Petani Karet Pindah Profesi

SWARNANEWS.CO.ID, MUBA | Masyarakat di Kabupaten Musi Banyuasin tepatnya di Desa Sinar Jaya Kecamatan Jirak merupakan desa yang mayoritas masyarakatnya bertani karet kini sudah pindah profesi, menggeluti usaha batu-bata hingga mengadu nasib ke kota.

Pantauan Swarnanews, semenjak harga karet terjun turun masyarakat beralih juga ke pembuatan batu bata yang menjadi salah satu pekerjaaan untuk bisa meningkatkan perekonomian.

Batu bata yang dibuat melewati tahap yang cukup rumit, awal pembuatan pegawai batu bata harus mengambil tanah liat yang dibuat layaknya lubang besar lalu dikasih air hingga menjadi tanah liat yang bisa diolah.

Selanjutnya tanah liat dipotong berbentuk kotak-kotak dengan menggunakan kawat besi, lalu dicetak dengan menggunakan cetakan batu bata secara manual. Setelah itu batu bata dijemur, dan selama 2 bulan sebanyak Rp.50 ribu batu bata siap dimasak di tempat pembakaran.

“Pegawai di sini lebih kurang 12 orang, yang mencetak 6 orang dan yang melumpur 6 orang. Kalok 2 bulan sekali kami memasak batu bata sebanyak Rp. 50 ribu batu bata dengan modal sebesar Rp.25 juta rupiah,” tutur Ira selaku pengelola usaha batu bata.

Pada saat pembuatan batu bata musim menjadi salah satu kendala pada saat produksi, seperti musim penghujan yang akan menghambat penjemuran batu bata, sedangkan musim kemarau air menjadi salah kendala pengelolaan batu bata karena air menjadi bahan utama pembuatan batu bata.

“Kalau musim penghujan produksi batu bata tidak banyak, dan pada saat musim kemarau seperti ini biasanya air menjadi penghalang tetapi sekarang sudah ada tebat yang menjadi sumber air di desa kami,” tegasnya.

Untuk penjualan biasanya ke kabupaten-kabupaten sebelah seperti ke Pali, Pendopo, Benakat dengan harga pasaran 600 ribu rupiah sebanyak 1.000 buah batu bata,” tuturnya.

Herlina yang merupakan satu satu pegawai yang bekerja mencetak batu bata di tempat usahanya ibu Ira. Selama 5 bulan dengan dibantu anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tak jarang anaknya yang duduk dibangku Sekolah Dasar juga ikut membantu menjemur batu bata. Mereka bekerja mulai dari jam 7 pagi hingga sore dengan upah satu batu bata seharga Rp. 10 Rupiah dan biasanya dalam sehari mendaparkan Rp. 300 sampai Rp. 500 batu bata sehingga penghasilan sehari kurang lebih Rp 30 ribu sampai Rp.50 ribu.

Ibu 3 orang anak ini mengalami rabun jauh, sehingga ia memutuskan untuk tidak bertani karet lagi dan memilih bekerja mencetak batu bata untuk menambahi biaya hidup keluarga nya. Suami Herlina masih bekerja sebagai petani karet dan anak sulungnya bekerja di distro yang berada di Kota Palembang.

“Semenjak habis lahiran mata saya sudah mulai susah melihat jarak jauh, padahal sudah sering berobat baik melalui medis maupun tradisional tetapi tidak ada perubahan lebih baik, jadi kalok mau bertani karet lagi sudah tidak bisa. Makanya memilih bekerja mencetak batu bata meskipun rumit, capek tetapi tetap disyukuri saja,” tegasnya.

Herlina juga mengatakan akibat harga karet yang menurun, pembeli batu bata juga berkurang tidak seperti biasanya. Dampaknya sangat terasa, apalagi musim kemarau saat ini tak hanya harga yang turun karetnya pun tidak banyak yang didapatkan.

Herlina berharap perekonomian untuk kedepannya dapat stabil karena ia sangat menginginkan anaknya untuk mampu melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi supaya dapat mengangkat derajat kedua orang tuanya dan dapat menjadi orang yang sukses kedepannya.(*)

Teks : Syaidah
Editor : Asih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *