Sebelum Menjajah Palestina, Yahudi Pernah Ditawari Negara Afrika Ini

SWARNANEWS.CO.ID , JAKARTA |Mantan pelapor khusus PBB untuk situasi HAM di Palestina Makarim Wibisono mengungkapkan deklarasi Balfour merupakan tindakan unilateral Inggris terhadap Palestina. Deklarasi itu pula yang mengakibatkan munculnya berbagai krisis dan friksi di negara tersebut.

Makarim menerangkan deklarasi Balfour yang diterbitkan pada 2 November 1917 oleh menteri luar negeri Inggris saat itu, James Arthur Balfour tak dapat dipisahkan dari situasi Perang Dunia I. Kala itu, blok sentral, yakni Jerman dan Kesultanan Turki Utsmaniyah tampak lebih digdaya dibandingkan Inggris dan sekutunya.

Hal ini memaksa pemerintah Inggris melakukan pendekatan kepada bankir-bankir kaya di negaranya, salah satunya adalah bankir Yahudi, Lord Rotschild. “Tujuan pendekatan ini adalah agar mereka menggelontorkan uang untuk membantu Inggris dalam peperangan di Perang Dunia I,” ungkap Makarim dalam acara diskusi bertema “Menggugat 100 Tahun Balfour” yang digelar di Kedutaan Besar (Kedubes) Palestina untuk Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/11).

Selain dana, ketika Perang Dunia I, Inggris bergantung pula pada seorang intelektual dan ilmuwan Yahudi kelahiran Rusia bernama Chaim Weizmann. Ia merupakan anggota fanatik Zionisme Inggris.

Saat itu, Weizmann yang seorang pakar kimia, menemukan sebuah formula untuk menghasilkan senyawa kimia yang sangat penting bagi senjata api, yakni aseton. Ini merupakan senyawa untuk menghasilkan cordite, bahan eksplosif yang diperlukan untuk melesatkan peluru-peluru dari senjata api. Tanpa adanya cordite, Inggris kemungkinan besar akan kalah dalam Perang Dunia I karena lemahnya persenjataan.

Dengan adanya Weizmann di pihak Inggris, aseton dapat diperbanyak sehingga cordite pun dihasilkan secara masif. Tokoh Inggris Winston Churchill bahkan meminta Weizmann menyiapkan 30 ribu ton aseton kala itu. Hal tersebut pun benar-benar disanggupi dan direalisasikan oleh Weizmann.

Tak ayal, hal ini membuat Wiezmann memiliki posisi tersendiri di mata pemimpin Inggris saat itu. Namun semua yang dilakukan Wiezmann memang tak gratis. Setelah membantu Inggris dalam bidang persenjataan pada masa Perang Dunia I, dia meminta kepada pemerintah Inggris untuk menyediakan sebuah negara bagi bangsanya.

Permintaan ini disanggupi oleh perdana menteri Inggris saat itu, David Llyod George. George menawarkan Weizmann wilayah Uganda di Afrika untuk ditempati bangsa Yahudi. Namun tawaran tersebut ditolak dan Weizmann secara lugas mengatakan ia menginginkan tempat itu didirikan di Palestina. Kisah ini yang turut melatarbelakangi lahirnya deklarasi Balfour.

Jadi imbalan dari hal ini adalah Palestina, yang sebenarnya bukan milik Inggris. “Jadi jelas ini tindakan unilateral Inggris,” ujar Makarim.

Setelah deklarasi tersebut, dimulailah krisis di tanah Palestina. Menurut Makarim, hingga saat ini, beberapa krisis yang masih berlangsung antara lain adalah bentrokan di Hebron dan Yerusalem, dibatasinya akses umat Islam ke Masjid Al-Aqsa, serta perluasan permukiman ilegal oleh Israel.

“Ini pelanggaran hukum internasional. Ini bukan rekayasa. Harus ada penghentian pada pelanggaran hak asasi manusia terhadap penduduk palestina,” kata Makarim.

Menurut hukum humaniter internasional, penduduk yang berada di daerah dan di bawah pendudukan harus dilindungi oleh pasukan pendudukan. “Bukan malah diintimidasi. Jadi Israel menentang norma ini,” ujarnya.

Editor: Sarono PS

Sumber Republika

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *