MS mendatangkan  Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, SH LL.M, PhD  pada kuliah umum yang diselenggarakan di gedung Hall FH Tower FH Unsri Palembang  Senin (18/9).

Menurut Febrian dengan diskusi  dengan topik “Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya dalam Perspektif Hukum Internasional”  tersebut diharapkan muncul langkah-langkah konkret secepatnya untuk mengakhiri konflik di Rohingya.

Hikmahanto pada kesempatan itu mengemukakan, bantuan kemanusiaan pun belum bisa sepenuhnya disebut sebagai langkah konkret untuk solusi permasalahan di Rakhine.

“Bantuan kemanusiaan itu seperti pemadam kebakaran. Hulu persoalannya di Myanmar, (yaitu) soal kewarganegaraan (Rohingya),” kata dia.

Hikmahanto juga berharap agar Menlu Retno Marsudi dapat menegaskan kekerasan yang sekarang terjadi di Rakhine sudah memenuhi kategori genosida dan pembersihan etnis.

“Banyak negara sudah menyatakan (soal terpenuhinya kategori) itu,” tegas Hikmahanto.

Bicara Rohingya, tarikan sejarahnya tak hanya hitungan hari, bulan, atau bahkan tahun. Solusinya pun tidak bisa semata penyelesaian biasa, karenanya.

“Ini juga bukan kasus kekerasan spontan saja, melainkan struktural, massif, dan sudah berlangsung lama bahkan sejak sebelum negara itu lepas dari pendudukan Inggris,” ujarnya lagi.

Untuk itu,perlu pendekatan komprehensif yang memenuhi pula rasa keadilan dan memperhatikan masalah kesejahteraan dan keadilan sosial selain soal keamanan.

Namun, lanjutnya, apa pun solusi yang akan ditempuh, syarat pertamanya adalah penghentian kekerasan terhadap Rohingya.

Di sisi lain, Hikmahanto pun tak melihat ada negara lain yang punya cukup dasar melebihi  Myanmar untuk memberikan pengakuan kewarganegaraan kepada Rohingya.

Asal-usul dan jejak perpindahan Rohingya selama konflik geopolitik lintas-generasi, menurut Hikmahanto tak lagi sahih menjadi dalih Myanmar untuk mengelak.

Analogi yang disodorkan Hikmahanto adalah mengandaikan orang keturunan Jawa yang lahir dan besar di Suriname terlibat konflik sosial lalu dipaksa balik ke Banyumas, Jawa Tengah. “Mana bisa begitu? Mereka sudah lama tinggal di situ,” kata dia.

“Myanmar harus bertanggung jawab. Berikan juga hak-hak (kewarganegaraan) setelah rekognisi,” tegas Heru.

Bila kekerasan di Rakhine tidak juga dihentikan, kata Hikmahanto, masyarakat internasional dapat bertindak atas Myanmar. Landasan tindakan internasional ini adalah konsep responsibility to protect (R2P).

R2P, papar Hikmahanto, dalam hukum internasional merupakan konsep yang memungkinkan tindakan lintas batas wilayah kedaulatan untuk memastikan kejahatan kemanusiaan tidak terjadi. Pembersihan etnis dan genosida masuk kategori kejahatan kemanusiaan.

Bentuk dari tindakan R2P, sebut Hikmahanto, bisa mencakup sanksi ekonomi hingga penggunaan kekerasan (use of force). “Dalam konteks ini, ASEAN dapat melaksanakan R2P untuk menyelamatkan Rohingya,” kata dia.

Sidang darurat ASEAN pun karenanya memungkinkan digelar untuk membahas persoalan ini. Bila sidang memutuskan telah terjadi upaya pembersihan etnis di Rakhine, sanksi bisa dijatuhkan supaya kekerasan dihentikan.

“Kalau (sanksi) tidak bisa juga (menghentikan kekerasan), tentara masuk (ke Myanmar) tapi harus pakai mandat PBB,” tegas Hikmahanto.

 

Editor: Sarono P Sasmito