Penyelesaian Sengketa Konstruksi Melalui Ajudikasi

SWARNANEWS.CO.ID | Dalam pembangunan Infrastruktur secara nasional kontribusi di sektor konstruksi terhadap PBD nasional berada di urutan ke-4 dari 17 sektor utama dari tahun 2018 dengan pertumbuhan rata-rata 7,5% per tahun.

Seiring berkembangnya bisnis jasa konstruksi tentunya tidak terlepas dari UU No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, selain itu dalam jas konstruksi tentunya tidak luput dari sengketa. Dalam penyelesaian segketa berdasarkan Pasal 88 UU No.2 Tahun 2017, di Indonesia penyelesaian sengketa konstruksi belum ada Sengketa Konstruksi diselesaikan melalui Ajudikasi dan tidak mengatur penyelesaian melalui Ajudikasi, sedangkan penyelesaian sengketa konstruksi melalui Ajudikasi merupakan solusi inovatif.

Ajudikasi adalah salah satu cara penyelesaian konflik atau sengketa melalui pihak ketiga yang mana pihak ketiga ini ditunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk menetapkan suatu keputusan yang bersifat mengikat, hal ini disampaikan Ir. H. Ahmad Rizal, S.H., M.H., FCBArb, pada acara PAMI “Indonesia Arbitration & Mediation Summit”, Jakarta (4/9/2019).

Menurut Ahmad Rizal, faktor penyebab sengketa kontrak konstruksi yakni Scope, Budget dan Schedule.

“Penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia melalui Pasal 88 UU No.2 Tahun 2017 yakni melalui pengadilan (Litigasi) kurang disukai, karena banyak kelemahan, namun lebih ke musyawarah dan mufakat melalui dewan sengketa yakni melaui Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase,” bebernya.

Ahmad Rizal menambahkan dengan Ajudikasi keuntungannya ialah bukan hanya prosedur penyelesaian perselisihan, tetapi juga sebagai sarana mengelola sengketa  sebelum menjadi serius.  Hal tersebut memungkinkan sebuah penyelesaian yang cepat ketika suatu sengketa  muncul, bukan ketika pekerjaan sudah terhenti/selesai.  Karenanya, hal  itu memungkinkan pekerjaan berjalan tanpa hambatan dan cash flow tetap terjaga.

“Putusan ajudikasi tidak dapat dibanding dan mengikat termohon, dan serta merta harus melakukan pembayaran. Tetapi putusannya dapat dibatalkan oleh pengadilan (Limitatif/sedikit). Prosesnya relatif cepat, efektif dan berbiaya murah, sedangkan untuk ajudikasi, prosesnya  tidak memerlukan persetujuan dari pihak yang tidak kooperatif (termohon) atau Ajudikasi meniadakan syarat kontrak ‘pay when paid’  dan ‘pay if paid’,” bebernya.

Menurut Wakil Ketua Institut Arbiter Indonesia (IArbI) ini, ada titik lemah juga dalam penyelesaian sengketa dengan Ajudikasi, yakni adanya kecenderungan melihat perselisihan tidak secara keseluruhan tetapi parsial. Karenanya setiap keputusan yang di buat sering tidak lengkap dan kurang meyakinkan.

Tidak seperti prosedur ADR lainnya, kesempatan untuk para pihak bernegosiasi sangat terbatas dan menggantungkan pada keahlian pihak ketiga untuk membuat putusan. Karena waktu yang sangat terbatas bagi seorang Ajudikator untuk membuat pertimbangan dan membuat suatu putusan. Maka dampaknya kualitas putusan rendah.

“Karena sifat alaminya  pemeriksaan perkara melalui ‘jalur cepat’  dan maka hasilnya masih ‘keadilan yang kasar/mentah’  dijatuhkan pada akhir proses. Ada kekhawatiran yang besar bahwa ajudikasi mendorong untuk meluasnya potensi sengketa dari sengketa yang awalnya sepele menjadi sengketa yang lebih besar lagi,” jelasnya.

Jadi menurutnya, kalau dilihat dari sengketa konstruksi ini bisa di simpulkan mengingat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mengatur Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase secara umum maka disarankan bagi pembentuk undang-undang untuk merumuskan dan menerbitkan peraturan khusus yang mengatur Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase untuk penyelesaian sengketa jasa konstruksi.

Sejauh ini para pebisnis di bidang jasa konstruksi lebih suka menggunakan penyelesaian jasa konstruksi dengan cara arbitrase, maka penyelesaian secara arbitrase ini masih bisa dijalankan, namun disarankan agar arbiter-arbiter yang menangani sengketa jasa konstruksi ini dipilih arbiter-arbiter yang menguasai bisnis konstruksi sehingga diharapkan ke depannya jalur arbitrase akan memberikan solusi penyelesaian yang lebih baik, lebih cepat, lebih efektif dan lebih efisien.

“Mencermati ajudikasi karakteristiknya mirip dengan arbitrase sehingga sering disebut sebagai mini arbitrase, maka gagasan membawa konsep ajudikasi ini pada penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia disarankan untuk segera diterapkan karena penyelesaian sengketa jasa konstruksi dengan ajudikasi di negara-negara maju terbukti lebih cepat dan lebih efisien proses penyelesaiannya,” ungkap Ahmad Rizal yang juga Komite pada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) ini.

Teks : Asri
Editor : Sarono PS