Sejahtera Tanpa Pajak, Bisakah?

Oleh: Hawa Aziz /Aktivis Parempuan Palembang

SWARNANEWS.CO.ID, PALEMBANG – Tak hanya bencana alam, masyarakat juga ditimpa bencana ekonomi. Pasalnya, pemerintah mengumumkan akan tetap menaikan PPN (pajak pertambahan nilai) 12 persen sesuai dengan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( HPP) yang  tertera dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh kabinet Indonesia Maju pimpinan Jokowi (berita Antara, 8/12/2024).

Alasan pemerintah menaikkan PPN 12 persen pada tahun 2025 untuk meningkatkan pendapatan negara karna 80 persen APBN didapatkan dari pajak.

Selain itu, kenaikan pajak ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pinjaman luar negeri. Kenaikan PPN sebesar 1 persen ini dianggap akan berdampak secara langsung pada harga produk pemenuhan kebutuhan pokok dan jasa di tengah  masyarakat. Kenaikan harga dilakukan untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi.

Sektor usaha menaikkan harga jual, konsumen akan merasakan kenaikan harga pada hampir semua produk dan jasa, termasuk kebutuhan pokok, barang konsumen, dan jasa.

Perusahaan besar bisa membebankan  biaya ini ke konsumen, sedangkan perusahaan kecil kesulitan menaikan harga produk mereka untuk menutupi kenaikan PPN tersebut.

Kenaikan PPN ini juga akan meningkatkan biaya perusahaan dan menurunkan daya beli masyarakat

Untuk mengimbangi kenaikan biaya akibat kenaikan ppn ini, perusahaan bisa saja melakukan pengurangan biaya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja  (PHK).

Penurunan daya beli masyarakat juga dapat menyebabkan ancaman nyata, karena konsumsi domestik masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi domestik menyumbang lebih dari 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pajak dalam Kapitalis, Menjadi Sumber Utama Negara

Realisasi penerimaan pajak 2023 mencapai 78 persen dari total penerimaan negara yang sebesar Rp2.774 ,3 T.

Adapun penerimaan dari sumber daya alam (SDA) hanya Rp 223T, atau 8 persen dari total penerimaan negara (kemenkeu,10/1/2024).

Mengutip dari ekonom muslim Muhammad Ishak yang mengatakan potensi pendapatan negara dari sumber daya alam negeri ini salah satunya adalah minyak mentah dengan produksi 223,5 juta barel dengan harga rata rata 97 USD / barel, dengan nilai tukar Rp 15.600 / per barel, maka laba akan di peroleh  Rp 183 T.

Terdapat juga gas alam dengan produksi 2,5 milyar MBTU.  Harga rata-ratanya 6,4 USD /MBTU dengan nilai tukar Rp15.600/ USD  serta gross profit margin 54,1 persen. Maka, laba yang diperoleh  Rp 136 T.

Potensi pendapatan lainnya diperoleh dari batu bara. Dengan produksi 687 juta ton dan harga rata rata 345 USD/ton dan nilai tukar Rp 15.600 / USD,  maka laba yang diperoleh bisa mencapai Rp 2.002 T

Indonesia juga memiliki emas dengan produksi 85 ton dan harga rata-rata  USD 63,5
Juta /ton dengan nilai tukar  Rp 15.600 / USD, maka labanya bisa mencapai Rp29.

Belum lagi jika memperhitungkan tembaga, nikel, kekayaan hutan, dan laut. Dengan gambaran ini, tentu kenaikan pajak menjadi suatu hal yang miris dan patut dipertanyakan.

Pajak melalui berbagai macam bentuknya sangat membebani semua kalangan, termasuk kalangan masyarakat rendah.

Kebijakan  ini sangat menzalimi rakyat yang termasuk golongan berpenghasilan rendah, jika dilakukan terus menerus.

Pungutan pajak yang dilakukan oleh penguasa terhadap ratusan juta rakyat nya adalah suatu keharaman. Allah berfirman dalam QS Al- Baqarah: 218, “Jangan kalian memakan harta diantara  kalian dengan  jalan yang bathil.”

Jika kita melihat kembali pada hasil yang diperoleh dari 8 sektor diatas, maka kita mendapatkan hasil Rp 5.510 T, melebihi APBN yang hanya Rp 3000 T. Masih banyak lagi sumber sumber yang lain.

Sayangnya, pengelolaan sumber daya alam ini tidak dilakukan sesuai dengan syariat Islam, tetapi dikelola dengan sudut pandang kapitalisme.

Jadi, bila negara ini dikelola dengan baik dan benar menggunakan aturan Allah Swt dan penguasanya menjalankan amanah dengan baik, maka kesejahteraan dan keberkahan akan hadir di tengah umat. Tidak ada kezaliman yang terjadi karena berbagai pungutan pajak.

Nabi saw bersabda, “Pengkhianatan seorang pemimpin masyarakat.” HR Muslim. Penguasa harus menyadari tugas dan amanah yang diberikan Allah, yakni mengurusi urusan umat.

Abu said Alhudry RA,  berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap penghianat memiliki beberapa bendera di belakangnya pada hari kiamat nanti yang akan ditinggikan (bendera tersebut) sesuai kadar penghianatannya yang dilakukan.

Ingatlah tiada penghianatan yang melebihi penghianatan seorang pemimpin masyarakat”. (*)