Oleh Hexa Hidayat/aktivis perempuan
SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG – Tingginya penolakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen dari berbagai elemen yaitu kaum buruh, mahasiswa, bahkan sampai kepada elite politik bulan Desember yang lalu kelihatan sedikit membuahkan hasil.
Terbukti, pemerintah telah membatalkan rencana kenaikan PPN untuk umum. Sebagai gantinya, kenaikan hanya berlaku untuk barang-barang mewah (PPnBM).
Kebijakan ini dilakukan pemerintah agar bisa menjaga daya beli masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Haruskah rakyat menyambutnya dengan bahagia? Sedangkan imbas desas desus kebijakan pemerintah terkait kenaikan PPN tersebut, membuat beberapa barang dan jasa beranjak naik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi pada Bulan November 2024 dibandingkan dengan awal tahun di bulan Januari 2024 naik sebesar 1,12 persen (Mekari.Klikpajak, 7/1/2025).
Masyarakat menengah ke bawah merupakan golongan yang paling banyak terkena imbas dari wacana kenaikan pajak ini, karena pengecualian barang pangan kena PPN bukan hal baru.
Hal ini diungkap oleh Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira yang menyebut bahwa kenaikan tarif PPN ini tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah (Kompas.com, 17/12/2024).
Adapun kenaikan PPnBM salah satunya adalah kenaikan peralatan elektronik, termasuk di dalamnya suku cadang kendaraan bermotor. Pengguna kendaraan bermotor terutama roda dua ini didominasi oleh masyarakat menengah ke bawah, yaitu para pencari nafkah ojek online.
Sementara itu, alasan pemerintah untuk menaikkan pajak sendiri salah satunya adalah untuk memperbaiki anggaran pemerintah dampak covid-19 yang memperburuk kondisi fiskal. Kenaikan pajak juga ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri yang sudah mencapai 8000 triliyun. Kondisi ekonomi ini tentu sangat mengkhawatirkan, tetapi menjadikan pajak sebagai satu-satunya jalan keluar tentu tidak menjawab permasalahan.
Benarkah pembangunan yang berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat akan terwujud dengan besarnya pajak yang dibebankan kepada rakyat? Ataukah ini hanya klaim pemerintah dalam mengurus negara ala kapitalis?
Perlu diketahui, saat ini sumber pendapatan negara hanya berasal dari pajak dan utang. Hal ini karena pajak dianggap sebagai kontribusi wajib rakyat kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (www.pajak.go.id, 4/1/25).
Jadi, pajak adalah kewajiban yang diberlakukan oleh seluruh rakyat yang sifatnya memaksa. Sifatnya yang wajib membuat adanya sanksi yang diberikan bila tidak membayar pajak. Seluruh biaya kebutuhan publik tidak terlepas dari pajak. Seluruh rakyat diminta untuk turut serta dalam pembangunan sebagai warga negara yang baik.
Sering kali kita mendengar jargon di negara kapitalis adalah “jangan katakan apa yang sudah negara berikan kepadamu, tapi katakanlah apa yang sudah kamu berikan kepada negara”. Pertanyaanya, adil kah pajak dibebankan kepada rakyat yang sudah dalam kesempitan, sedangkan para pengemplang pajak dan koruptor makin merajalela?
Jika kita melihat fakta hari ini, pajak yang dibebankan pada rakyat sejatinya bukan untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi sebaliknya, pajak yang dibayarkan akan menjadi beban rakyat. Padahal, negara bisa mendapatkan pemasukan dari berbagai sektor, bukan dari pajak, misalnya pengelolaan sumber daya alam yang sangat berlimpah.
Pemasukan dari sektor selain pajak bisa membuat pemerintah tidak perlu memberlakukan kebijakan fiskal terhadap kondisi ekonomi yang buruk. Kondisi ekonomi yang buruk ini disebabkan permintaan akan barang dan jasa berlimpah, sedangkan penawaran atau daya beli rakyat sangat menurun. Akibatnya, apa saja yang ditawarkan di sektor riil itu tidak ada pembelinya.
Kondisi di atas menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan berupa defisit fiskal, yaitu pengeluaran Anggaran Belanja Negara (APBN) harus lebih besar dari penerimaan APBN. Tujuannya adalah untuk memberi stimulus ekonomi supaya ekonomi kembali berputar agar penawaran terhadap barang dan jasa ada yang membeli, dengan cara mencari utangan.
Artinya defisit harus ditempel dengan utang. Sedangkan yang membayar utang nantinya adalah rakyat melalui pembayaran pajak. Adapun stimulus ekonomi yang diberikan kepada rakyat menengah ke bawah berupa BLT ataupun diskon biaya listrik. Padahal, tanpa disadari rakyat sendiri yang akan membayarnya nanti dengan pajak. Apakah ini yang dinamakan kesejahteraan atas nama rakyat?
Inilah yang dinamakan lingkaran setan ekonomi kapitalis. Ketika negara mengemban idelogi kapitalis, maka dipastikan kebijakan fiskal yang diambil adalah menaikkan pajak, sehingga inflasi menjadi turun, tetapi sebaliknya ekonomi akan melambat. Ketika ekonomi melambat, pajak dijadikan sebagai jalan keluar, dan tentu saja ini akan menaikkan inflasi. Ketika inflasi mengalami kenaikan, beban pajak harus diturunkan, begitu seterusnya. Lalu bagaimana solusi hakiki membangun negara dan kesejahteraan rakyat?
Islam Punya Solusi
Islam bukan sekedar agama ritual, tetapi Islam merupakan tuntunan yang paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk masalah pajak. Dalam situs resminya di Pajak.go.id menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Rasulullah Saw dan sahabat, pajak (dharibah) belum ada, karena dari pendapatan ghanimah dan fay’I sudah cukup untuk membiayai pengeluaran negara.
Negara yang pengaturannya berdasarkan Al Qur’an dan sunah yang kita kenal dengan Khilafah, mengenal istilah pajak dengan sebutan dharibah. Akan tetapi, pengertiannya jauh berbeda dengan sistem kapitalis hari ini. Pajak dalam Islam sifatnya insidental dan temporal. Dalam Islam, pajak diberlakukan hanya kepada kaum muslim yang kaya saja pada saat kas di baitul maal kosong.
Syekh Abdul Qadim Zallum, seorang ulama abad ini mendefenisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslimin untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal untuk membiayainya (Al Anwalfi Daulati al-Khilafah,hlm 129, 135). Dalam khilafah, pajak bukan sumber utama pendapatan negara.
Adapun sumber pendapatan negara ada sembilan bagian, yaitu fay’I (anfal, ghanimah, khumus), jizyh, kharaj, usyur, sumber daya alam, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus, rikaz, harta orang yang tidak U ahli waris, harta orang murtad.
Jadi, sumber-sumber pendapatan yang diatur oleh Islam sudah lebih dari cukup sebagai pendapatan negara untuk membiayai kebutuhan rakyat. Dari sektor SDA saja, negara sudah bisa mendapatkan pemasukan yang cukup untuk pembiayaan negara. Kekayaan SDA yang kita miliki seharusnya mampu untuk membangun infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Sungguh, overclaim pajak untuk kesejahteraan hanya bualan negara kapitalis. (*)