Merunut Filosofi Konsep Negara Islam Ala ‘RG’

Oleh: Yeny Pusvyta, MT
(Sekum MW Forhati Sumsel)

Sepenggal kalimat dari Rocky Gerung (RG) : “Saya beraspirasi untuk bikin negara Islam, serius. Karena saya berpikir, justice itu adanya di dalam teologi Muslim”, dari kanal YouTube Refly Haruna pada Selasa, 22 Maret 2022 dan banyak media elektronik memuat kabar tersebut, sempat membuat kaget publik.

Di tengah maraknya isu terorisme yang belakangan kurang laku lagi, munculah istilah radikalisme intoleran dan modernisasi Islam yang mempressure muslim dan terkesan sepertinya malah mengancam integrasi bangsa akibat saling curiga. Pernyataan semacam itu dari seorang filsuf yang terbiasa menggunakan nalarnya dan tidak pula beragama Islam menjadi semacam penjernih bagi buruknya framing terhadap umat Islam, akan tetapi sekaligus merupakan sesuatu yang sangat kontoversial.

Alih-alih mengkritisi pelaksanaan demokrasi seperti yang biasa beliau lakukan, kali ini ia seperti hopeless dengan demokrasi bisa mengubah keadaan bangsa yang terkesan makin memburuk, dianggapnya gagal, dan rusak dari peryatannya di berbagai media. Padahal sebelumnya ia banyak memberikan pandangan dan kritik mengenai penerapan demokrasi pada berbagai kesempatan .Juga pada beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang terkesan seolah masih ada celah dan langkah yang cukup optimis untuk diperbaiki.

Sebagian pernyataannya mengenai demokrasi yang kita bisa baca di media elektronik adalah:
“Setiap kali kita bicara demokrasi apalagi dalam bentuk kritik itu artinya pemerintah gagal menghasilkan demokrasi,” ketika RG pada acara bedah buku Lepaskan Borgol Demokrasi karya Rizal Fadillah. “inti dari demokrasi adalah pemerintahan akal melalui pemerintahan orang,”, dimuat di https://isubogor.pikiran-rakyat.com/ (11 Agustus 2021)

“ Negara hukum adalah bentuk paling buruk dari negara demokrasi. Kalau negara demokrasi, hukum itu harus minimal, karena semua ada pada diskusi dan argumentasi,”
“Demokrasi juga rusak dengan UU itu, tidak ada demokrasi ketika kita tidak sama-sama bernapas dengan monyet di hutan, atau kita berkicau sama burung, begitulah idealis demokrasi seharusnya,”dimuat di https://nasional.tempo.co/ (12 November 2021)

“Demokrasi itu memperlihatkan pemburukan, karena yang punya amplop tebal mendahului yang punya otak tebal,” dimuat di https://politik.rmol.id/ (03 Januari 2022)

Muara berfikir seorang RG membuat kita ingin merunut bagaimana pencarian kebenaran ala filsuf.

Pemikiran filsuf yang dimulai dari sikap skeptis. Karakter filsuf yang skeptis secara positif, menolak suatu informasi tanpa dasar, atau berkeinginan untuk memperjelas informasi dan menemukan makna, atau memberi makna pada objek berfikirnya.

Dimana selalu ada pertanyaan : mengapa & bagaimana pertanyaan-pertanyaan lain, bahkan spekulasi-spekulasi untuk mendetili suatu mendapatkan kesimpulan.
Secara Bahasa, filsafat atau “philosophia” (Bahasa Yunani), terdiri dari kata “philos” yg berarti cinta, suka (loving),& “sophia” yg berarti pengetahuan, hikmah (wisdom).

Pada aktifitas berfilsafat, seseorang melakukan penalaran terhadap apa yang menjadi objek berfikirnya dimana penalaran (KBBI) bisa berarti: Pertimbangan tentang baik buruk, Akal budi, berpikir logis, Jangkauan pikir, Kekuatan pikir. Nalarnya mestinya akan selalu sampai pada kebenaran, bukan pembenaran. Penggunaan akal tentunya dengan maksimal.

Pembuktian dengan berfilsafat dalam pencarian kebenaran juga dilakukan oleh sebagian muslim untuk sampai pada pemahaman tauhid. Meyakini adanya Allah, Maha Kuasanya Allah dan Allah yang Maha sempurna tiada berbatas ruang dan waktu, dan tiada suatu makhluk pun menyamainya. Ini berimplikasi pada kemurnian pelaksanaan akidah syariat dengan menyembah Allah tanpa menyekutukanNya.

Hingga sampai pada kesadaran, bahwa demikian Maha Berilmunya Allah sehingga tiada sesuatu yang luput Dia ketahui, dan tiada suatu hal sekecil apapun yang luput dari kendaliNya. Dengan pemahaman inilah, muslim akan tunduk patuh tanpa sedikitpun keraguan. Inilah pondasi keimanan dari pengoptimalan penggunaan akal sehingga kegiatan bernalarnya tertuntun pada kebenaran, dan setiap aktifitas dilakukan berdasarkan keyakinan, bukan sekedar ikut-ikutan saja.

Kajian ini nantinya akan sampai pada pemahaman, bahwa syariat adalah hukum yang sempurna, sebagaimana Islam adalah agama yang sempurna seperti pada firman Allah pada QS. Al Maidah:3.

Sejarah mencatat penerapan syariat tersebut telah berkontibusi membentuk peradaban dengan ketinggian adab, yang menerapkan keadilan bagi semua tanpa kecuali. Tanpa adanya diskriminasi berdasarkan ras, kedudukan, wilayah, bahkan mampu mengatur kerukunan antar umat beragama secara damai. Ini telah dibuktikan pada masa daulah Islamiyah selama 1300 tahun.

Hari ini, framing tentang modernisasi Islam terasa amat merendahkan kaum muslim karena terkesan jumud, terbelakang dan perlu untuk lebih mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman di era penerapan teknologi digital ini. Ini seolah menafikan pemahaman sejarah, dimana hingga saat ini daulah Islamiyah di masa dinasti Abassiyah yang berkuasa selama lima abad (132-656 H/750-1258 M) adalah peradaban paling gemilang yang belum ada tandingannya hingga seumur dunia ini. Pada masa itu pengembangan ilmu begitu massif dan sistem bernegara begitu giat berkontribusi dengan penerapan ilmu yang disertai nilai-nilai luhur untuk membangun mulianya peradaban.

Artinya dengan kesempurnaan ajaran dan pembuktian sejarah, marjinalisasi muslim dengan framing negatif berupa stempel radikal intoleran dan adanya istilah modernisasi Islam secara etis seharusnya tidak dilakukan. Karena stempel tersebut merupakan bentuk intoleransi jika kita dengan bijak, memandang bahwa sudah sepantasnya setiap umat beragama mengilmui dan meyakini ajaran agamanya sendiri.

Gambaran ini sudah tentu akan ditemukan seorang filusuf yang bebas dari prasangka, idealis, dan benar-benar menuntun nalarnya pada penemuan kebenaran. Berangkat dari konsep bahwa wajah Islam tidaklah diwakili oleh penganutnya yang awam, melainkan harus digali kemutlakan kebenarannya dengan kajian yang luas dan dalam, lagi butuh proses yang panjang. Suatu persepsi yang harus terus menerus diuji, yang bisa jadi akan berubah seiring dengan makin luas dan dalamnya pemahaman.

Jika seorang RG yg “outsider” bisa menemukan keadilan yang tertinggi dalam teologi muslim, artinya cap radikal intoleran sama sekali tak bisa dijadikan stempel bagi muslim yang taat dengan ilmu, dan konsep modernisasi Islam sama sekali tidak perlu menjadi framing mengingat ajaran Islam yang sudah sempurna.

Jika penalaran seorang RG sampai pada keyakinan mengenai baiknya pembentukan negara Islam ditinjau dari hukum yang berkeadilan, artinya terkesan bahwa pemahaman beliau mengenai penerapan ideologi Pancasila, dengan metode demorasi sudah bergeser. Terganti dengan keyakinan bahwa penerapan Ideologi Islam dengan pelaksanaan syariat Islamlah yang benar. Wallahu ‘alam. (*)